Sudah makin jelas, di abad
internet ini belajar sebagai jantung pendidikan kian tak membutuhkan
sekolah.
Google sudah banyak menggantikan
guru. Tembok-tembok sekolah lambat tapi pasti bertumbangan diterjang
internet. Sungguh mengherankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
masih sibuk dengan bongkar pasang kurikulum, sementara sekolahnya sendiri
justru terancam ambruk dan tergusur.
Gagasan deschooling (baca: sekolah di rumah) untuk pertama kali
disampaikan Ivan Illich pada awal 1970-an saat internet belum ada. Illich
berpendapat, begitu pendidikan diartikan sama dengan persekolahan dan
dimonopoli oleh sekolah, pendidikan justru jadi barang langka. Akses ke
pendidikan justru jadi terbatas. Begitu pendidikan diartikan lebih luas
dan tak hanya persekolahan, pendidikan justru lebih mudah diakses.
Mengapa? Karena sejumlah institusi di masyarakat, termasuk keluarga di
rumah, bangkit untuk memberikan layanan pendidikan bagi warga.
Oleh karena itu, Kemdikbud
keliru saat meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi
di kurikulum. Taruhan terbesar kita justru kepada keluarga di rumah.
Memperkuat keluarga jauh lebih efektif untuk mendidik warga muda.
Kurikulum hanya resep makan siang di warung dekat rumah yang disebut
sekolah. Keluarga di rumahlah yang menyediakan sarapan dan makan malam.
Menaikkan upah buruh yang lebih layak akan memperkuat keluarga
menyediakan sarapan dan makan malam yang bergizi. Makan siang tidak akan
terlalu penting lagi.
Sugata Mitra, profesor teknologi
pendidikan, mengatakan, sekolah sudah kuno, tidak kita butuhkan lagi. Dia
mengusulkan perlunya self-organized
learning environment (SOLE) sebagai model pendidikan baru. Saya ingin
mempertegas bahwa keluarga adalah model SOLE terbaik yang pernah
diciptakan di planet ini. Ki Hadjar Dewantara pun memandang keluarga
adalah tempat belajar terbaik, terutama bagi warga belia.
Sekolah di rumah berfokus pada
pemberdayaan diri dan keluarga. Adalah logika sekolah yang mengajarkan:
makin banyak bersekolah kita akan makin terdidik. Makin banyak rumah
sakit, kita makin sehat. Makin banyak kantor polisi, kita makin tertib.
Makin banyak tentara dan tank, kita makin aman. Makin banyak masjid dan
gereja, kita makin religius. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya:
kita makin tidak terdidik, tidak sehat, tidak tertib, tidak aman, dan
tidak religius.
Semangat belajar mandiri atau
otodidak perlu dipromosikan dan dihargai. Syarat formalistik ijazah untuk
berbagai jabatan harus kita buang. Ijazah bukan bukti kompetensi yang
meyakinkan. Pendidikan nonformal dan informal perlu lebih kita hargai dan
memperoleh perhatian serta alokasi anggaran yang lebih sepadan.
Barat jelas lebih tersekolahkan
daripada bangsa ini. Kita mengadopsi konsep sekolah ini dari sana. Namun,
kita lihat saat ini, Barat sedang terhuyung-huyung didera sejumlah
krisis. Kita harus belajar dari kesalahan Barat. Kemdikbud tidak bisa
kita biarkan meletakkan taruhan masa depan bangsa ini di sekolah, apalagi
di kurikulum. Taruhan besar bangsa ini ada di rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar