Perjuangan perempuan Indonesia
untuk mencapai kesetaraan politik dengan laki-laki selalu saja mendapat
tentangan politik patriarki. Hal tersebut terindikasi dari keengganan
mayoritas partai politik peserta Pemilu 2014 untuk memenuhi Peraturan KPU
Nomor 7 Tahun 2013 pasal 24 ayat 1 tentang persyaratan keterwakilan 30%
perempuan untuk setiap daerah pemilihan dalam daftar caleg sementara pada
9-22 April 2013.
Keengganan partai politik untuk memenuhi peraturan
tersebut lantaran banyak didominasi paradigma domestifi kasi perempuan yang
selalu bekerja di rumah dan tingkat kepopuleran caleg perempuan yang
dinilai masih kurang sehingga dikhawatirkan akan mengurangi angka
elektabilitas partai tersebut atau berkurangnya proporsi bilangan pembagi
pemilih (BPP).
Padahal, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tersebut
sudah mengacu kepada UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, khususnya dalam pasal
55 dinyatakan pengajuan caleg harus memuat paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan. Selanjutnya dalam pasal 56 ayat 2 disebutkan
dalam daftar caleg yang diajukan, setiap tiga calon harus memuat satu
calon perempuan.
Bilamana partai politik tidak mau memenuhi
persyaratan tersebut, dalam pasal 27 ayat 1 diatur; jika ketentuan itu
tidak terpenuhi, parpol tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat
pengajuan daftar bakal caleg di dapil bersangkutan.
Maka, parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu
peserta untuk dapil tersebut.
Meski demikian, sepertinya akan banyak partai politik
yang tidak akan mengindahkan peraturan KPU tersebut, kendati bila melanggar,
akan dikenai sanksi pembatalan keikutsertaan partai politik dalam dapil
tersebut. Mayoritas parpol masih menilai bahwa kuota 30% hanya berlaku
secara nasional dan tidak dalam bentuk kepengurusan maupun caleg per
dapil dalam daftar caleg sementara ini.
Kalaupun parpol akhirnya memenuhi ketentuan tersebut,
yang terjadi justru unsur `keterpaksaan' atau hanya memenuhi syarat
administratif saja kepada KPU, tetapi pada saat finalisasi daftar calon
tetap (DCT) nanti proporsi caleg perempuan akan `disesuaikan' sesuai
kepentingan strategis.
Tidak Utuh
Tercatat, baru tiga perempuan yang berhasil menembus
BPP, yakni Puan Maharani (PDI Perjuangan) yang memperoleh suara di daerah
pemilihan Jawa Tengah V dengan 242.054 suara atau 25,60% BPP, Karolin
Margret Natasa (PDI Perjuangan) dengan 222.021 suara atau sekitar 20,91%
BPP, dan Rusminiati (Demokrat) dengan 182.083 suara atau sekitar 19,71%
BPP. Dari ketiga caleg perempuan yang diposisikan sebagai caleg perempuan
dengan perolehan suara tertinggi pada Pemilu 2009 saja, tidak ada yang
memenuhi angka 30% keterwakilan perempuan secara utuh.
Selain itu pula, data Puskapol UI 2010 menunjukkan
bahwa dari total suara pemilih untuk caleg DPR, sebanyak 16 juta suara
atau 22,45% diberikan kepada caleg perempuan. Dilihat dari data 463
kabupaten/kota, terdapat 206 kabupaten/kota atau 44% yang memberikan
suara pada caleg perempuan mencapai 11%20%. Sebanyak 29% kabupaten/kota
memberikan suara pada caleg perempuan hingga 30%. Artinya dengan melihat bilangan pemilih tersebut,
angka elektabilitas caleg perempuan sendiri secaa general masih kurang dari angka 30 % sebagai bentuk affirmative action kepada perempuan.
Hal itu tentu saja menjadi ironi,
semenjak MK menetapkan bahwa sistem proporsional terbuka menjadi dasar
pemenangan pemilu dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2009. Yang
terjadi justru kuota 30% menjadi tidak berarti lagi karena terjadi
penyamarataan antara politisi perempuan dan laki-laki dalam berebut kursi
caleg baik di parlemen lokal maupun nasional.
Apa pun sistem yang digunakan Pemilu 2014, apakah
proporsional terbuka maupun proporsional tertutup, keduanya memiliki
tendensi untuk memarginalkan peta persaingan politik perempuan. Jika
proporsional tertutup berdasarkan sistem nomor urut daftar, kecenderungan
yang muncul ialah caleg perempuan berada di urutan bawah dan tidak berada
dalam daftar nomor urut teratas di mana pemilih cenderung secara
psikologis dan strategis memilih tiga nomor teratas.
Sementara dalam proporsional terbuka, suara caleg
laki-laki umumnya lebih besar daripada caleg perempuan. Karena preferensi
kultur maskulinitas yang superior dalam dinamika masyarakat kita
ketimbang feminitas. Jika demikian adanya, aturan kuota 30% keterwakilan
perempuan tiap dapil sebagaimana yang tercantum dalam PKPU No 7 Tahun
2013 hanya diimplementasikan setengah hati baik dari regulator maupun
eksekutor.
Maka, baik KPU, MK, maupun regulator Pemilu 2014
sekiranya bisa memberikan ruang-ruang konstitusional bagi politik
perempuan untuk dapat menampilkan citra dirinya sebagai penyambung
aspirasi perempuan Indonesia. Ruang konstitusi yang dimaksud ialah
sinergi antarregulator dalam membuat aturan yang berpihak pada sikap afirmatif
pada perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar