|
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2013
SANGAT
jelas, pendidikan merupakan hajat hidup setiap warga negara. Konstitusi memberi
mandat kepada pemerintah untuk menjamin hak warga negara dalam memperoleh
pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.
Karena itu, pemerintah sebagai lembaga penyedia layanan publik bertanggung
jawab penuh dalam menyelenggarakan pendidikan bagi segenap masyarakat.
Pendidikan, dengan demikian,
dikategorikan sebagai barang publik (public
good). Namun, apakah pendidikan tinggi juga termasuk barang publik atau
tidak telah menjadi tema klasik dalam debat akademik di kalangan para sarjana,
terutama ahli-ahli ekonomi. Pro-kontra argumen terekam dengan jelas di dalam
karya-karya kesarjanaan mereka (eg
Geraint Johnes & Jill Johnes, Handbook
on the Economics of Education, 2004; Walter
W McMahon, The Private and Social
Benefits of Higher Education, 2009).
Penerima manfaat
Pokok perdebatan mengenai tema
tersebut berpangkal pada dua isu pokok yang saling terpaut. Pertama, penerima
manfaat ekonomi perorangan/pribadi (private
economic benefits) dari pendidikan tinggi lebih besar jika dibandingkan
dengan penerima manfaat ekonomi kolektif/publik. Yang termasuk kategori manfaat
ekonomi adalah semua jenis keuntungan--moneter ataupun nonmoneter--yang
bernilai setara atau dapat dikonversi dengan material wealth. Karena itu, beban pembiayaan pendidikan tinggi
dalam porsi lebih besar semestinya ditanggung sang penerima manfaat.
Kedua, logika dari pandangan ini
menegaskan dana pub lik dalam porsi besar seharusnya tidak dibelanjakan untuk
membiayai pendidikan tinggi, yang justru lebih banyak memberi keuntungan
personal daripada keuntungan publik. Selain itu, penerima keuntungan perorangan
itu sebagian besar adalah mereka yang berasal dari kalangan kelas
menengah/atas. Sangat jelas, masyarakat berstatus sosial-ekonomi mapan (middle/high income groups) justru yang
menikmati investasi pendidikan tinggi.
Hasil studi Psacharopoulos &
Patrinos mengonfirmasi hal ini melalui analisis returns to investment in education menurut jenjang pendidikan dan
pendapatan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara-negara
berpendapatan menengah (US$3.000-US$9.000), pengembalian investasi pendidikan
tinggi untuk publik sebesar 11,3%, sedangkan untuk privat mencapai 19,3%. Gambaran
serupa terlihat di negara-negara berpendapatan tinggi (US$9.500 ke atas),
masing-masing 9,5% dan 12,4%. Namun, di negara-negara berpendapatan rendah
(kurang dari US$1.000) justru lebih mencolok, masing-masing sebesar 11,2% dan
26,0% (lihat Human Capital and Rates of Return, 2004).
Argumen bandingan
Namun, validkah argumen bahwa
yang memetik keuntungan ekonomi dari investasi pendidikan tinggi lebih
didominasi kalangan kelas menengah/atas? Argumen bandingan perlu disimak, yang
pada intinya menyatakan individu-individu yang berhasil mengenyam pendidikan
tinggi, kemudian bekerja dan berproduksi, adalah para pembayar pajak. Banyak
penelitian dan kajian (eg Walter McMahon
2009; Todaro & Smith 2010) menunjukkan para tenaga kerja lulusan
perguruan tinggi, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemahiran teknis,
dan menguasai teknologi niscaya lebih produktif jika dibandingkan dengan para
pekerja lulusan sekolah menengah ke bawah.
Dengan semua keunggulan yang
dimiliki, mereka lebih adaptif dengan dunia kerja dan mudah diterima di
berbagai lapangan pekerjaan: industri dan jasa. Pendapatan para pekerja
terdidik pun dengan sendirinya lebih cepat mengalami peningkatan. Sangat jelas,
mereka memberi kontribusi yang berarti pada pendapatan negara yang bersifat shared resources for common good and collective
interest melalui instrumen pajak.
Dalam konteks ini, dana publik yang
dipungut melalui pajak ini selanjutnya digunakan untuk membiayai pelayanan
sosial dasar (misalnya, pendidikan, kesehatan, perumahan). Dalam konteks intellectual discourse argumen ini
sangat logis dan rasional, tetapi tetap memunculkan gugatan pada tataran
empiris terutama terkait dengan masalah kembar yang saling berkelindan: akses
dan pemerataan pendidikan tinggi. Penting diketahui bahwa keadilan dalam
memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan (equality of education opportunity)
pada jenjang pendidikan tinggi masih menjadi masalah keterjangkauan pendidikan
tinggi (affordability of higher education).
Partisipasi pendidikan tinggi
Dalam konteks kebijakan publik di
Indonesia, pokok perdebatan bermuara pada isu sangat serius di Indonesia. Jangan
terkejut, partisipasi pendidikan pada jenjang tertiary education menunjukkan
kesenjangan sangat mencolok antarkelompok sosial-ekonomi (kaya-miskin).
Dari total penduduk berusia
19-23, sekitar 19,9 juta orang, yang tercatat menempuh pendidikan di perguruan tinggi
(PTN+UT, PTS, PTA, PT Kedinasan) sekitar 5,8 juta orang. Menurut data
Kemendikbud (2011), angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi sebesar
27,1%.
Namun, simaklah fakta disparitas
partisipasi pendidikan tinggi dengan merujuk data Survei Sosial-Ekonomi
Nasional (Susenas, 2011). Dilaporkan, penduduk kelompok quintile 1 (20% lapisan masyarakat paling miskin) yang menempuh
pendidikan tinggi baru sebanyak 4,4 %. Namun, penduduk kelompok quintile 5 (20%
lapisan masyarakat paling kaya) yang mengenyam pendidikan sampai ke perguruan
tinggi sudah mencapai 43,6%. Ini adalah fakta kesenjangan partisipasi
pendidikan yang sangat mencengangkan dan menunjukkan betapa layanan pendidikan
tinggi lebih banyak dinikmati orang kaya. Data tersebut dengan jelas menggambarkan
betapa pendidikan tinggi hanya dapat diakses penduduk usia muda yang berasal
dari better-off families.
Ketidakmerataan kesempatan
menempuh pendidikan tinggi jelas merupakan problem krusial yang berpotensi
memunculkan masalah sosial-politik di masyarakat. Bila tidak segera ditangani,
masalah ini akan semakin mempertajam segregasi sosial dan masyarakat kian
terpolarisasi berdasarkan status ekonomi (kaya-miskin). Sungguh memprihatinkan
bila pendidikan tinggi justru menjadi sarana pembelahan sosial dan mendorong
proses social exclusion, yang dalam
jangka panjang bisa mengancam harmoni sosial dan keutuhan masyarakat. Dalam
konteks ini, Marxian caveat menjadi
sangat relevan untuk direnungkan: instabilitas sosial dan pergolakan politik
acap kali dipicu pertentangan kelas dalam masyarakat yang bertarung
memperebutkan sumber daya sosial-ekonomi.
Beasiswa Bidik-Misi
Agar layanan pendidikan tinggi
tidak bias kelas menengah (keuntungan ekonomi justru dinikmati orang kaya) dan
dalam rangka menjamin hak masyarakat yang tidak mampu untuk mengenyam
pendidikan tinggi, pemerintah membuat terobosan program Bidik-Misi (Bantuan Pendidikan
bagi Mahasiswa Berprestasi). Program Bidik-Misi dapat disebut sebagai breakthrough, yang membuka jalan bagi
pelajar-pelajar bertalenta dari keluarga-keluarga berkemampuan ekonomi lemah
agar dapat menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Program Bidik-Misi
dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi, terutama bagi
lulusan-lulusan sekolah menengah yang berasal dari keluarga berpendapatan
rendah.
Program Bidik-Misi memiliki empat
tujuan utama. Pertama, memperluas akses layanan pendidikan tinggi yang
berorientasi pada upaya mempersempit kesenjangan partisipasi pendidikan antara
kelompok miskin dan kelompok kaya. Kedua, memperluas cakupan layanan pendidikan
tinggi bagi penduduk usia produktif dalam rangka meningkatkan daya saing yang
berorientasi pada perkuatan perekonomian nasional. Ketiga, meningkatkan jumlah
lapisan kelas menengah terdidik untuk memperkokoh struktur sosial-ekonomi di
dalam masyarakat. Keempat, memperkuat lapisan masyarakat terpelajar yang
membentuk critical mass untuk memantapkan basis sosial-politik dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Kebijakan afirmasi
Dengan cakupan yang terus
meningkat setiap tahun, program Bidik-Misi merupakan respons terhadap aspirasi
publik yang menuntut agar akses pendidikan tinggi dapat dinikmati secara lebih
merata oleh semua lapisan masyarakat. Agar layanan pendidikan tinggi dapat
menjangkau seluruh kelompok masyarakat tanpa membedakan stratifikasi
sosial-ekonomi, setiap warga negara dalam menempuh pendidikan sampai ke perguruan
tinggi memerlukan affirmative policy
untuk menghilangkan kendala finansial. Hanya melalui kebijakan afirmasi yang
efektif, keuntungan ekonomi pendidikan tinggi yang didominasi masyarakat kelas
menengah/atas dapat direduksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar