Rabu, 17 April 2013

Prospek Politik Perempuan 2014


Prospek Politik Perempuan 2014
Wasisto Raharjo Jati  Peneliti Politik di Center of Politic
and Media Institute Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 17 April 2013


Perjuangan perempuan Indonesia untuk mencapai kesetaraan politik dengan laki-laki selalu saja mendapat tentangan politik patriarki. Hal tersebut terindikasi dari keengganan mayoritas partai politik peserta Pemilu 2014 untuk memenuhi Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 pasal 24 ayat 1 tentang persyaratan keterwakilan 30% perempuan untuk setiap daerah pemilihan dalam daftar caleg sementara pada 9-22 April 2013.

Keengganan partai politik untuk memenuhi peraturan tersebut lantaran banyak didominasi paradigma domestifi kasi perempuan yang selalu bekerja di rumah dan tingkat kepopuleran caleg perempuan yang dinilai masih kurang sehingga dikhawatirkan akan mengurangi angka elektabilitas partai tersebut atau berkurangnya proporsi bilangan pembagi pemilih (BPP).

Padahal, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tersebut sudah mengacu kepada UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, khususnya dalam pasal 55 dinyatakan pengajuan caleg harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Selanjutnya dalam pasal 56 ayat 2 disebutkan dalam daftar caleg yang diajukan, setiap tiga calon harus memuat satu calon perempuan.

Bilamana partai politik tidak mau memenuhi persyaratan tersebut, dalam pasal 27 ayat 1 diatur; jika ketentuan itu tidak terpenuhi, parpol tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal caleg di dapil bersangkutan.
Maka, parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu peserta untuk dapil tersebut.
Meski demikian, sepertinya akan banyak partai politik yang tidak akan mengindahkan peraturan KPU tersebut, kendati bila melanggar, akan dikenai sanksi pembatalan keikutsertaan partai politik dalam dapil tersebut. Mayoritas parpol masih menilai bahwa kuota 30% hanya berlaku secara nasional dan tidak dalam bentuk kepengurusan maupun caleg per dapil dalam daftar caleg sementara ini.

Kalaupun parpol akhirnya memenuhi ketentuan tersebut, yang terjadi justru unsur `keterpaksaan' atau hanya memenuhi syarat administratif saja kepada KPU, tetapi pada saat finalisasi daftar calon tetap (DCT) nanti proporsi caleg perempuan akan `disesuaikan' sesuai kepentingan strategis.

Tidak Utuh

Tercatat, baru tiga perempuan yang berhasil menembus BPP, yakni Puan Maharani (PDI Perjuangan) yang memperoleh suara di daerah pemilihan Jawa Tengah V dengan 242.054 suara atau 25,60% BPP, Karolin Margret Natasa (PDI Perjuangan) dengan 222.021 suara atau sekitar 20,91% BPP, dan Rusminiati (Demokrat) dengan 182.083 suara atau sekitar 19,71% BPP. Dari ketiga caleg perempuan yang diposisikan sebagai caleg perempuan dengan perolehan suara tertinggi pada Pemilu 2009 saja, tidak ada yang memenuhi angka 30% keterwakilan perempuan secara utuh.

Selain itu pula, data Puskapol UI 2010 menunjukkan bahwa dari total suara pemilih untuk caleg DPR, sebanyak 16 juta suara atau 22,45% diberikan kepada caleg perempuan. Dilihat dari data 463 kabupaten/kota, terdapat 206 kabupaten/kota atau 44% yang memberikan suara pada caleg perempuan mencapai 11%20%. Sebanyak 29% kabupaten/kota memberikan suara pada caleg perempuan hingga 30%. Artinya dengan melihat bilangan pemilih tersebut, angka elektabilitas caleg perempuan sendiri secaa general masih kurang dari angka 30 % sebagai bentuk affirmative action  kepada perempuan. 

Hal itu tentu saja menjadi ironi, semenjak MK menetapkan bahwa sistem proporsional terbuka menjadi dasar pemenangan pemilu dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2009. Yang terjadi justru kuota 30% menjadi tidak berarti lagi karena terjadi penyamarataan antara politisi perempuan dan laki-laki dalam berebut kursi caleg baik di parlemen lokal maupun nasional.

Apa pun sistem yang digunakan Pemilu 2014, apakah proporsional terbuka maupun proporsional tertutup, keduanya memiliki tendensi untuk memarginalkan peta persaingan politik perempuan. Jika proporsional tertutup berdasarkan sistem nomor urut daftar, kecenderungan yang muncul ialah caleg perempuan berada di urutan bawah dan tidak berada dalam daftar nomor urut teratas di mana pemilih cenderung secara psikologis dan strategis memilih tiga nomor teratas.

Sementara dalam proporsional terbuka, suara caleg laki-laki umumnya lebih besar daripada caleg perempuan. Karena preferensi kultur maskulinitas yang superior dalam dinamika masyarakat kita ketimbang feminitas. Jika demikian adanya, aturan kuota 30% keterwakilan perempuan tiap dapil sebagaimana yang tercantum dalam PKPU No 7 Tahun 2013 hanya diimplementasikan setengah hati baik dari regulator maupun eksekutor.

Maka, baik KPU, MK, maupun regulator Pemilu 2014 sekiranya bisa memberikan ruang-ruang konstitusional bagi politik perempuan untuk dapat menampilkan citra dirinya sebagai penyambung aspirasi perempuan Indonesia. Ruang konstitusi yang dimaksud ialah sinergi antarregulator dalam membuat aturan yang berpihak pada sikap afirmatif pada perempuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar