|
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2013
"Imbas
terorisme berdalih Islam apada akhirnya mencoreng kemoderatan muslim yang
toleran dan ramah"
KANTOR polisi kembali menjadi sasaran terorisme. Aksi bom
bunuh diri di Mapolres Poso merupakan kali kedua setelah sebelumnya di Mapolres
Cirebon pada 2011. Beberapa indikasi mengarah pada kesamaan modus dua kasus
tersebut. Mengapa kantor kepolisian termasuk target dari serangan sel baru
terorisme di Indonesia?
Padahal sebelumnya mereka hanya menyasar tempat hiburan
bagi warga negara asing atau aset bisnis yang berbau Amerika Serikat dan
sekutunya. Bruce Hoffman dalam Inside Terrorism (2009) menjawab perihal agenda
kaum teroris, yang kira-kira mulai muncul dan populer sejak Tragedi 11
September di AS. Hoffman tak hanya menjelaskan definisi, organisasi, dan
teknologi yang digunakan teroris dan peristiwa yang melibatkan terorisme
berjubah fundamentalisme keagamaan tapi juga menguraikan ’’misi suci’’mereka.
Hoffman menjelaskan terorisme jenis itu bersifat global atau transnasional,
mereka beraksi demi ’’tujuan suci’’. Penyebab dasarnya adalah interaksi
penetrasi dan penjajahan Barat atas hampir seluruh wilayah muslim pada masa
modern. Hal itu tak hanya menyebabkan disintegrasi politik muslim tetapi juga
memunculkan pergumulan intens di kalangan muslim, terutama kaum fundamentalis.
Superioritas Barat misalnya, selain memunculkan gerakan
pembaruan Islam di satu sisi, di sisi lain memunculkan gelombang
fundamentalisme Islam yang kemudian melancarkan aksi teror. Agenda terorisme
berdalih keagamaan salah satunya ingin menghancurkan aset yang diindikasikan
milik atau berbau Barat, dan ingin menciptakan stigma kengerian terhadap Barat
supaya mereka hengkang dari negeri muslim. Karena itu, rentetan aksi bom,
khususnya di Indonesia, dilakukan di tempat yang diindikasikan aset atau berbau
Barat, seperti Hotel JW Marriott, Ritz-Carlton, McDonald’s, kafe atau kelab
malam yang banyak dikunjungi orang Barat, seperti di Bali. Bagi kaum
fundamentalis, aset Barat ditengarai menghasilkan banyak devisa dan sebagian
disumbangkan guna memerangi muslim seperti di Irak, Afghanistan, Palestina,
muslim Moro, dan Pattaya.
Sejatinya salah menjadikan Indonesia sebagai daerah perang
(dar al-harb) dalam arti benturan
Islam dan Barat. Pasalnya Indonesia adalah negeri damai dan tak memiliki akar
bagi muslim radikal dan ekstrem. Muslim Indonesia terkenal karena
kemoderatannya. Namun warna keberagamaan Islam yang khas Indonesia memang
tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran gerakan fundamentalis. Pemahaman
keagamaan mainstream yang dianut mayoritas muslim dinilai bukan pemahaman Islam
yang benar karena mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem
sosial politik lokal ataupun sekuler.
Mainstream
keagamaan yang dianut secara mayoritas itu juga dianggap berbeda dari Islam
ideal. Menurut kaum fundamentalis, autentisitas Islam telah hilang dan
karenanya perlu purifikasi dan sistem Islam (nizam al-Islam). Ramah Toleran Kelompok fundamentalis tidaklah
tunggal.
Dalam artikel ’’Anatomy
of Salafi Movement’’, Quintan Wiktorowicz (2003) mengidentifikasi tiga varian
kelompok salafi, yaitu purist, politicos,
dan jihadis. Kelompok pertama
memberikan penekanan pada metode nonkekerasan, seperti dakwah, purifikasi, dan
pendidikan. Kelompok kedua, menekankan penerapan kredo salafi yang
antipluralisme pada arena politik, yang oleh mereka dianggap sangat penting
karena politik secara langsung memberikan pengaruh terhadap keadilan sosial.
Adapun varian ketiga, mengambil posisi jauh lebih militan dan mengusung
keyakinan bahwa situasi yang dihadapi umat Islam saat ini menyerukan kekerasan
dan revolusi. Yang ketiga inilah kemudian sering melakukan teror bom bunuh
diri.
Islam memang memiliki potensi melahirkan pluralitas kebenaran, atau
istilah lain adalah Alquran sendiri melahirkan double discourse. Menurut Ashgar
Ali-Engineer (1999), pemikir muslim liberal dari India, penafsiran yang beragam
terhadap Islam adalah sesuatu yang inheren, itu bisa terjadi karena teks
Alquran sangat kaya dan bisa didekati lewat berbagai cara. Termasuk saat kaum
fundamentalis mengartikan teror sebagai jihad dan menganggap Barat sebagai
musuh bukan sebagai mitra dialog.
Namun terorisme jelas bertentangan dengan agama dan
kemanusiaan karena telah membunuh orang tak berdosa. Menurut Bruce Lawrence
dalam Shattering the Myth (2004),
tindakan jihad yang diartikan kaum fundamentalis sebenarnya sebentuk
penyimpangan dari ajaran agama (religious
deviation). Itulah tantangan bagi dunia Islam, bagaimana mengembalikan
wajah Islam yang ramah dan toleran. Gerakan fundamentalisme yang ekstrem dan
radikal memang bersifat peripheral, dalam arti sangat minoritas. Namun dari
celah itulah jika tak ditanggapi serius bisa menjadi bumerang bagi komunitas
muslim dalam arti mayoritas. Imbas aksi terorisme berdalih Islam pada akhirnya
mencoreng kemoderatan muslim yang toleran, ramah, dan mencintai
kemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar