Selasa, 18 Juni 2013

Kematian sebagai Harapan

Kematian sebagai Harapan
Yudi Latif  ;   Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 18 Juni 2013


Kematian tidak selamanya bermakna kekelaman, tetapi bisa juga menandakan harapan. Kepergian Ustaz Jefri Al Buchori (Uje) sebagai tokoh masyarakat sipil dan Taufiq Kiemas sebagai tokoh politik, yang mengundang begitu banyak simpati dan apresiasi, menyiratkan masih ada pelita penerang dalam gulita perjalanan bangsa.
Tidak ada manusia yang sempurna. Namun, tidak ada pula manusia yang diciptakan untuk keburukan. Setiap pemulia memiliki masa lalu, dan setiap pendosa punya masa depan. Dengan segala kekurangan dan jejak nodanya, kedua tokoh itu berjuang menuliskan skenario kematian yang indah; berakhir husnul khatimah. Keduanya meninggal sebagai pelajaran bagi yang hidup, bahwa setiap orang bisa meninggal sebagai pahlawan. Yang diperlukan hanya niat baik, welas asih, sedikit pengorbanan, dan konsistensi.
Semuanya bermula dari diri sendiri. Dikatakan oleh Imam Ali kepada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.” Mawas diri merupakan kewajiban pertama pemimpin. Lao Tze menyatakan, ”Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka.”
Bermula dari tobat, Ustaz Jefri mendayagunakan sedikit pengetahuan keagamaan yang dikuasainya untuk menebarkan kabar baik dan kasih sayang bagi yang lain. Pesan keagamaannya menyapa semua orang tanpa prasangka buruk; dengan tak kenal lelah blusukan mendatangi berbagai majelis taklim tanpa mempersoalkan tarif; dan menggalang solidaritas sesama dai sebagai simpul jaringan moral. Kehadirannya menjadi kritik bagi kemerosotan wibawa moral tokoh masyarakat sipil karena kehilangan kekuatan spontanitas pengayoman dan kesukarelaannya karena gerusan politik uang.
Bermula dari ”kekalahan” dan keterpinggiran, Taufiq Kiemas (TK) berusaha menerima kekalahan dan penderitaan dengan menjadikan ”musuh” sebagai mitra dan mengembangkan sikap positif pada yang beda. Pandangan hidupnya mengingatkan kita pada ungkapan James Allen, ”Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan.” Dengan mengembangkan prasangka baik, ia menjadikan dirinya sebagai jembatan komunikasi dan rekonsiliasi antarunsur kebangsaan; yang mampu mencairkan kebekuan dan melunakkan ekstremitas.
Meski pemikiran dan artikulasi politiknya terbatas, kekuatan perhatiannya cocok untuk mengeluarkan bangsa dari situasi limbung antara bayangan kelam masa lalu dan pesimisme masa depan. Gaya kepemimpinannya yang positive thinking dan merangkul semua kalangan menjadi kritik terhadap sikap kepemimpinan yang anarki (mengedepankan kepentingan pribadi), tradisionalisme (mendominasi dengan memarjinalkan yang lain), dan mengembangkan apatisme (demokrasi yang mengabaikan rakyat) menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Dalam memperjuangkan politik harapan, TK menggunakan kekuasaan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dan memberikan kesempatan kepada yang muda.
Kehadiran kedua tokoh tersebut memberikan tanda masih ada mutiara-mutiara pemimpin yang tersimpan di perut bumi bangsa ini, yang memberi kita secercah harapan akan masa depan bangsa. Tantangannya, bagaimana merangkai mutiara-mutiara positif bangsa ini menjadi rantai moral kolektif yang dapat membawa bangsa keluar dari kubangan krisis. Yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.
Untuk menjawab tantangan itu, Pancasila sebagai basis moral publik harus mengalami ”radikalisasi” (pengakaran) dalam segala dimensinya: keyakinan (mitos), pengetahuan (logos), dan tindakan (etos). Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu.
Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundang-undangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Dalam terang kesadaran itu, kematian Uje dan TK bukanlah pertanda akhir yang kelam, melainkan awal kehidupan yang penuh harapan, sejauh kita mampu meneruskan jejak langkahnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar