Minggu, 09 Juni 2013

BBM Bersubsidi dan Sikap Ambivalen PKS

BBM Bersubsidi dan Sikap Ambivalen PKS
Abdul Hakim MS ;    Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 07 Juni 2013



Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak henti-hentinya membuat sensasi. Dalam beberapa bulan terakhir, headline media massa seolah tersedot habis untuk mengulas khusus partai berlambang bulan kembar dua ini. 

Sebagaimana diketahui, PKS meraih perhatian amat besar dari media setelah mantan presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq, digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus suap atas skenario penambahan kuota impor daging sapi di Kementrian Pertanian. Ditambah dengan bumbu deretan wanita cantik yang terlibat didalamnya, kasus ini seperti tak bosan-bosan dikonsumsi publik. 

Kini, polemik kembali dihadirkan PKS. Namun masalah yang muncul bukan lagi terkait Luthfi Hasan Ishaaq atau Ahmad Fathanah, salah satu tersangka bersama Luthfi dalam kasus impor daging sapi, melainkan berhubungan dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam waktu dekat ini. 

Meski merupakan salah satu dari partai yang bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah, akan tetapi PKS dengan gencar melakukan penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi melalui spanduk yang dipasang diberbagai daerah. Ancaman pun dikeluarkan, yakni PKS akan keluar dari koalisi jika harga BBM betul-betul dinaikkan.

Kecurigaan

Seandainya sikap yang ditempuh PKS ini merupakan kebijakan dari partai seperti PDI Perjuangan atau Partai Gerindra yang sedari awal sudah memposisikan diri sebagai oposan pemerintah, mungkin perilaku PKS itu tak begitu mengundang kecurigaan. Masalahnya, sikap ini dikeluarkan PKS yang merupakan partai koalisi pemerintah sekaligus partai yang sedang ditimpa prahara. 

Banyak kalangan menengarai, upaya penolakan yang dilakukan oleh PKS ini tak lebih hanya sebagai trik untuk mengembalikan posisi PKS ke titik aman dalam menghadapi pemilu 2014. Karena sebagaimana telah dilansir banyak lembaga survei, kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq telah memposisikan tingkat elektabilitas PKS di titik nadhir. Dan tentu, langkah popular yang bisa ditempuh guna menaikkan citra dalam waktu singkat adalah dengan cara “melawan” kebijakan-kebijakan pemerintah seperti rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Namun sayang, track record PKS dalam upaya mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah kurang begitu baik. Sebagai contoh ancaman keluar dari koalisi misalnya. Tak hanya kali ini saja PKS mengancam akan minggat dari koalisi. Dalam catatan penulis, setidaknya lima kali cara ini pernah ditempuh. Namun alih-alih serius minggat, ancaman keluar seolah hanya dijadikan alat tawar untuk bisa menggapai tujuan jangka pendek semata.

Tentu kita masih ingat bagaimana Presiden PKS, Anis Matta, akan mengancam tak akan lagi bergabung dengan partai koalisi pendukung pemerintah setelah pemilihan umum legislatif tahun 2009 silam. Kala itu, Anis Matta yang berposisi sebagai Sekjen PKS melontarkan ancaman tidak ingin berkoalisi dengan SBY jika SBY tidak memilih Hidayat Nur Wahid sebagai wakilnya dalam Pilpres 2009. Namun apa kenyataannya, PKS tetap mengekor pemerintahan SBY-Budiono dalam KIB Jilid II.

Setelah KIB jilid II terbentuk, dan PKS mengaku taat dengan aturan koalisi, gertakan keluar dari koalisi juga kerap diperdengarkan. Yang pertama muncul ketika akan ada rencana reshuffle kabinet menjelang satu tahun usia KIB jilid II. PKS lagi-lagi mengaku akan minggat jika jatah menterinya dikurangi. Maklum, ketika itu nama tifatul Sembiring santer terdengar akan terdepak dari susunan menteri. Gertakan itu juga mengiringi keinginan PKS untuk bisa mendapatkan jatah empat dari tiga menteri yang sudah diperoleh PKS.

Sikap ambivalen PKS lagi-lagi muncul dalam kasus skandal Bank Century. Di satu sisi, PKS tetap duduk dalam barisan koalisi, sembari tetap mengkritik tajam pemerintah. Hal yang sama juga pernah dilakukan kala pemerintah menaikkan harga BBM setahun yang lalu. Sembari tetap duduk manis di gerbong koalisi, PKS menuduh kebijakan Presiden SBY tak pro rakyat.

Yang membuat publik kembali terhentak, tiba-tiba saat Luthfi Hasan Ishaaq terjerat kasus suap, salah satu fungsionaris utama PKS, Fahri Hamzah, ujug-ujug mengancam keluar dari koalisi. Menurutnya, prahara yang menimpa PKS ini merupakan skenario besar untuk menjatuhkan citra partainya. Meski pada ujungnya Dewan Syuro PKS tetap menyatakan mendukung koalisi pemerintahan. Dan yang terakhir, gertakan kembali muncul terkait rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dalam waktu dekat ini. 

Dengan track record seperti tertuang di atas, penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilancarkan oleh PKS melalui spanduk-spanduknya, sepertinya tak akan membawa banyak manfaat untuk memperbaiki citranya. Ada baiknya, PKS sudah mulai melakukan upaya yang lebih konkrit dalam membenahi internalnya pasca prahara. Mungkin langkah PKS seperti kala masih bernama PK bisa diambil sebagai alternatif, yakni di mana ada masyarakat membutuhkan bantuan, di situ bendera PK berkibar paling pertama.

Ambivalen

Yang menarik, kebijakan PKS ternyata tak menular kepada para menterinya yang duduk di KIB Jilid II. Tifatul sembiring misalnya yang merupakan mantan Presiden PKS, mengaku akan mendukung penuh dan mensosialisasikan dengan baik rencana pemerintah dalam upaya mengangkat sedikit beban biaya subsidi melalui kenaikan harga BBM.

Sebagaimana diketahui, alasan utama pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tak lepas dari beban APBN yang makin membengkak. Komposisi subsidi yang ada di APBN sudah cukup besar. Pada tahun 2012 saja, misalnya, subsidi BBM —baik yang dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)—sudah menembus angka Rp 300 triliun. Hal itu berarti subsidi BBM telah memakan porsi 20 persen dari volume APBN sebesar Rp 1.500 triliun. Persentasi itu sudah sama dengan anggaran pendidikan kita.

Pada tahun 2013, alokasi subsidi BBM diperkirakan akan meningkat mencapai Rp 320 triliun dari jumlah APBN sebesar Rp 1.600 triliun. Jika tidak segera dicarikan solusi, mungkin tahun 2014 beban subsidi bisa saja berada diangka Rp 400 triliun. 

Sebagai upaya meringankan masyarakat, pemerintah berencana kenaikan BBM nantinya akan dibarengi dengan kompensasi melalui empat saluran, yakni Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan penyediaan Beras Miskin (Raskin). 

Kembali ke PKS, merujuk kondisi di atas, jika ingin mengembalikan citranya, ada baiknya perilaku politik PKS diubah dengan saluran yang lebih elegan. Ancam-mengancam yang tak pernah terealisasi hanya memberikan pendidikan politik yang buruk terhadap masyarakat. Saatnya politik kita diisi dengan perilaku cerdas dan sehat agar masyarakat kembali simpati terhadap partai politik kita. Jangan lagi bersikap ambivalen. Jika ingin berada di jalur koalisi, tentu harus mendukung pemerintah. Namun jika tidak, lebih bijak jikalau PKS menarik tiga menterinya saat ini yang sedang bertugas di KIB Jilid II. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar