Sabtu, 13 April 2013

Unas Tiba, Bergembiralah


Unas Tiba, Bergembiralah
Dewi Retno Suminar  ;  Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga,
Doktor di bidang Psikologi Perkembangan
JAWA POS, 13 April 2013

  
Semestinya, ketika menghadapi ujian, yang muncul adalah debar senang karena akan naik jenjang ke kehidupan yang lebih tinggi. Anak-anak usia SD yang remaja awal akan naik ke jenjang SMP. Juga usia remaja ke remaja akhir, yakni dari SMP ke SMA. Selain itu, dari remaja akhir ke masa dewasa awal, yaitu dari SMA ke jenjang perguruan tinggi, bekerja, atau menikah. 

Mari digambarkan kuat-kuat bahwa lulus ujian itu menyenangkan. Menghadapi ujian berarti menuju jenjang hidup yang lebih tinggi. Itu terwakili dari warna baju seragam sekolah yang berbeda. Ada juga hak dan kewajiban baru pada jenjang yang lebih tinggi yang dulu tidak diperbolehkan. Misalnya, mengurus KTP atau SIM, yang berarti diperlakukan sebagai orang dewasa oleh negara. 

Kegembiraan itu kini tertutupi aneka ''hati-hati'' dan ''awas''. Menjelang ujian nasional (unas), yang terdengar: Hati-hati, sudah dekat ujian; Ayo belajar (dan seakan belajar hanya untuk ujian); Awas, sekarang sulit lho ujiannya; Awas, pengawasnya semakin ketat; Hati-hati, macam soalnya banyak; atau Awas, nggak bisa nyontek (seakan menyontek adalah hal yang dibenarkan). Dampaknya, adik, kakak, teman main, televisi, atau aktivitas bermain dijauhkan agar anak bisa belajar untuk unas. Unas menjadi seperti musuh. 

Mengapa jadi menyeramkan? Unas juga dijadikan tolok ukur prestasi sekolah, sehingga sekolah terbebani. Beban itu dibagi kepada guru dan selanjutnya guru membagi beban tersebut dengan anak didiknya. Akibatnya, anak sekolah menjadi instrumen dalam mencapai prestasi sekolah. Bukan sebaliknya, prestasi anak mendongkrak sekolah. Makna itu berbeda. Yang satu, anak menjadi objek dan satu lagi anak menjadi subjek. Akibatnya, dua hal ini juga berdampak berbeda dalam perkembangan anak.

Dalam perspektif psikologis perkembangan rentang kehidupan (life span perspektif), psikologis perkembangan anak sebelumnya akan memengaruhi psikologis perkembangan selanjutnya. Pengalaman unas yang menyeramkan dan menakutkan akan memengaruhi psikologis perkembangan anak selanjutnya. 

Unas telah menguras semua aspek perkembangan anak, mulai kognisi, afeksi, dan psikomotor. Anak mengasah kognisinya dengan memperbanyak latihan soal (metode drill) yang membuat mereka seperti mesin dan menghafal jenis soal. Muncullah strategi anak memecahkan soal namun tidak memahami konsepnya. Dalam diri anak juga terjadi perkembangan afeksi atau emosi. Nah, sayangnya, emosi yang terstimulasi dalam kelas kehidupan unas adalah perasaan cemas, takut, dan superheboh. Karena itu, anak-anak tidak mudah lagi tersenyum (atau mungkin senyum juga dilarang, harus serius karena mau unas). Gambaran yang terjadi adalah wajah anak yang capek karena tutorial pelajaran yang terus-menerus dan cemas dalam ujian.

Psikomotor jelas terlihat mulai gerak tangan yang mencoba menghitamkan lembar jawaban ujian (LJU), sehingga sensor penglihatan dan koordinasinya dengan gerak tangan juga terasah secara terus-menerus karena latihan ujian yang terus-menerus. 

Wow... terlihat sekali bahwa kehidupan anak yang menjalani unas terstimulasi dalam segala aspek perkembangan. Tentunya, harapan orang tua, pendidik, dan orang dewasa lainnya adalah psikologis perkembangan anak yang terasah karena unas itu bisa berdampak positif.

Bagaimana caranya? Tahap pertama, membuat lingkungan yang menyenangkan. Ajari anak bersikap positif. Unas memang ditunggu-tunggu sebagai tanda penuntasan jenjang pendidikan. Unas merupakan gerbang ketuntasan dalam jenjang pendidikan. Sukses melaksanakan unas adalah penanda ketuntasan anak di jenjang yang ada (bukan penanda prestasi sekolah, apalagi penanda prestasi kepala dinas pendidikan). Nuansanya harus dibuat seperti ketika anak-anak menunggu liburan dan seperti nyanyian penyanyi Tasya saat cilik. Libur tlah tiba, libur tlah tiba... hore hore hore!

Setelah sikap positif terbentuk, motivasi akan mudah diberikan agar anak tumbuh percaya diri dan rileks. Terbukti, anak-anak yang mampu mendapat nilai yang tinggi bukanlah anak yang menduduki rankingatas, tetapi justru anak-anak yang tidak terduga. Psikologis mereka tenang karena tidak ada tekanan untuk menjadi yang terbaik seperti anak-anak ranking atas.

Selanjutnya, ketika bersikap positif dan percaya diri, anak akan merasa bahwa tanggung jawab menyelesaikan unas dengan nilai baik merupakan tanggung jawab pribadinya. Dia tak harus ikut bertanggung jawab atas nilai teman-temannya agar nilainya unas di sekolahnya baik. Personalisasi tanggung jawab itu membentuk pribadi tangguh dan siap menghadapi tantangan. Dia tidak berharap menunggu bantuan jawaban dari temannya yang dianggap pintar. 

Ketika anak mulai bertanggung jawab dan tangguh, muncullah kejujuran, sehingga mengikis praktik menyontek. Sekali lagi, anak tangguh adalah anak yang mahal dan langka saat ini. Alangkah banyak orang tua yang karena perasaan bersalahnya sering memberikan fasilitas agar anak tidak merasa susah atau permisif. 

Dari titik awal sikap positif itu, dengan tahap yang positif pula, secara psikologis anak kita, generasi penerus kita, akan tumbuh menjadi anak yang berkembang dengan baik. Pengalaman unas adalah pengalaman yang menyenangkan dan menjadi penanda ketuntasan jenjang pendidikan serta batas akhir kemampuan memasuki tahap psikologis perkembangan selanjutnya. 

Mari ajak mereka menyanyi gembira. Unas telah tiba... unas telah tiba... Hore! Hore! Hore!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar