Senin, 03 Juni 2013

Film “Sang Kyai” dan Politik Kaum Sarungan


Film “Sang Kyai” dan Politik Kaum Sarungan
Marwan Ja’far ;  Ketua Fraksi PKB DPR RI dan Ketua DPP PKB
KORAN SINDO, 03 Juni 2013


Film bertajuk Sang Kyai yang disutradarai oleh Rako Prijanto ini menarik untuk kita cermati. Film kolosal ini tak hanya menjadi tontonan yang menyuguhkan fakta sejarah, namun sekaligus menjadi tuntunan bagi generasi sekarang dan masa mendatang. 

Film berdurasi sekitar 2,5 jam ini mampu membawa suasana batin kita ke masa lampau. Suasana alam pedesaan yang sederhana dan tenang. Mayoritas kaum santri Nahdliyin (kaum sarungan) yang tinggal di pedesaan itu mulai terusik. Berbagai tekanan dari bangsa kolonial, baik secara sosial, politik dan ekonomi tak terbendung lagi. 

Potret dunia kelam di bawah hegemoni kolonial inilah yang menumbuhkan kesadaran ideologis dalam diri Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari sebagai representasi kaum muda dan kaum sarungan melawan segala bentuk kolonialisme. Semangat ideologi kebangsaan ini juga yang membangkitkan sikap perlawanan  vis a vis kaum sarungan terhadap bangsa penjajah. 

Eksistensi Kaum Sarungan 

Dari perspektif historis, sosok Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari muda yang diperankan secara apik oleh Ikranegara dan Christine Hakim sebagai ibu Nyai Hasyim Asy’ari ini, tak hanya digambarkan sebagai pemimpin yang pemberani, namun sekaligus cerdas dan bijaksana. 

Ketiga unsur inilah yang menempatkan posisi strategis Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari sehingga berhasil menggerakkan masyarakat dari berbagai unsur pemuda, santri dan kiai dari berbagai daerah, terutama di Jawa dan Madura untuk melawan bangsa penjajah. Pergerakan dan perlawanan kaum sarungan itu terus berlangsung dan puncaknya tanggal 21 Oktober 1945. Mereka mengadakan rapat darurat di kantor ANO Surabaya. 

Pada hari berikutnya, yakni pada 22 Oktober 1945 pertemuan itu melahirkan seruan tentang jihad fi sabilillah yang dikenal dengan deklarasi “Resolusi Jihad”. Film yang menampilkan aktor dan aktris berbakat seperti Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Meriza Febriani, dan Dimas Aditya ini terbukti mampumenggambarkan pesan-pesan heroik kaum sarungan tentang pentingnya resolusi jihad terhadap bangsa kolonial, sekaligus menunjukkan sikap bijaksana terhadap sesama. 

Jika kita cermati, pesan dalam momentum resolusi jihad tersebut antara lain: Pertama, kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Kedua, peneguhan kembali bentuk pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. Ketiga, pentingnya sikap waspada dan hati-hati terhadap musuh, terutama Belanda dan sekutunya serta Jepang. 

Keempat, kewajiban bagi umat Islam terutama Nahdlatul Ulama untuk mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kelima, kewajiban melawan Belanda dan sekutu-sekutunya merupakan suatu jihad yang hukumnya fardlu ‘ain (kewajiban setiap individu umat Islam) yang berada pada jarak radius 94 km. 

Dengan seruan ini, kaum sarungan menyambutnya dengan antusias dan sukacita. Akhirnya, para Kiai dan kaum sarungan yang tinggal di kotakota besar di Jawa Tengah, Jawa Barat, JawaTimur, danluarJawa tergerak untuk melawan segala bentuk penjajahan. Untuk kalangan pemuda dibentuklah laskar Hisbullah yang dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Untuk kalangan dewasa dibentuk laskar Sabilillah yang dipimpin oleh KH Maskur. 

Sementara untuk kalangan sesepuh dan kiai dibentuk laskar Mujahidin yang dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah. Mereka bergerak secara berbondong-bondong menuju Kota Surabaya. Ketiga kekuatan kaum sarungan, yakni laskar Hisbullah, Sabilillah, dan Mujahidin itu akhirnya berhasil mengalahkan dan mengusir tentara sekutu pada 10 November 1945. 

Refleksi Diri 

Sebagai sebuah karya film, wajar jika memiliki keterbatasan tertentu sehingga tak seutuhnya menggambarkan peristiwa heroik itu. Terlepas dari itu, film Sang Kyai ini layak kita apresiasi sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pendokumentasian sejarah, sekaligus menumbuhkan nilai edukatif dan refleksi diri bagi setiap generasi. 

Pertama, keberadaan kaum sarungan di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara sangat besar. Keberadaan mereka pun tetap eksis sejak zaman kolonial hingga sekarang. Di zaman kolonial, kaum sarungan berjuang vis a vis terhadap bangsa colonial sebagai manifestasi jihad fi sabilillah secara tekstual. Sementara di zaman merdeka, kaum sarungan berjuang di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, pendidikan, politik, dan keagamaan sebagai manifestasi  jihad fi sabilillah secara kontekstual.
Kedua, keberhasilan sebuah jihad fi sabilillah, baik secara tekstual maupun kontekstual, tak lepas dari faktor-faktor:
1) Kesungguhan dan ketulusan hati dalam memperjuangkan sebuah nilai kebenaran. Dengan jiwa seperti itu Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari dan para kiai berhasil menumbuhkan keyakinan dalam diri kaum sarungan dan menggerakkan mereka melawan berbagai bentuk kolonialisme itu.
2) Adanya partisipasi kolektif yang berhasil digerakkan oleh stake holders untuk mencapai cita-cita bersama. Figur Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari dan Ulama NU membuktikan diri berhasil menggerakkan partisipasi masyarakat dan kaum sarungan dalam mengusir bangsa kolonial dari bumi pertiwi.
3) Membangun strategi gerakan di semua lapisan sosial yang melahirkan gerakan sosial secara masif. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari telah membentuk lapisan sosial mulai dari kalangan pemuda (Hisbullah), kalangan dewasa (Sabilillah) dan kalangan sesepuh (Mujahidin). 

Ketiga, penyegaran penanaman nilai ideologisasi secara terus menerus. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari sendiri selalu menggelorakan pentingnya jihad fi sabilillah melawan bangsa kolonial di dalam berbagai momentum, baik melalui dunia pesantren maupun organisasi NU. 

Kini, kaum sarungan tinggal meneruskan semangat resolusi jihad yang diwariskan oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, para kiai dan kaum sarungan tersebut dalam makna yang lebih kontekstual. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar