|
MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2013
ISU
politik gentong babi (pork barrel
politics) akhir-akhir ini mencuat sejak pemerintah tarik ulur ingin
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Berbagai tanggapan miring timbul dilatarbelakangi prasangka bahwa bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM) yang bersumber dari kompensasi penaikan
harga BBM ditengarai bukan sekadar ingin menolong masyarakat miskin. Diduga,
tersirat ada kepentingan politik pemerintah, atau partai politik (parpol)
penguasa, untuk meraih simpati masyarakat dalam Pemilihan Legislatif 2014.
Diketahui, sejak enam kali
pergantian presiden di Indonesia, memang berkali-kali terjadi penaikan dan
penurunan harga BBM. Namun, sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, penaikan harga BBM sering disertai kompensasi bantuan uang tunai
kepada masyarakat. Dengan belajar dari pengalaman sebelumnya, kompensasi
tersebut dianggap sarat muatan politis.
Meskipun sebagian besar parpol
berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD) dalam sekretariat gabungan (setgab), di
sisi lain terjadi pembiaran dari institusi partai koalisi kepada kader-kader
kritis mereka bersuara sumbang menentang BLSM. Itu menunjukkan setgab yang
selama ini solid tampaknya mulai mengalami keretakan. Sekurangnya ada tiga
penyebab mengapa arus balik politik bisa terjadi.
Pertama, pada 2014 masa jabatan
Presiden Yudhoyono akan berakhir. SBY telah menjalani dua periode menjadi
presiden. UUD 1945 (amendemen) Pasal 7 mengisyaratkan seorang presiden hanya
diperbolehkan dua kali mengikuti pemilu presiden (pilpres). Dengan demikian,
tali pengikat kebutuhan porsi menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mulai
longgar sehingga parpol cenderung melakukan manuver politik dengan kandidat
capresnya.
Kedua, mulai terjadi politik
ambil untung. Terbukti beberapa kebijakan pemerintah yang kurang populer di
mata masyarakat, termasuk penaikan harga BBM, dikritisi elite-elite politik
koalisi demi pencitraan partai masingmasing.
Beberapa partai lainnya
menggunakan politik belah bambu. Maksudnya, koalisi pendukung pemerintah secara
taktis tampil rukun di depan publik, tetapi dalam hitungan strategi tak jarang
menciptakan kekerasan horizontal antarparpol. Partai yang satu menginjak partai
lainnya dan dalam kesempatan berbeda mengangkat derajat partainya sendiri.
Ketiga, partai penguasa, yakni
PD, sedang mengalami guncangan karena kasus korupsi yang melilit beberapa elite
pentingnya. Akibatnya elektabilitas PD berangsur mengalami penurunan. Lingkaran
Survei Indonesia (2013) menyebutkan elektabilitas PD anjlok ke peringkat ketiga
(14%), setelah Partai Golkar (21%) dan PDIP (17,2%).
Politik gentong babi
Dalam prediksi, masa musim semi
akan berakhir, lalu arah angin politik akan bergeser. Akibatnya pemilu
legislatif (pileg) dan pilpres menjadi media kompetitif dalam hajat bersama
merebut kekuasaan politik. Kondisi tersebut yang mewarnai mengapa rencana program
BLSM dari kompensasi penaikan harga BBM terus diganjal, lalu mewaspadai partai
penguasa memainkan politik gentong babi.
Politik gentong babi adalah
penggelontoran anggaran pemerintah yang digunakan dalam bentuk proyek atau
kegiatan yang secara tidak langsung bertujuan untuk memperoleh dukungan
masyarakat. Dipertegas oleh Susan C Stokes (2009), politik gentong babi sebagai
a government project or appropriation
that yields jobs or other benefits to a specific locale and patronage opportunities
to its political representative.
Meskipun politik gentong sapi
populer sejak awal abad 19, terjadi pada era Wakil Presiden Amerika Serikat
John C Calhoun, praktik curang itu masih terus berlangsung sampai sekarang.
Termasuk Presiden AS Barack Obama ketika kampanye tak lepas dari tuduhan yang
sama. Di Filipina kala Presiden Ferdinand Marcos menjabat, politik gentong babi
juga menjadi sorotan.
Baik disadari atau tidak, program
BLT 2008 menjadi imbas lonjakan suara PD pada Pileg 2009, serta jalan mulus SBY
meraih kemenangan pilpres. Walaupun pandangan lain membantah, fakta menunjukkan
masyarakat berduyun-duyun antre mengambil BLT.
Menggunakan anggaran dalam
melanggengkan kekuasaan petahana sepertinya sudah lazim terjadi di Tanah Air. Tidak
hanya tingkat nasional, di beberapa daerah juga acap kali ditemukan para
gubernur dan bupati melakukan gelombang anggaran besar dadakan menjelang
pilkada. Secara normatif dalihnya ialah program pemerintah, tetapi di lapangan
kental oleh pencitraan figur politik.
Begitu pula dengan rencana
pemerintah dalam waktu menaikkan harga BBM.
Dari pembahasan APBN dan RAPBN perubahan, jauh-jauh hari terungkap jelas nuansa penaikan harga BBM tidak dapat terhindari di tengah defisit anggaran akibat mem bengkaknya subsidi BBM dan merosotnya mata uang rupiah. Dari subsidi penaikan harga BBM, pemerintah mengambil ancang-ancang akan menyiapkan sekitar Rp30 triliun untuk program BLSM.
Dari pembahasan APBN dan RAPBN perubahan, jauh-jauh hari terungkap jelas nuansa penaikan harga BBM tidak dapat terhindari di tengah defisit anggaran akibat mem bengkaknya subsidi BBM dan merosotnya mata uang rupiah. Dari subsidi penaikan harga BBM, pemerintah mengambil ancang-ancang akan menyiapkan sekitar Rp30 triliun untuk program BLSM.
Politik BBM
Selama ini tarik ulur penaikan
harga BBM membuat rakyat semakin berada dalam ketidakpastian. Situasi yang
tidak menentu tidak saja membingungkan, tetapi jelas makan korban. Memang
sebelum harga BBM dinyataka resmi naik, mafhum harga kebutuhan masyarakat di
pasaran pun lebih dulu melonjak.
Sebenarnya masyarakat awam tidak
begitu paham iktikad apa yang terjadi dibalik penaikan harga BBM. Jika
bermaksud untuk menyelamatkan APBN, tentu semua orang akan memahami kesulitan
yang sedang terjadi. Tetapi jika penaikan harga BBM dipakai alat hegemoni
kekuasaan dalam bermain politik gentong babi, yang terjadi ialah kegagalan
negara dalam pendidikan politik bangsa.
Beberapa ide muncul, sebaiknya
kompensasi BBM diarahkan kepada kekuatan ekonomi rakyat melalui revitalisasi
koperasi. Atau bisa juga pengalihan kompensasi untuk pengembangan energi
alternatif pengganti BBM, serta bentuk program lainnya yang tidak bernuansa
Sinterklas seperti pemberian uang tunai selama ini cenderung menimbulkan
konflik baru di lapis masyarakat bawah.
Disamping itu, alangkah tidak
etisnya bila parpol merekayasa penaikan harga BBM sebagai pendorong politik
pencitraan. Sesungguhnya, rakyat itu bukan kuda tunggang politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar