Senin, 03 Juni 2013

Politik Global dan Kader Perdamaian

Politik Global dan Kader Perdamaian
Hilman Latief ;  Direktur Institute for Development and Social Movement Studies, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
REPUBLIKA, 27 Mei 2013


Berakhirnya Perang Dingin yang direpresentasikan oleh bipolaritas kekuatan dunia, yaitu Barat (Amerika) dan komunisme (Uni Soviet), tidak serta-merta mengakhiri konflik di pelbagai belahan dunia. Bassam Tibi dalam karyanya, The Challenge of Fundamentalism (1998), mencatat bahwa pada era globalisasi dewasa ini, `fragmentasi budaya' dan `difusi kekuatan' semakin menguat dan melahirkan konflik-konflik internasional dan domestik.

Perang antarnegara di Timur Tengah dan Asia Timur serta konflik antaretnik di wilayah Afrika dan Asia Tenggara adalah beberapa di antaranya. Bila dulu, semasa Perang Dingin, eskalasi konflik terjadi karena dipengaruhi perseteruan antardua negara adikuasa, kini persoalannya menjadi lebih kompleks. Banyak faktor sosial, ekonomi, dan politik di tingkat regional dan global yang memengaruhi konflik horizontal-komunal di tingkat domestik. 

Bipolaritas antara Barat dan dunia Islam yang menjadi bagian dari narasi besar Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization-nya, dianggap salah satu persoalan yang masih tersisa pasca-Perang Dingin. Kontestasi antara `hegemoni Barat' dan `superioritas Islam' setidaknya dilihat sebagai salah satu faktor yang masih melegitimasi tumbuhnya konflik dan aksi-aksi kekerasan yang bersifat domestik dan global.

Dominasi politik, ekonomi, dan budaya Barat selama beberapa dasawarsa terakhir berperan besar dalam menumbuhkan resistensi dari dunia Islam. Intervensi Amerika terhadap Irak dan keberpihakkannya terhadap Israel, umpamanya, setidaknya mempertajam fragmentasi budaya dan ideologi radikal di tingkat domestik.
Masih pasca-Perang Dingin, fragmentasi ideologi dan budaya di tingkat domestik agaknya menjadi `tren' global. Konflik-konflik yang bersifat sektarian yang boleh jadi dimotivasi oleh faktor ekonomi dan politik, misalnya, frekuensinya semakin tinggi di beberapa negara di Afrika dan Asia Tenggara.

Konflik di sebuah wilayah bahkan memiliki efek domino atau setidaknya menstimulasi konflik di tempat-tempat yang lain. Di Myanmar, konflik yang berakhir pada pembantaian dan pengusiran etnis Muslim Rohingya oleh kelompok Buddha di bagian utara Negeri Rakhine adalah salah satu bentuk pengentalan `radikalisasi' akibat fragmentasi budaya yang tidak terkelola.

Dalam bentuk dan modus yang agak berbeda, masih banyak peristiwa konflik, baik bersenjata maupun tidak, yang dapat kita telusuri di Thailand Selatan, Midanao-Filipina, Afghanistan, dan beberapa negera di Timur Tengah. Tapi, naga-naganya, konflik-konflik domestik yang terjadi kerap diwarnai oleh pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Pasalnya, dalam situasi konflik, perbedaan antara pelaku konflik (combatant) dan warga masyarakat biasa kadang sulit untuk dibedakan. Masyarakat yang dalam kategori non-combatant kerap menjadi korban. Bahkan, dalam banyak kasus konfl ik domestik yang bersifat sektarian (etnik dan agama), orang tua, anak-anak, dan perempuan pun bisa dan sering kali menjadi korban.

Karena itu, berbicara tentang perdamaian tidak bisa lepas dari wacana tentang resolusi konflik dan hak asasi manusia. Diperlukan banyak aktor dalam masyarakat yang secara kolektif aktif mengampanyekan pentingnya arti perdamaian dan memahami mekanisme mengelola konflik agar tidak berujung pada tindakan kekerasan serta merumuskan dan mendiseminasikan makna hak-hak asasi manusia.

Hal seperti ini pula yang kiranya menginspirasi Hans Kung untuk menulis Global Responsibility (1991) ketika menelaah pentingnya komunitas keagamaan merumuskan sebuah etika dunia baru sebagai agenda untuk mewujudkan perdamaian dunia. Bahkan, Hans Kung berkeyakinan bahwa perdamian dunia bisa diwujudkan bila ada perdamaian dalam agama-agama.

Tentu saja masih banyak agenda besar dan strategi baru yang harus dirumuskan untuk mendiseminasi nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan, serta mengurangi dampak konflik yang terjadi di pelbagai lini. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sebuah kebijakan politik yang berpihak pada perdamaian dan membela hak asasi manusia, tetapi juga bagi aktor-aktor di luar panggung pemerintahan.

Bahkan, saat ini diperlukan penanaman nilai-nilai perdamaian sejak dini dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan bertetangga. Dalam tingkatan mikro, kita sudah terlalu sering menyaksikan tawuran antarkampung dan tawuran antarsekolah di beberapa daerah, tidak hanya di Jakarta atau Yogyakarta, tetapi juga di Sulawesi dan Papua.

Karena itu, langkah-langkah kecil membangun jaringan di antara para pegiat perdamaian menjadi penting. Hal itu dapat dimulai dengan mencetak kader-kader perdamaian yang memiliki keterampilan untuk mengampanyekan dan menerjemahkan nilai-nilai perdamaian melalui pelbagai media dan aktivitas kreatif. Setidaknya, kader-kader perdamaian dapat berperan dalam mendiseminasi nilai-nilai perdamaian agar memiliki efek domino dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar