Turun gunungnya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi Ketua Umum Partai Demokrat tidak tepat dibaca
sebagai dinamika internal partai semata. Lebih dari itu, hal tersebut
menunjukkan pola kontestasi politik Indonesia menjelang habisnya masa
jabatan Yudhoyono pada 2014.
Secara umum, situasi yang
terjadi di Partai Demokrat (PD) juga berlangsung di partai besar lain dan
partai menengah. Pola kontestasi ini menentukan kepemimpinan politik
Indonesia jangka pendek hingga 2019, dan sangat dimungkinkan dalam jangka
menengah.
Dua Pola Kontestasi Politik
Pertama, kegagalan generasi
”kedua” era Reformasi menjadi elite yang berkuasa, paling tidak melalui
Pemilu 2014. Generasi ini adalah kelompok muda dibandingkan generasi
”pertama” era Reformasi, seperti Wiranto dan Yudhoyono, yang berlatar
belakang militer; serta Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, dan
Akbar Tandjung yang berlatar belakang aktivis dan politisi. Generasi
kedua merupakan aktivis, intelektual publik, dan pimpinan organisasi
mahasiswa di tingkat nasional pada 1998.
Kontestasi politik antara
generasi pertama dan generasi kedua juga terjadi setelah Revolusi
Kemerdekaan 1945. Saat itu, generasi pertama didominasi intelektual
berpendidikan Belanda seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Sementara
generasi kedua terwakili kelompok tentara seperti Jenderal Soedirman dan
tokoh kiri muda seperti DN Aidit dan Njoto.
Benedict Anderson di dalam Java
in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946,
menjelaskan lahirnya kelompok tentara dalam jumlah besar—yang merupakan
kekuatan baru—yang dilatih pemerintah pendudukan Jepang. Mereka, secara
umum, berusia sangat belia serta memiliki latar belakang pendidikan dan
sosial-ekonomi beragam.
Ketegangan antara generasi
pertama dan kedua pascakemerdekaan kerap terjadi. Selama sekitar 20
tahun, generasi pertama—yang direpresentasikan oleh Soekarno—berhasil
mengendalikan kepemimpinan politik. Generasi kedua—yang didominasi
perwira tinggi TNI AD dan elite Partai Komunis Indonesia—menguat
posisinya pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya ketika Jenderal
Soeharto merebut kepemimpinan politik pada tahun 1965-1966.
Saat ini, generasi kedua era
reformasi menghadapi stagnasi peran di tiga parpol besar, yakni PD,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Anas
Urbaningrum sebagai ketua umum PD berhenti, yang kemudian digantikan
Yudhoyono dan dibantu para tokoh senior PD. Hal serupa terjadi di parpol
menengah. Pengecualian dapat ditemukan pada Partai Kebangkitan Bangsa.
Muhaimin Iskandar mengendalikan kepemimpinan partai secara riil. Namun,
pada saat bersamaan, PKB tertatih-tatih mempertahankan basis
elektoralnya.
Situasi kedua adalah keengganan
generasi pertama era Reformasi untuk melembagakan demokrasi internal di
parpol. Terdapat paradoks, demokrasi secara liberal dijalankan di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten, tetapi titah personal masih menjadi
kuasa di internal parpol.
PD merupakan contoh konkret.
Secara faktual, Yudhoyono telah menerapkan demokrasi ”terpimpin” di dalam
PD. PD saat ini tak lebih dari personalisasi Yudhoyono.
Anderson (1972) menjelaskan
bagaimana dalam budaya Jawa, yang sangat memengaruhi politik Indonesia,
pihak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Tak terlampau
penting apakah kepatuhan dan penghormatan itu dilakukan dengan tulus atau
tidak. Dalam konteks ini, kecil kemungkinan generasi kedua era Reformasi
berani mengambil kepemimpinan politik tanpa restu generasi pertama,
kecuali dalam kondisi yang luar biasa seperti revolusi.
Politik Pasca-Yudhoyono
Kelemahan generasi kedua era
reformasi menjadi penyebab situasi di atas. Pertama, minimnya kemampuan
dalam menggalang jaringan dan pendanaan untuk berebut pengaruh di parpol,
termasuk di tingkat dewan pimpinan daerah dan dewan pimpinan cabang
(DPC). Kedua, terbatasnya basis elektoral mereka dibandingkan generasi
pertama.
Sebelum memiliki masalah hukum,
Anas sebetulnya berada di jalur yang ”benar” untuk melawan situasi itu.
Tanpa restu Yudhoyono, dia terpilih menjadi ketua umum PD pada 2010.
Sejak itu, dia memperkuat jaringan hingga ke tingkat DPC dan menggalang
dana dengan otoritasnya sebagai ketua umum tanpa bergantung kepada
Yudhoyono sebagai patron.
Apa yang akan dilakukan generasi
pertama pada tahun 2014 dan setelahnya? Generasi pertama Reformasi masih
akan menjadi elite yang berkuasa pada 2014-2019. Kecil kemungkinan
generasi kedua mampu mendobrak kuasa para seniornya.
Setelah itu, generasi pertama
cenderung akan mewariskan kekuasaan kepada loyalis dan keluarga. Namun,
pengalaman pada 1960-an dan 1990-an menunjukkan, cara ini sulit berhasil
karena penerimaan publik yang rendah dan adanya resistansi elite.
Maka, pihak yang berpotensi
menjadi elite yang berkuasa setelah 2019 bukanlah loyalis generasi
pertama. Generasi kedua di dalam lingkar kekuasaan juga akan layu sebelum
berkembang.
Ada dua tipologi kelompok yang
bakal menguasai kepemimpinan politik di tahun 2019. Pertama, para kepala
daerah yang sukses membuktikan integritas dan kredibilitas
kepemimpinannya. Kedua, kelompok muda—antara lain intelektual dan
pengusaha—yang kini ”menjaga jarak” dengan kekuasaan dan menunjukkan
kredibilitas konkret di jalur nonpolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar