Kita hidup di zaman edan. Setiap
hari menyaksikan tingkah laku kebanyakan manusia Indonesia yang melanggar
aturan, merusak disiplin dimana-mana. Naik mobil Mercy tapi membuang
sampah ke jalan raya, punya HP bagus tapi tutur katanya kampungan. Inilah
bangsa kita. Manusia dengan mental kepribadian yang sakit.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam
berbagai aspek kehidupan manusia semakin nyata, sebagai teknologi muncul,
dan mulanya dirancang untuk kesenangan dan memenuhi kebutuhan manusia,
namun kenyataan justru banyak menyengsarakan dan menghancurkan manusia
itu sendiri, baik secara fisik maupun secara moral sehingga merasakan
manusia. Diketahui, bahwa kemajuan tersebut juga telah mampu membawa
perubahan tata nilai dan sikap serta gaya hidup manusia sangat dirasakan
terhadap perubahan sikap mental manusia.
Apalagi dalam menghadapi sikap mental anak (peserta
didik) saat ini menjadi dilema sosial tersendiri, karena anak yang paling
mendapat perhatian masyarakat adalah golongan remaja yang sedang mengalami
perubahan sikap mental dari masa anak-anak ketingkat dewasa. Dalam
mengalami perubahan itu, di topang oleh pengaruh teknologi modern yang
berorientasi ke barat, perubahan mental sikap anak mengalami kegoncangan
yang luar biasa sehingga dapat merusak kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Secara mikro menurut E. Mulyasa bahwa Pendidikan
Nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa
Indonesia ), memiliki nalar (maju, cakap, cerdas, kreatif, inovatif, dan
bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar
hukum, kooperatif dan kompotitif, demokrasi), dan berbadan sehat sehingga
menjadi manusia mandiri.
Dalam menjalankan pendidikan di sekolah salah satu
tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang siswa adalah mendapatkan
prestasi yang baik, baik atau tidaknya prestasi yang diperoleh siswa
dapat diketahui setelah siswa tersebut mengikuti proses pembelajaran.
Kita tidak dapat mengatakan bahwa bila anak menampilkan prestasi yang
buruk di sekolah dikarenakan kurang mampu mengikuti pembelajaran atau ia
adalah anak yang bodoh. Karena banyak sekali faktor – faktor yang
mempengaruhi prestasi anak.
Dalam melaksanakan tujuan pendidikan, tidak sepenuhnya
tergantung dari proses belajar-mengajar di sekolah. Akan tetapi tujuan
pendidikan tersebut dapat ditentukan pula oleh peserta didik dalam
mengikuti proses belajar-mengajar yang berlangsung. Dalam diri manusia
terdapat berbagai macam kemampuan yang telah ada sejak manusia itu lahir.
Kemampuan dasar itu perlu diasah secara maksimal agar bisa berkembang
sesuai tingkat yang wajar. Sehingga seseorang dapat berbuat dan berfikir
serta mampu mengingat sesuatu yang pernah dilihat, didengar dan
dirasakan. Dan istilah yang sering kita dengar untuk mewakili itu semua
adalah kepribadian.
Kepribadian adalah salah satu persoalan yang banyak
menyita pemikiran para ahli. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang, baik yang bersifat ilmiah maupun
non ilmiah. Diantara usaha yang bersifat ilmiah itu adalah Psikologi Kepribadian. Secara
bahasa kepribadian adalah terjemahan dari kata personality dalam bahasa Inggris yang berasal dari kata
persona dalam bahasa latin yang
berarti kedok atau topeng. Dalam dunia sandiwara, topeng yang berupa
tutup muka sering dipakai oleh pemain panggung dengan tujuan untuk
menggambarkan pribadi orang yang sedang dimainkan perannya, bukan
pribadinya sendiri.
Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa
sebenarnya manusia dalam kehidupannya sehari-hari sering menggunakan
topeng. Dengan topeng itu, seseorang dapat menutupi kekurangan dan
kelemahannya dan bersamaan dengan itu ia dapat menunjukkan kelebihannya.
Perlu ditegaskan bahwa kepribadian itu selalu berhubungan dengan tingkah
laku yang ditampilkan.
Indikator Pendidikan Indonesia yang
Mengabaikan Kepribadian
Setelah kita mengerti apa itu kepribadian dan mencoba
memahami bagaimana kepribadian itu ada dan berkembang dalam diri manusia,
maka setidaknya ada 4 indikator yang menurut hemat penulis bahwa
Pendidikan di Indonesia cenderung mengabaikan kepribadian peserta didik,
antara lain : Pertama, Pendidikan masih mengandalkan nilai tertinggi. Hal
ini merupakan faktor pertama yang dapat menjadi indikator dari alpanya
pendidikan kita dalam memahami kepribadian manusia. Pendidikan Indonesia
hari ini lebih berorientasi untuk mendapatkan nilai tertinggi. Guru dan
orang tua sering kali marah ketika mendapatkan siswa/ anak didiknya
memperoleh nilai rendah pada mata pelajaran tertentu, padahal boleh jadi
kesalahan tersebut bukan pada diri anak melainkan cara guru menerangkan
materi pembelajaran kepada siswa yang tidak dapat dimengerti dan tuntutan
orang tua di rumah agar anaknya pulang dari sekolah harus memperoleh
nilai tertinggi, dan parahnya lagi ketika nilai anak itu anjlok orang tua
tidak ikut berperan atau mendampingi sang anak untuk bangkit (memberi
motivasi) bahwa kamu pasti bisa berhasil. Dan sebenarnya ungkapan yang
ingin didengar sang anak dari orang tuanya adalah “bagi ayah/ibu, nilai
rendah tidak begitu penting karena hal itu bisa ditingkatkan lagi tapi
yang terpenting adalah kamu jujur mengerjakan tugas sekolahnya dan tidak
mencontek, karena kejujuran awal dari keberhasilan selanjutnya”.
Kedua, Pendidikan Indonesia mengabaikan proses siswa
mendapatkan ilmu. Hal ini merupakan faktor kedua dari alpanya pendidikan
Indonesia dalam memahami kepribadian peserta didik. Semua orang berhak
mendapatkan ilmu pengetahuan dan bukankah dalam aturan perundang-undangan
kita di Indonesia bahwa semua masyarakat / warga Negara diberi kesempatan
yang sama dalam mendapatkan pendidikan walaupun pada prakteknya masih
berjalan semrawut/asal jadi dan terseok-seok karena masih ada kasta-kasta
sosial yang sengaja/tidak sengaja terbentuk di sekolah-sekolah yang
‘katanya’ menyandang gelar sekolah terbaik. Proses evaluasi dalam
pendidikan kita hampir tidak pernah melihat bagaimana proses peserta
didik dalam mendapatkan ilmu pengetahuannya atau mendapatkan nilai di
setiap mata pelajaran. Yang ada justru guru melihat hasil akhir nya saja,
yang boleh jadi peserta didik itu melakukan kecurangan. Proses evaluasi
seperti test ujian yang berbentuk multiple choice (pilihan berganda)
seharusnya dibuat seperlunya saja dan sebaiknya lebih banyak menggunakan
essay test dan soal yang diberikan juga tidak monoton seperti jelaskan
pengertian, apa yang dimaksud dan sebutkan, tetapi bagaimana pendapat
anda, apa yang anda pikirkan, apa yang anda pahami dengan begitu kita
bisa melihat sejauh mana peserta didik memahami materi ajar yang
disampaikan oleh guru. Jika hal ini bisa dilaksanakan, tentu pendidikan
kita bisa lebih menghargai proses peserta didik dalam mendapatkan ilmu
pengetahuannya daripada sekedar melihat nilai akhirnya saja.
Ketiga, Pendidikan Indonesia tak menyentuh ranah
superego. Hal ini merupakan faktor ketiga dari alpanya pendidikan
Indonesia dalam memahami kepribadian peserta didik. Menurut Freud,
kepribadian terdiri atas tiga sistem yakni id, ego dan superego.
Masing-masing sistem memiliki fungsinya sendiri, namun ketiga-tiganya
berinteraksi dalam mengendalikan perilaku. Superego adalah representasi
nilai-nilai dan norma-norma moral masyarakat didalam batin seperti yang
diajarkan kepada si anak oleh orang tua maupun orang lain. Superego
menilai apakah suatu tindakan itu benar atau salah menurut norma
masyarakat. Jadi superego berfungsi sebagai semacam suara hati. Pada
mulanya orangtua mengendalikan perilaku si anak secara langsung dengan
hadiah dan hukuman. Kemudian melalui penyatuan standar orangtua kedalam
superego, perilaku di kendalikan oleh si anak sendiri. Sebagai contoh,
seorang anak tidak butuh diberitahukan lagi bahwa mencuri itu dilarang,
karena sudah ada suara hati dan pendidikan awal dari orang tua sehingga
si anak akan menjauhi perbuatan mencuri itu. Kenyataan tersebut
berbanding terbalik dengaan fakta yang ada di lapangan terlebih-lebih dalam
dunia pendidikan kita. Lihat saja bagiamana pelaksaan Ujian Nasional di
semua sekolah, hampir keseluruhan melegalkan kecurangan dari mulai kepala
sekolah sampai dengan orang tua siswa. Bukankah mencontek, meberikan
jawaban ketika ujian, sama halnya dengan mencuri. Tapi kenapa seolah kita
membeda-bedakan permasalahan tersebut. Kalau hal ini terus dibiarkan,
akan muncul kegundahan dalam diri peserta didik, disatu sisi mereka
diajarkan untuk jujur tapi disisi lain guru dan orang tua memaksa mereka
untuk curang dalam ujian atau paling minimal diam dan tidak usah menjadi
orang yang sok jujur.
Keempat, Pendidikan Indonesia tidak mengadopsi teori
Humanistik. Hal ini merupakan faktor terakhir dari alpanya pendidikan
Indonesia dalam memahami kepribadian peserta didik. Psikologi humanistik
memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas,
nilai, dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat perhatian teori
humanistik, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi
humanistik disebut sebagai Homo Ludens, yaitu manusia yang mengerti makna
kehidupan. Kita hidup di zaman edan. Setiap hari menyaksikan tingkah laku
kebanyakan manusia Indonesia yang melanggar aturan, merusak disiplin
dimana-mana. Naik mobil Mercy tapi membuang sampah ke jalan raya, punya
HP bagus tapi tutur katanya kampungan. Inilah bangsa kita. Manusia dengan
mental kepribadian yang sakit. Pada konteks ini pendidikan Indonesia
nyaris tidak memandang manusia sebagai sosok yang humanistik yakni
manusia yang memiliki cinta, kreativitas, nilai dan makna hidup. Lihat
saja kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini dari mulai
tawuran antar pelajar, geng pelajar, sampai dengan kasus asusila yang dilakukan
antara peserta didik serta yang dilakukan oleh guru terhadap anak
didiknya. Ini semua menggambarkan betapa jauhnya sistem pendidikan kita
dalam memandang manusia makhkuk yang harus memiliki nilai dan makna
hidup. Peserta didik bukanlah botol kosong yang harus diisi dengan air
ilmu pengetahuan oleh guru dan orang tuanya, akan tetapi ia adalah
makhluk hidup yang memiliki akal dan pikiran untuk tumbuh dan berkembang
serta melakukan kontemplasi terhadap makna kehidupannya. Sepertinya
pendidikan kita harus dimulai dari nilai dan makna hidup itu, agar setiap
bidang studi yang akan diajarkan kepada siswa menjadi lebih bermakna
dalam kehidupannya.
Pendidikan di Indonesia harus kembali melakukan
ruwetan/revitalisasi terhadap proses penanaman nilai-nilai dan makna
hidup. Pendidikan juga harus memperhatikan aspek kepribadian peserta
didik agar masing-masing kita para guru, dosen dan orang tua menyadari
sepenuhnya bahwa anak-anak yang diberikan Tuhan kepada kita memiliki
potensi yang unik dan berbeda-beda. Dengan memperhatikan hal tersebut,
pendidikan kita akan lebih jauh bermakna dan lebih menempatkan manusia
sebagai manusia yang sesungguhnya dan bukanlah robot yang tidak memiliki
akal dan pikiran sehingga kita dapat berbuat sesuka hatinya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar