Selasa, 18 Juni 2013

Pemulihan Sosial-Ekologis Lapindo

Pemulihan Sosial-Ekologis Lapindo
Anton Novenanto ;   Sosiolog dari Universitas Brawijaya, Malang; Kandidat Doktor pada Institut für Ethnologie, Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, Jerman
KOMPAS, 18 Juni 2013


Tanggal 29 Mei, genap tujuh tahun lumpur panas Lapindo menyembur dari bumi Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Luapan lumpur Lapindo telah memaksa warga di 12 desa dan tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo meninggalkan untuk selamanya kampung halaman mereka. Ribuan warga kehilangan rumah, ribuan lainnya hidup dalam kecemasan menunggu wilayah mereka ”masuk peta”.
Cernea (1997, 2003) menyebutkan, dalam setiap kasus pemindahan paksa, ”pemiskinan” merupakan salah satu dampak. Karena itu, perlu usaha perlindungan dan rekonstruksi hunian para korban. Dalam kasus Lapindo, pemerintah justru membiarkan terjadinya ketimpangan relasi kuasa korporasi dengan warga.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Perpres No 14/2007), seharusnya Lapindo melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada warga pada awal 2009 (dua tahun setelah uang muka dibayarkan). Namun, Lapindo dengan alasan krisis keuangan mencicil pembayaran sisa tersebut, tetapi tidak selalu lancar.
Selama sebulan terakhir, sekelompok warga korban lumpur Lapindo menduduki tanggul penahan lumpur. Warga merasa masih memiliki hak atas wilayah yang sudah terendam lumpur itu karena Lapindo belum menuntaskan seluruh kewajibannya membayarkan tanah dan atau bangunan warga korban lumpur.
Pada Februari 2013, Presiden Yudhoyono hanya mengingatkan (bukan memerintahkan, apalagi menghukum) Lapindo untuk segera melunasi pembayaran itu. Nyatanya, sampai Mei ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Lapindo belum juga tuntas. Ironis, aksi warga menuntut haknya itu justru dihentikan paksa oleh kepolisian Sidoarjo.
Peraturan fisik
Awal Mei, Presiden menandatangani PP No 33/2013 tentang Perubahan Kelima atas Perpres No 14/2007 (Perpres 33/2013).
Secara substansi, Perpres No 33/2013 hanya merinci batas-batas wilayah terdampak yang sudah diputus sebelumnya dalam Perpres No 37/2012 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No 14 (Perpres No 37/2012). Satu-satunya yang baru dalam Perpres No 33/2013 adalah pengaturan atas tanah dan/atau bangunan yang bersifat wakaf.
Kita bersyukur atas sikap pemerintah yang terus memantau perkembangan bencana lumpur Lapindo sekaligus merevisi segala kebijakan terkait. Namun, kita juga perlu terus mengingatkan, persoalan lumpur Lapindo bukan semata mengganti rugi tanah dan atau bangunan warga.
Perpres No 14/2007 dan perubahannya hanya berkutat menangani semburan lumpur (penanggulan dan pembuangan lumpur ke Sungai Porong), sosial (khususnya ganti-rugi), dan infrastruktur (transportasi).
Tidak satu pun dalam Perpres yang mengatur upaya pemulihan kehidupan sosial-ekologis yang rusak akibat bencana lumpur panas Lapindo. Padahal, masih menurut Cernea (2003), selain menata ulang kehidupan sosialnya, korban pemindahan paksa juga harus bangkit dari keterpurukan. Skema pembayaran Lapindo secara cicilan memperburuk percepatan pemulihan ini.
Apalagi, pemerintah belum memperhitungkan pembangunan kembali gedung sekolah dan ruang publik yang terendam lumpur. Pemerintah lebih fokus pada relokasi infrastruktur transportasi.
Ganti rugi juga tidak pernah ditujukan untuk mengganti, misalnya, biaya pengobatan akibat gas hidrokarbon yang menyertai semburan lumpur panas (Walhi, 2008). Catatan dari tiga puskesmas di tiga kecamatan terdampak, ada peningkatan signifikan jumlah penderita gangguan pernapasan (ISPA).
Abai sosial ekologis
Juga masih terlupakan usaha pemulihan ekologis wilayah yang terendam lumpur. Lumpur yang mengandung logam berat dialirkan begitu saja ke Sungai Porong. Dalam jangka panjang, logam berat dapat memicu berbagai gangguan kesehatan.
Dengan demikian, kasus Lapindo bukanlah semata persoalan ganti rugi. Ada ihwal penting lainnya, yaitu pemulihan kehidupan sosial-ekologis.
Karena itu, setelah tujuh tahun kita perlu mendesakkan strategi yang lebih sistemik untuk memulihkan kehidupan sosial-ekologis masyarakat dan lingkungannya, selain mengingatkan terus penyelesaian ganti rugi.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar