|
KOMPAS, 07 Juni 2013
Dengan terus merawat harapan, pendidikan itu
merawat kehidupan. Gurulah aktor utamanya.
Harapan meretas batas-batas kehidupan,
meringkihkan tempurung kehidupan. Harapan membuncahkan hasrat anak didik untuk
meraih hidup yang berbeda, termasuk hasrat untuk menjadi seorang pemimpin.
Sayangnya, saat ini anak-anak kita tidak ada
di saat dan tempat istimewa untuk menumbuhkembangkan benih kepemimpinan.
Nihilnya sosok pemimpin yang konsisten merupakan salah satu ketidakberuntungan
mereka. Akibat nihilnya model, benih karakter kepemimpinan anak-anak kita tidak
ada di saat dan tempat yang istimewa.
Nihilnya pemimpin diekspresikan dengan
jengahnya kita oleh tiadanya keteladanan pemimpin. Pada ekspresi itu juga
sesungguhnya kita haus akan pemimpin yang konsisten.
Namun, kata Emha Ainun Najib pada ”Bincang
Sore” (14/5) di TVRI Yogyakarta, salah kita sendiri yang memperlakukan para
pejabat dan tokoh publik itu sebagai pemimpin. Budayawan ini mengajak
mengkritisi persepsi kita tentang pemimpin.
Pemimpin sejati adalah mereka yang hidupnya
konsisten sehingga menjadi teladan. Kalau hidup mereka tak bisa menjadi
teladan, ya jangan jadikan dan anggap mereka sebagai pemimpin. Siapa saja yang
bisa menjadi teladan, merekalah pemimpin sejati hari-hari ini.
Tantangan bagi guru
Sepertinya sederhana mengikuti gagasan Emha
Ainun Najib itu. Namun, sesungguhnya tidak demikian bagi para guru kita
hari-hari ini.
Belajar dari sejarah perguruan Bangau Putih:
”Intinya, ilmu terjadi karena kenyataan di alam, dan ilmu hanya sempurna
apabila bisa dipulangkan kepada kenyataan alam. Di situ juga terdapat kewajiban
bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Kita terlibat dengan masyarakat dan
kehidupan. Karena itu, memulangkan ilmu kepada alam harus melewati masyarakat
dan kebudayaan.” (Mind Body Spirit: Aku Bersilat, Aku Ada, 2013, 18).
Pendidikan yang memberdayakan hidup, yang
membuat manusia kian berbudaya dan bermartabat, mesti berangkat dengan menggulati
dan mengolah realitas kehidupan. Di akhir proses pembelajaran, guru bersama
anak didik menentukan disposisi batin dan hidup yang merupakan kristalisasi
pergulatan pada realitas kehidupan. Disposisi itu mesti menerbitkan ruang
eksplorasi hidup yang berpengharapan dan bermartabat. Idealisme pun akhirnya
bakal lahir.
Realitas kehidupan negeri ini yang nihil
pemimpin acapkali memojokkan para guru. Di satu sisi mereka harus
memperjuangkan rasa bangga dan cinta pada negeri ini, bukan hanya bangga dan
cinta pada alamnya yang kaya nan subur, tetapi juga pada bangsanya yang unggul.
Namun, mencari sosok pemimpin dan tokoh
publik yang unggul di negeri ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak
artis yang lama digandrungi dan dijadikan model manusia unggul generasi muda
negeri ini tiba-tiba terjerat kasus. Bisa narkoba, bisa lainnya.
Demikian juga dengan para tokoh politik,
lebih-lebih politisi muda. Tokoh yang sering mencitrakan diri alim penuh simbol
agamis, bersih dan pejuang garang kebenaran, terjerat kasus korupsi. Kelihaian
para pembela politisi koruptor kian membuat gersang negeri ini bagi tumbuhnya
benih kepemimpinan.
Mencipta ruang istimewa
Kita amini gagasan Emha Ainun Najib bahwa
siapa saja yang bisa menjadi teladan kehidupan sesungguhnya merekalah pemimpin
kita hari-hari ini. Pemimpin tidak selalu identik dengan jabatan publik dan
politis.
Benih karakter kepemimpinan butuh ruang
berperistiwa. Bagi kaum muda sekolah adalah ruang berperistiwa mereka. Sekolah
mesti menjadi oase di tengah padang kehidupan yang nihil pemimpin sejati. Para
gurulah salah satu harapan pencipta oase itu agar benih karakter kepemimpinan
generasi muda kita tidak musnah percuma.
Sadar akan hal ini, sesungguhnya inilah saat
ketika para guru dipanggil untuk menyelamatkan bahtera negeri ini. Kita butuh
para guru yang berani menjadi manusia unggul. Keberanian para guru menjadi
manusia merdeka, bebas dari belenggu pencitraan dan ragam perbudakan
birokratis, pastilah akan menciptakan ruang istimewa bagi tumbuhnya benih
kepemimpinan anak didiknya. Ekspresi hidup yang sederhana pastilah menjadi
lentera bagi jiwa kepemimpinan anak didiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar