|
MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2013
DUKA kebangsaan
kembali menerpa hati Indonesia. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq
Kiemas (Pak TK) dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta Selatan (9/6), jasad Pak TK dikebumikan secara bersahaja.
Sebab, ia sosok yang luar biasa. Memang, gaya dan penampilannya selama ini
terkesan biasa dan tak `wah' dalam sorotan media.
Kepergian Pak TK bukanlah
kepergian Empat Pilar Bangsa: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Semarak sosialisasi program empat
pilar bangsa sudah bergerak dengan beragam tema, bermacam wadah, dan meluas ke
berbagai daerah. Menurut Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari (2013), gagasan
untuk menyerukan Empat Pilar Bangsa murni berasal dari Pak TK.
Kedalaman
Gagasan Pak TK menyerukan
sosialisasi Empat Pilar Bangsa tentu sudah melalui pergulatan, penghayatan, dan
diskusi yang panjang sebelum berkomitmen untuk dijalankan. Terlepas dari kritik
tentang istilah empat pilar atau persoalan Pancasila, tiga pilar lainnya seolah
disejajarkan. Pak TK berhasil mengingatkan dan menyadarkan bahwa ada Empat
Pilar Kebangsaan kita dan `laknat' bagi rakyat negeri ini jika melupakan dan
meniadakan Empat Pilar Bangsa itu.
Realitas sosial politik Indonesia
diisi manusia yang hidup, tentu banyak persoalan menerpa, namanya juga manusia.
Namun, harus ada hal-hal pokok manusia Indonesia, yang mesti menjadi acuan,
sebagai warga negara. Persoalannya, acuan itu bukan hanya terletak di
permukaan, tetapi juga di kedalaman. Begitu pula dengan Empat Pilar Bangsa.
Untuk menempuh kedalaman,
sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan seyogianya memaknai serta menguraikan cara
bagaimana berbagai fakta dan problem kebangsaan dipahami lebih menda lam.
Sehingga menjadi pilar yang menggerakkan arah kebangsaan dan menjadi pilar
kebajikan publik yang menyentuh ranah publik bukan hanya wacana elite. Bung
Hatta pernah berkata, rakyat banyak cuma dipakai sebagai perkakas saja. Rakyat
menderita azab dunia di atas medan peperangan, menjadi umpan pelor, dan gas
racun saja. Karena itu, sosialisasi Empat Pilar Bangsa mesti merakyat. Lagi,
kata Bung Hatta, rakyat itu jiwa dan badan bangsa.
Tak diragukan, dengan latar
belakang ideologi politik dan segudang pengalamannya, Pak TK memiliki semangat
untuk merakyatkan Empat Pilar Bangsa hingga ke jiwa dan badan bangsa. Artinya,
gagasan Pak TK itu memerlukan pikiran dan `tangan-tangan' brilian untuk
menjadikan Empat Pilar Kebangsaan menjadi nyata menyentuh rakyat di kota dan
pelosok desa.
Kesungguhan
Selain kedalaman dan juga keluasan,
sosialisasi Empat Pilar Bangsa perlu kesungguhan. Bukan hanya kecanggihan
kemasan sosialisasi programnya saja, melainkan mesti memiliki kejelasan. Bukan
pula pesona kegemilangan logo dan lambangnya saja, melainkan perlu kegigihan
dalam menyosialisasikan.
Di tengah derasnya arus
globalisasi, kesungguhan meneguhkan jati diri kebangsaaan diperlukan. Dalam
hiruk-pikuk politik, kekisruhan dan korupsi lebih tampak dan menggejala begitu
dahsyatnya. Kita seolah kabur dengan letak jati diri kebangsaan kita. Dalam
konteks itu, sosialisasi Empat Pilar Bangsa menjadi relevan untuk diperluas dan
dioperasikan.
Pak TK menyadari dalam acara
penganugerahan gelar doktor kehormatan dari Universitas Trisakti pada 8 Maret
2013, ia menjelaskan para pendiri bangsa secara visioner dan dilandasi kepekaan
nurani yang sangat mendalam berhasil menggali nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam khazanah kehidupan masyarakat sebagai nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Pancasila tetap diposisikan sebagai dasar dan ideologi negara yang berkedudukan
di atas tiga pilar lainnya. “Bukan gelar doktornya yang dibanggakan, tapi Empat
Pilar Bangsa yang dibanggakan,“ kata Pak TK.
Pak TK tak hanya melahirkan
gagasan, tetapi juga mewariskan kerja sosialisasi Empat Pilar Bangsa.
Sosialisasi itu tak cuma kerja MPR saja, bukan pula kerja pejabat negara saja,
tetapi kerja kita semua, rakyat Indonesia. Menurut Pak TK, Empat Pilar Bangsa
harus dijabarkan dan menjiwai semua peraturan perundangan, institusi
pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan bernegara. Memang, kita tak
mau negara ini kabur jati dirinya dan lembek harkat martabatnya.
Dalam usia 70 tahun, Sabtu (8/6),
Pak TK menghembuskan nafas terakhirnya. Editorial Media Indonesia (10/6)
mencatat, warisan Pak TK harus senantiasa hidup. Bangsa ini, terutama para
pemimpinnya, harus terus menghidupkan Empat Pilar Bangsa dan sikap
kenegarawanannya. Empat Pilar Bangsa yang digagasnya bukan cuma berhenti pada
tataran konsep, melainkan diwujudkannya dalam tataran perilaku, terutama
perilaku dirinya sendiri.
Selamat jalan Bapak Empat Pilar.
Kepergianmu mewariskan buku yang tak kunjung usai ditulis anak bangsa. Bak buku
kehidupan yang tak kunjung padam diperjuangkan, kematian adalah sebuah
kepastian, dan kepergianmu meninggalkan kebaikan. Wallahualam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar