Maksud baik sering tidak
disertai dengan kearifan dalam penerjemahannya. Entah karena ada
kepentingan terselubung atau semata-mata karena ketidakpahaman,
penerjemahan maksud baik itu bisa bertentangan dengan prinsip fundamental
dan berpotensi merugikan kepentingan publik.
Hal ini pula yang terjadi dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 1 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kampanye Pemilu Legislatif. Di dalam bagian yang mengatur
kampanye di media massa, cukup jelas KPU bermaksud mewujudkan ruang
publik media yang demokratis, deliberatif, dan terbebas dari praktik manipulasi,
mobilisasi, dan instrumentalisasi oleh kepentingan bisnis atau politik
tertentu.
Demi menjaga asas keberimbangan
dan keadilan, KPU mengatur pelarangan penjualan blocking segment atau
blocking time untuk kampanye pemilu di media cetak dan penyiaran (Pasal
41). Untuk menghindari iklan terselubung, KPU melarang media cetak dan
penyiaran menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang
dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu.
Batas maksimum pemasangan iklan
kampanye pemilu di media massa bagi peserta pemilu secara tegas juga
ditentukan. Media massa dilarang menjual spot iklan melebihi batas
maksimum tersebut meskipun ada spot iklan yang tidak dimanfaatkan peserta
pemilu yang lain.
Sanksi Pelanggaran
Pengaturan semacam ini memang
diperlukan. Media massa sebagai ruang publik harus mencerminkan keragaman
pandangan, opini, dan aspirasi politik yang berkembang di masyarakat.
Media massa dapat menyajikan pilihan-pilihan politik, tetapi untuk
selanjutnya membiarkan masyarakat menentukan pilihannya sendiri. Dengan
catatan bahwa detail pengaturan perlu didiskusikan dengan para pemangku
kepentingan, peraturan tentang kampanye pemilu di media massa patut
disambut.
Namun, persoalannya kemudian
pada rumusan tentang sanksi. Pasal 45 PKPU No 1 Tahun 2013 menyatakan,
jika terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan tentang kampanye pemilu di
media massa, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam UU Penyiaran.
Ada yang tidak logis di sini.
Yurisdiksi Dewan Pers adalah UU Pers sehingga tidak mungkin Dewan Pers
menjatuhkan sanksi berdasarkan UU Penyiaran atau UU yang lain. Lebih dari
itu, Peraturan KPU itu mengatur pedoman kampanye pemilu secara umum di
semua jenis media, yakni cetak, televisi, radio, dan online. Namun,
mengapa Pasal 45 PKPU hanya mengatur penjatuhan sanksi berdasarkan UU
Penyiaran, seakan-akan yang diatur hanyalah pedoman kampanye pemilu di
televisi dan radio? Tentu tak logis menjatuhkan sanksi untuk media massa
cetak atau online berdasarkan UU Penyiaran.
Yang lebih memprihatinkan
kemudian adalah bentuk sanksi yang akan dijatuhkan kepada media massa
pelanggar ketentuan kampanye pemilu (Pasal 46): teguran tertulis;
penghentian sementara mata acara bermasalah; pengurangan durasi dan waktu
pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu; sanksi denda;
pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu
untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau
pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
Ketentuan sanksi ini menunjukkan
KPU tidak sensitif terhadap isu kemerdekaan pers dan kurang memahami
kaidah penyelesaian masalah pers. Pembekuan kegiatan pemberitaan dan
pencabutan izin penerbitan media cetak adalah sesuatu yang tabu dalam
rezim demokratis di mana pun.
Tak Kebal Hukum
Kedua jenis sanksi itu sama
statusnya dengan pemberedelan yang tidak dapat dilakukan siapa pun, baik
pemerintah, DPR, Dewan Pers, maupun KPU. Semua ide pemberedelan pers
niscaya akan ditentang dengan keras oleh komunitas pers dan masyarakat
sipil. Inilah bagian yang paling kontroversial di dalam PKPU itu dan yang
harus dikoreksi sesegera mungkin.
Sungguh pun demikian, bukan
berarti pers kebal hukum. UU Pers telah mengatur pidana denda untuk
pers yang tidak memenuhi asas praduga tak bersalah atau yang
tidak memenuhi ketentuan hak jawab (Pasal 18). Pidana denda dapat
ditempuh setelah melalui proses penyelesaian kode etik di Dewan Pers.
Pidana denda dipilih untuk
memberikan efek jera kepada pers tanpa mematikan hak-haknya
menyebarluaskan informasi dan melakukan kontrol sosial. Suatu hal yang
niscaya terjadi jika pencabutan izin penerbitan dilakukan. Namun, di luar
konteks jurnalistik, wartawan tetaplah warga negara biasa yang dapat
dipidana jika melakukan pelanggaran hukum. Wartawan dan pemilik media
tidak dapat berlindung di balik UU Pers untuk kesalahan-kesalahan di luar
konteks jurnalistik seperti pemerasan, penipuan, kekerasan, korupsi, dan
pencucian uang.
Menggunakan pendekatan yang
sama, sanksi denda lebih masuk akal diterapkan kepada media yang
melanggar ketentuan kampanye pemilu. Pelanggaran yang mana denda
diterapkan dan seberapa besar jumlahnya perlu didiskusikan dengan Dewan
Pers dan pemangku kepentingan.
Pencabutan izin siaran media
penyiaran memang dimungkinkan oleh UU Penyiaran. Namun, perlu ditegaskan
pencabutan izin siaran adalah jalan terakhir setelah sanksi-sanksi yang
lebih ringan tidak menyelesaikan masalah: a) teguran tertulis; b)
penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c) pembatasan durasi
dan waktu siaran; d) denda administratif; e) pembekuan kegiatan siaran
untuk waktu tertentu; f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan
penyiaran; g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
KPU tidak perlu membuat rumusan
sanksi tersendiri untuk pelanggaran kampanye pemilu di media penyiaran,
tetapi cukup merujuk kepada ketentuan sanksi di dalam UU Penyiaran ini.
Dengan demikian, KPU tidak terjerembap dalam kontroversi yang bisa
memperburuk hubungan dengan komunitas pers yang dapat memengaruhi kinerja
KPU secara lebih luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar