|
KOMPAS, 07 Juni 2013
Perempuan sedang menjadi isu paling panas. Di
tengah upaya meningkatkan peran perempuan dalam politik, media disesaki oleh
sensasi para perempuan di sekeliling tokoh politik yang terseret kasus korupsi.
Kesan yang ditimbulkan seolah semua hal tentang perempuan adalah negatif.
Ini sebangun dengan komentar seorang
politikus di media massa, keterlibatan perempuan dalam politik bisa positif,
bisa negatif. Seolah keterlibatan pria sudah pasti positifnya. Sama sekali
tidak sadar bahwa ia sedang berkomentar di tengah banjir berita politisi pria
yang korupsi dan mempertontonkan ketidaksetiaan rumah tangga, mempermalukan
keluarga, merendahkan martabat politisi, dan menghancurkan partainya sendiri.
Politikus itu dari partai yang mengaku sangat memuliakan perempuan.
Upaya mendiskreditkan
Isu mengenai perempuan yang berhubungan
dengan politik, meskipun hanya dalam pengertian sebatas berhubungan dengan
tokoh politik, barangkali lebih tepat lagi sebagai korbannya saja, dapat
berimbas langsung pada persoalan peran perempuan dalam politik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang
mengatur tentang 30 persen kuota perempuan dalam pemilihan legislatif kembali
dipersoalkan dengan berbagai cara. Ketentuan ini sudah tak bisa diubah lagi.
Namun, upaya mendiskreditkan perempuan tak pernah berhenti. Dimulai dengan
keluhan yang bersifat klasik. Sulit memenuhi kuota karena keterbatasan jumlah
yang mau, yang mampu, yang dapat izin suami, hingga cara perempuan berkampanye
yang dituding monoton dan tidak kreatif.
Dalam konteks ini, tidak pernah disinggung
kewajiban partai yang seharusnya memiliki mekanisme dan kemampuan yang cukup
untuk memenuhi tuntutan undang-undang. Partai harus berperan aktif dan mampu
mempersiapkan kaum perempuannya sebesar semangat untuk memenangkan pemilu.
Tanpa keluhan.
Keluhan yang muncul lebih banyak mengesankan
keengganan memenuhi aturan yang telah disepakati secara kolektif politik, di
mana partai politik telah mengambil peran penuh dalam prosesnya, yang disebut
undang-undang. Dengan kata lain, dapat digunakan kalimat masih ada partai yang
terkesan terpaksa menerima kenyataan tak terhindarkannya peran signifikan
perempuan dalam politik Indonesia.
Hanya satu dalam tiga
Pembahasan mengenai pentingnya kehadiran atau
keterwakilan perempuan dalam politik (politics of presence) atau perimbangan
jumlah penduduk dan kepentingan domestik kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga
serta peran ideal lainnya yang berimbas langsung pada pembangunan negara bangsa
(politic of ideas), barangkali sudah cukup dibahas hingga tak perlu lagi
meyakinkan orang mengenai pentingnya peran perempuan dalam politik lokal dan
nasional.
Namun, tidak demikian dalam mengawal
terwujudnya hal itu di parlemen. Perempuan harus berjuang habis-habisan seolah
pengertian itu tak cukup berpengaruh dalam berbagai pembahasan penguatan peran
perempuan parlemen. UU No 8/2012 yang menjadi dasar Pemilu 2014 akhirnya hanya
mewajibkan daftar bakal calon anggota DPR dan DPRD memuat paling sedikit 30
persen keterwakilan perempuan (Pasal 55).
Kuota ini bukan hal baru karena penerusan
dari UU No 12/2003 (Pasal 65) yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2004.
Dapat dianggap ketinggalan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 karena tidak
mengikuti perkembangan perimbangan jumlah penduduk, yang menurut catatan Badan
Pusat Statistik, berdasarkan Sensus Penduduk 2010, terdapat 119.630.913
laki-laki dan 118.010.413 perempuan, atau seks rasio 101 (101 laki-laki untuk
100 perempuan, merata di semua provinsi dengan terendah 94 di NTB dan tertinggi
113 di Papua).
Bila dilihat dari jumlah penduduk usia kerja
(15 tahun ke atas) perimbangannya menjadi 84,3 juta laki-laki dan 84,7 juta
perempuan. Kuota 30 persen belum ideal. Itu pun, para perempuan politik harus
terus-menerus berjuang memperkuat dan mengawal agar tercantum dalam UU No
8/2012.
Bakal calon ini diajukan partai politik
peserta pemilu berdasarkan hasil seleksinya sendiri (Pasal 51 Ayat [1] dan [2],
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012), yang mengindikasikan kebebasan penuh partai
politik mempersiapkan atau melakukan pengaderan perempuan. Suatu keputusan politik
penting yang mengubah perempuan dari obyek suara pemilih menjadi subyek pemeran
politik kepentingan partai. Keluhan menjadi sangat tidak relevan karena
memajukan perempuan menjadi ikhtiar keberhasilan partai politik peserta pemilu.
Belum ideal
Namun, untuk menjamin keterpilihan para bakal
calon perempuan berdasarkan daftar urut, masih diperlukan ketentuan UU
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 56 Ayat (2), terdapat sekurangnya satu
perempuan dalam tiga bakal calon. Hal yang semestinya cukup berdasarkan
kesadaran partai. Ini pun belum seideal yang diperjuangkan, daftar
urut bakal calon lebih baik berselang-seling.
Setelah semua perjuangan itu, kesibukan
selanjutnya adalah pengawalan dan penguatan. Ini semua tiba-tiba tenggelam oleh
badai pemberitaan sensasi perempuan di pusaran korupsi politisi laki-laki, yang
cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek, gula-gula, negatif, dan politik.
Membias semua yang positif, memberikan tekanan pada perjuangan kaum perempuan.
Perempuan akhirnya selalu ditempatkan pada posisi dalam ujian. Berlipat ganda
pada mereka yang sedang menjadi korban. Tentu, selalu ada pihak yang
diuntungkan oleh hal ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar