Seorang sahabat menerima
Penghargaan Akademi Jakarta 2012, 13 Desember tahun lalu. Penyair Sapardi
Djoko Damono (72) mendapat anugerah pencapaian seumur hidup dalam
penulisan puisi, esai, terjemahan, penelitian, dan pengajaran sastra.
Anugerah terhormat ini telah diberikan Akademi Jakarta mulai 36 tahun
yang lalu kepada 15 seniman/budayawan Indonesia.
Penerima pertama (1975) adalah
penyair/dramawan Rendra, penerima terbaru (2012) adalah penyair/penerjemah
Sapardi Djoko Damono, kedua-duanya dari Solo.
Solo banyak menyumbangkan
penyair kepada kita. Di abad ke-19 Ronggowarsito (1802-1873), kemudian di
abad ke-20 Hartojo Andangdjaja (1930-1991), Sugiarta Sriwibawa
(1932-2009), Rendra (1935-2009), Budiman S Hartoyo (1938-2010), Sapardi
Djoko Damono (1940), Slamet Sukirnanto (1941), dan Wiji Thukul
(1963-1998), itulah antara lain.
Solo sebagai kota sangat
sentimental bagi saya pribadi. Saya dibesarkan di Pekalongan tetapi mulai
masuk sekolah dalam umur 6 tahun di Solo, menjelang pendudukan Jepang, di
Sekolah Rakyat Muhammadiyah II. Setiap pagi saya diantar ibu saya,
menyeberang rel kereta api, membawa sabak (batu tulis) dan grip (anak
batu) dalam tas saya, dalam kotak ukiran Jepara yang baunya harum. Kami
sekeluarga pindah dari Pekalongan ke Solo. Ayah saya mengajar di Solo.
Salah seorang murid ayah saya seorang pemuda Sulawesi Selatan, namanya
Kahar Muzakkar (1921-1965), yang belakangan pindah sekolah ke Yogyakarta.
Oom Kahar pernah tinggal sebentar di rumah kami di Namburan Kidul,
Yogyakarta, yang menjadi asrama PII, menjelang Clash II, 1948.
Di Solo rumah kami di Keprabon.
Di sebelah rumah kami ada perusahaan rokok MARMI, yang produknya
dilinting (digulung) dengan tangan. Ketika ayah dan ibu tidak di rumah,
saya berhasil merengek-rengek kepada Simbok pengasuh saya supaya
memintakan sebatang rokok MARMI
di sebelah rumah kami itu. Lalu dengan gagah saya menyulut, meletakkannya
di sudut mulut dan mengisapnya, lalu terbatuk-batuk. Itulah pengalaman
pertama dalam hidup saya merokok. Saya ditertawakan mama ketika Simbok
melaporkan budi pekerti saya itu. Belakangan di depan ayah dan adik-adik,
mama sering meledek-ledek saya dengan menyebut merek rokok itu: ”MARMI, MARMI.” Saya jadi malu.
Saya pertama kali ketemu Sapardi
Djoko Damono dalam Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) di
Jakarta, 1-7 Maret 1964. Suasana politik Demokrasi Terpimpin yang
didominasi Marxis-Leninis mencekam pertemuan 7 hari yang dihadiri sekitar
400 sastrawan itu. Peserta pertemuan ini mendukung Manifes Kebudayaan,
yang tak disukai kelompok kiri. Dua bulan sesudah KKPI, pada 8 Mei 1964,
Presiden Soekarno menyatakan Manifes Kebudayaan terlarang.
Dipaksa
Sapardi waktu itu (1964) dipaksa
Dekan Fakultas Sastra UGM menyelesaikan skripsinya dalam 2 minggu karena
pembimbingnya, Prof Kenneth Lendon, akan diusir pulang ke Inggris dalam
gelombang pengusiran yang dilakukan Presiden Soekarno. Drama penting TS
Eliot Murder in the Cathedral
adalah bahan skripsinya. Skripsi ditulis dalam bahasa Inggris. Sapardi
sejak SMA di Solo terpukau puisi-puisi TS Eliot, yang dia banyak hafal
luar kepala.
Skripsi saya di Fakultas
Kedokteran Hewan dan Peternakan, UI, Bogor (1963) adalah tentang
Manajemen Peternakan. Saya sejak SMA terpukau oleh puisi-puisi Walt
Whitman, Edgar Allan Poe, dan Robert Frost, beberapa di antaranya hafal
luar kepala. Tetapi puisi-puisi yang saya nikmati di SMA Whitefish Bay, Wisconsin
(1956-1957), itu tak ada hubungannya dengan skripsi peternakan ayam dan
sapi yang saya tulis.
Pelarangan Manifes Kebudayaan
menghabisi karier mengajar saya. Kelanjutan studi S-2 saya ke Kentucky
dibatalkan 5 hari sebelum diberangkatkan, dan bulan berikutnya pemerintah
memecat saya sebagai dosen muda IPB. Karier kepegawaian saya musnah.
Julukan gerombolan kontra-revolusi dicapkan ke diri saya, bersama
kawan-kawan. Semua pendukung Manifes yang pegawai negeri mengalami
musibah yang mirip, seperti Pak HB Jassin dan Boen S Umaryati, dan banyak
lagi.
Ketika situasi politik
kenegaraan berbalik pada tahun 1966, esais Arief Budiman, cerpenis Ras
Siregar dan saya ingin menerbitkan majalah sastra. Waktu itu masa represi
baru lewat, setelah buku-buku pernah dibakar dan dilarang, termasuk
majalah sastra. Siapa yang akan memimpinnya? Pilihan jatuh pada Mochtar
Lubis, yang masih dalam tahanan, tetapi akan dibebaskan. Kami bertiga
pergi menemui Bang Mochtar di rumah tahanan Jalan Keagungan dan dia
setuju. Lahirlah majalah sastra Horison pada bulan Juli 1966.
Setelah sekitar 7 tahun, Mochtar
Lubis dan para pendiri Horison yang masing-masing sibuk, memerlukan
tenaga baru yang segar untuk di Yayasan Indonesia maupun di majalah.
Berundinglah kami para pendiri, yaitu PK Ojong, Zaini, Arief Budiman,
saya dan Mochtar Lubis, mencari siapa yang kira-kira sesuai untuk dua
tugas, yaitu Direktur Eksekutif Yayasan dan Redaktur Pelaksana Horison.
Akan sangat ideal kalau untuk kedua tugas itu satu orangnya.
Dari sejumlah calon yang
ditimbang, akhirnya pilihan jatuh pada penyair/ penerjemah Sapardi Djoko
Damono. Tetapi bagaimana: Sapardi kan mengajar di Semarang? Dan dia dosen
Universitas Diponegoro, artinya pegawai negeri, yang tentu tidak mudah
pindah bekerja ke kota lain. Dan yang primer: apakah Sapardi akan
tertarik pada Horison?
Setelah semua kemungkinan
dibicarakan, diutuslah saya berangkat ke Semarang, dengan tugas membujuk
Sapardi. Gaji di Horison jelas kecil. Yang menarik orang bekerja di
Horison adalah idealismenya. Rasanya Sapardi cocok dengan Horison. Gaji
utamanya toh dari universitas. Maukah dia pindah ke Fakultas Sastra UI,
dan kalau mau, apakah dia bersedia repot mengurus kepindahan itu?
Mengenai ini saya agak
optimistis, karena di Kementerian P&K ada Mas Kusnadi Hardjasumantri,
Dirjen Pendidikan Tinggi, yang dengan senang hati akan membantu. Mas
Kusnadi ketika masih mahasiswa adalah penggagas dan pelaksana Pekan Seni
Mahasiswa di Yogya dulu, dan dia dekat dengan sastrawan.
Pergilah saya ditemani Ati,
dengan kereta api ke Pekalongan, disambung naik bus ke Semarang. Kami
sampai di rumah Sapardi di Lemah Gempal Gang 3, selepas Magrib.
Alhamdulillah Sapardi setuju. Wah, kami lega sekali. Demikianlah kemudian
satu periode dalam sejarah majalah sastra Horison, dengan suka-dukanya,
dipimpin oleh penyair Sapardi Djoko Damono.
Djok, selamat mendapat anugerah
Penghargaan Akademi Jakarta 2012, semoga kreatif dan produktif terus.
Ucapan selamat ini datang dari mantan murid SR Muhammadiyah II (di
seberang rel kereta api) kepada mantan murid SR Kraton Kesatrian,
Baluwarti, Solo, dari zaman sekitar awal revolusi dahulu. Waktu di SR
dulu, kita belum ketemu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar