Semestinya,
ketika menghadapi ujian, yang muncul adalah debar senang karena akan naik
jenjang ke kehidupan yang lebih tinggi. Anak-anak usia SD yang remaja
awal akan naik ke jenjang SMP. Juga usia remaja ke remaja akhir, yakni
dari SMP ke SMA. Selain itu, dari remaja akhir ke masa dewasa awal, yaitu
dari SMA ke jenjang perguruan tinggi, bekerja, atau menikah.
Mari digambarkan kuat-kuat bahwa lulus ujian itu
menyenangkan. Menghadapi ujian berarti menuju jenjang hidup yang lebih
tinggi. Itu terwakili dari warna baju seragam sekolah yang berbeda. Ada
juga hak dan kewajiban baru pada jenjang yang lebih tinggi yang dulu
tidak diperbolehkan. Misalnya, mengurus KTP atau SIM, yang berarti
diperlakukan sebagai orang dewasa oleh negara.
Kegembiraan itu kini tertutupi aneka ''hati-hati'' dan
''awas''. Menjelang ujian nasional (unas), yang terdengar: Hati-hati,
sudah dekat ujian; Ayo belajar (dan seakan belajar hanya untuk ujian);
Awas, sekarang sulit lho ujiannya; Awas, pengawasnya semakin ketat;
Hati-hati, macam soalnya banyak; atau Awas, nggak bisa nyontek (seakan
menyontek adalah hal yang dibenarkan). Dampaknya, adik, kakak, teman
main, televisi, atau aktivitas bermain dijauhkan agar anak bisa belajar untuk
unas. Unas menjadi seperti musuh.
Mengapa jadi menyeramkan? Unas juga dijadikan tolok
ukur prestasi sekolah, sehingga sekolah terbebani. Beban itu dibagi
kepada guru dan selanjutnya guru membagi beban tersebut dengan anak
didiknya. Akibatnya, anak sekolah menjadi instrumen dalam mencapai
prestasi sekolah. Bukan sebaliknya, prestasi anak mendongkrak sekolah.
Makna itu berbeda. Yang satu, anak menjadi objek dan satu lagi anak
menjadi subjek. Akibatnya, dua hal ini juga berdampak berbeda dalam
perkembangan anak.
Dalam perspektif psikologis perkembangan rentang
kehidupan (life span perspektif), psikologis perkembangan anak sebelumnya akan
memengaruhi psikologis perkembangan selanjutnya. Pengalaman unas yang
menyeramkan dan menakutkan akan memengaruhi psikologis perkembangan anak
selanjutnya.
Unas telah menguras semua aspek perkembangan anak,
mulai kognisi, afeksi, dan psikomotor. Anak mengasah kognisinya dengan
memperbanyak latihan soal (metode drill) yang
membuat mereka seperti mesin dan menghafal jenis soal. Muncullah strategi
anak memecahkan soal namun tidak memahami konsepnya. Dalam diri anak juga
terjadi perkembangan afeksi atau emosi. Nah, sayangnya, emosi yang
terstimulasi dalam kelas kehidupan unas adalah perasaan cemas, takut, dan
superheboh. Karena itu, anak-anak tidak mudah lagi tersenyum (atau
mungkin senyum juga dilarang, harus serius karena mau unas). Gambaran
yang terjadi adalah wajah anak yang capek karena tutorial pelajaran yang
terus-menerus dan cemas dalam ujian.
Psikomotor jelas terlihat mulai gerak tangan yang
mencoba menghitamkan lembar jawaban ujian (LJU), sehingga sensor
penglihatan dan koordinasinya dengan gerak tangan juga terasah secara
terus-menerus karena latihan ujian yang terus-menerus.
Wow... terlihat
sekali bahwa kehidupan anak yang menjalani unas terstimulasi dalam segala
aspek perkembangan. Tentunya, harapan orang tua, pendidik, dan orang
dewasa lainnya adalah psikologis perkembangan anak yang terasah karena
unas itu bisa berdampak positif.
Bagaimana caranya? Tahap pertama, membuat lingkungan
yang menyenangkan. Ajari anak bersikap positif. Unas memang
ditunggu-tunggu sebagai tanda penuntasan jenjang pendidikan. Unas
merupakan gerbang ketuntasan dalam jenjang pendidikan. Sukses
melaksanakan unas adalah penanda ketuntasan anak di jenjang yang ada
(bukan penanda prestasi sekolah, apalagi penanda prestasi kepala dinas
pendidikan). Nuansanya harus dibuat seperti ketika anak-anak menunggu
liburan dan seperti nyanyian penyanyi Tasya saat cilik. Libur tlah tiba, libur tlah tiba... hore hore hore!
Setelah sikap positif terbentuk, motivasi akan mudah
diberikan agar anak tumbuh percaya diri dan rileks. Terbukti, anak-anak
yang mampu mendapat nilai yang tinggi bukanlah anak yang menduduki rankingatas, tetapi justru anak-anak yang tidak terduga.
Psikologis mereka tenang karena tidak ada tekanan untuk menjadi yang
terbaik seperti anak-anak ranking atas.
Selanjutnya, ketika bersikap positif dan percaya diri,
anak akan merasa bahwa tanggung jawab menyelesaikan unas dengan nilai
baik merupakan tanggung jawab pribadinya. Dia tak harus ikut bertanggung
jawab atas nilai teman-temannya agar nilainya unas di sekolahnya baik.
Personalisasi tanggung jawab itu membentuk pribadi tangguh dan siap
menghadapi tantangan. Dia tidak berharap menunggu bantuan jawaban dari
temannya yang dianggap pintar.
Ketika anak mulai bertanggung jawab dan tangguh,
muncullah kejujuran, sehingga mengikis praktik menyontek. Sekali lagi,
anak tangguh adalah anak yang mahal dan langka saat ini. Alangkah banyak
orang tua yang karena perasaan bersalahnya sering memberikan fasilitas
agar anak tidak merasa susah atau permisif.
Dari titik awal sikap positif itu, dengan tahap yang
positif pula, secara psikologis anak kita, generasi penerus kita, akan
tumbuh menjadi anak yang berkembang dengan baik. Pengalaman unas adalah
pengalaman yang menyenangkan dan menjadi penanda ketuntasan jenjang
pendidikan serta batas akhir kemampuan memasuki tahap psikologis
perkembangan selanjutnya.
Mari ajak mereka menyanyi gembira. Unas telah tiba... unas telah tiba... Hore! Hore! Hore!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar