|
SUARA KARYA, 11 Juni 2013
Rezim sekarang layakkah dikatakan
mengalami kebutaan dan ketulian kronis, apabila tidak peduli terhadap dampak
kenaikan harga sembako dan biaya hidup yang makin menyengsarakan rakyat akibat
(rencana) kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)? Tahun 2005, Profesor
Mubyarto pernah mengatakan hal serupa terkait kenaikan harga BBM.
Ketika rezim buta dan tuli
terhadap nasib rakyat, jajaran eksekutif dan legislatif bisa jadi justru merasa
gembira. Mereka mungkin malah berkomentar, "Biarlah
semakin banyak anak putus sekolah, agar di kemudian hari tidak menjadi
mahasiswa yang suka unjuk rasa dan merepotkan kita. Dan, biarlah semakin banyak
rakyat miskin yang mati, agar angka kemiskinan bisa berkurang dengan
sendirinya."
Sekarang, jajaran pers Indonesia
selayaknya memang rajin menyajikan "berita duka" yang semakin jelas
membeberkan kasus-kasus penderitaan rakyat akibat rezim buta dan tuli. Berita
duka demikian, meskipun tidak akan diperhatikan oleh rezim, tetap perlu
dilansir agar masyarakat kita tidak ikut-ikutan membuta-tulikan diri sendiri.
Dengan sering membaca berita duka,
masyarakat kelas menengah ke atas bisa berpeluang ikut prihatin. Sebab, rakyat
miskin sekarang hanya bisa berharap kepada tetangganya sesama rakyat yang sudah
makmur untuk bersedia menolong. Sedangkan rezim (legislatif dan eksekutif) bisa
saja tidak peduli, karena rumah-rumah mereka berpagar tinggi dan setiap
melakukan perjalanan ke kantor atau ke mana saja selalu dengan menggunakan
mobil berkaca gelap yang melaju kencang di jalan raya.
Dengan kata lain, rezim buta dan
tuli hanya mampu memperhatikan angka-angka di atas kertas kerja, dan tidak
melihat langsung sebenarnya berapa jumlah rakyat miskin yang sengsara akibat
buruknya kinerja mereka.
Judul-judul berita di koran-koran
sejak delapan tahun terakhir mungkin sudah bisa dikatakan semakin vulgar dan
menyentuh kalbu. Tapi, jika rezim tidak memiliki kalbu maka kevulgaran
judul-judul berita akan sia-sia saja.
Kini, seandainya semua koran di
Indonesia mengumpat-umpat rezim pun barangkali mereka tetap tidak akan peduli
karena mereka buta dan tuli. Dalam hal ini, janji-janji akan menyejahterakan
rakyat dan membuat sekolah gratis sulit dibuktikan oleh rakyat kecil. Bahkan,
janji-janji tersebut hanya semakin menyakitkan hati rakyat miskin.
Ibarat seorang ibu yang menanak
batu ketika anak-anaknya sedang kelaparan, maka tidak akan ada acara makan
sampai anak-anaknya tewas. Inilah tamsil apabila rezim terus menerus mengalami
buta dan tuli. Mungkin, jajaran legislatif dan eksekutif akan tersinggung oleh
tamsil ini, tetapi apa gunanya jika tamsil itu hanya bisa membuat mereka
sekadar tersinggung? Ada enam indikasi yang bisa menjelaskan suatu rezim layak
diduga buta dan tuli.
Pertama, suka memakai kacamata
hitam seperti turis-turis yang sedang menikmati sengatan matahari di Bali.
Dalam hal ini, rasa malu adalah sesuatu yang amat sederhana yang bisa diatasi
hanya dengan memakai kacamata hitam.
Kedua, suka memakai kacamata hitam
ketika mendengar laporan bawahan. Dengan memakai kacamata hitam, mata terpejam
atau melek sama saja. Biar saja bawahan menyampaikan laporan dengan mimik
serius, meski sebenarnya hanya laporan bohong alias tidak sesuai dengan
kenyataan.
Ketiga, suka memakai kacamata
hitam ketika membaca angka-angka kemiskinan yang telah disusun oleh para
pemerintah terdahulu pada era-era sebelumnya. Dengan demikian, salah baca
menjadi wajar-wajar saja, alias bisa dimaklumi.
Keempat, suka memakai kacamata
hitam ketika tampil di depan rakyat miskin, agar mimik duka rakyat miskin tidak
akan terlihat jelas. Atau, jika ada rakyat miskin yang meneteskan airmata, maka
akan dianggap sebagai meneteskan keringat yang berarti sangat sehat.
Kelima, suka memakai kacamata
hitam ketika meninjau sekolah-sekolah, sehingga jika ada dinding yang retak
bisa dianggap sebagai hiasan dinding, dan jika melihat atap atau plafon bolong
bisa dianggap sebagai lubang ventilasi. Atau, jika melihat banyak murid sekolah
yang bertubuh kurus akan bisa menganggapnya cukup langsing.
Keenam, suka memakai kacamata
hitam ketika dikerubungi kamera pers, agar jika dimuat di koran atau
ditayangkan di televisi akan mirip gambar-gambar bos mafia. Dengan demikian
rakyat tidak akan melihatnya, bahkan tidak akan mengenal siapa mereka. Bukankah
bagi rezim yang buta dan tuli lebih baik tidak dikenal oleh rakyat miskin yang
hanya merepotkan saja?
Enam indikasi yang membutatulikan
diri sendiri tersebut bersifat simbolistik. Artinya, bisa saja jajaran
legislatif dan eksekutif tidak perlu memakai kacamata hitam, karena hati
nuraninya sudah gelap gulita.
Buta dan tulinya rezim mungkin
akan berkelanjutan, kecuali jika diterapi dengan sebuah revolusi. Namun, karena
tidak ada tanda-tanda akan munculnya revolusi, agaknya rezim akan terus-menerus
buta dan tuli, atau pura-pura buta dan tuli.
Selebihnya, silahkan menilai diri
sendiri, baik jajaran legislatif maupun eksekutif. Apakah keduanya benar-benar
buta dan tuli atau sekadar pura-pura buta dan tuli terhadap kesengsaraan
rakyat, kembali ada pada nurani orang-orang yang duduk di sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar