Minggu, 14 April 2013

Kelinci dan Identitas


Kelinci dan Identitas
Jean Couteau  Kolumnis “Udar Rasa”Kompas
KOMPAS, 14 April 2013
  

Di peristirahatan kini, di sebuah kota, Nantes, nun di Perancis barat, saya meluangkan waktu diam-diam meng-udar rasa. Sebenarnya saya harus beristirahat total. Bukan tanpa alasan. Dua pekan lalu, dada ini dibuka, dan jantung saya, tepatnya bagian aorta, ”diiris-iris” dan kemudian direkatkan kembali. Konon, agar diri saya menjadi ”tokcer”, alias bugar dan muda lagi.
Dari jendela kamar tempat saya berbaring, terhampar adegan yang memikat dan lucu, sekumpulan kelinci, layaknya sebuah keluarga yang harmonis, tengah bercengkerama berkejaran riang di padang. Berlatar ranting-ranting yang mulai diselimuti kehijauan, pertanda musim semi menjelang datang, kawanan hewan mungil itu meloncat-loncat seraya mengunyah rerumputan, seolah tak ada bahaya apa pun yang tengah mengintai.
Ingatan saya melayang ke masa lampau, puluhan tahun lalu, sewaktu masih remaja. Bersama teman-teman, kami kerap bermain di tepian Sungai Sevres, guna memasang perangkap menjebak kelinci-kelinci liar. Tentu saja hal itu jelas dilarang. Tapi maaf, pembantu orangtua saya, yang berasal dari sebuah kota kecil di Afrika, terlampau pandai mengolah masakan berbahan hidangan kelinci itu. Ya, kelinci yang bermain-main di hadapan saya kini telah mengantar saya kembali ke kenakalan masa lalu, sewaktu kata ”Indonesia” belum hadir dalam kehidupan saya. Yang ada sewaktu itu hanyalah sungai mengalir lamban berikut padang-padang luas yang hijau serta tanaman anggur ”Muscadet” yang terbentang sampai ke ujung horizon. Dengan kata lain, sepenuhnya diri ini masih seorang Perancis tulen.
Lemah
Meresapi tubuh yang masih lemah ini, tebersit pikiran, apakah situasi dan kondisi saya kini telah berbeda? Apakah identitas saya kini lain dengan masa lampau itu? Boleh jadi demikian. Menjalani operasi berat sebagaimana yang saya alami tak pelak membawa pasien seakan menyeberangi alam lain, melampaui ruang, meraih kesadaran baru. Meski mendamba sentuhan sang Khalik, yang dicemaskan ialah dekapan Al-Maut. Keduanya bersilang bayang, seolah tak ada bedanya.
Proses anestesi memang mengaburkan segalanya. Konon, saya ditidurkan selama dua hari guna suksesnya operasi. Yang menarik ialah ketika saya samar-samar mulai siuman dari tidur yang panjang tersebut, di mana kesadaran berbaur dengan rasa sakit serta pengaruh obat morfin. Terhampar di hadapan saya sesuatu yang mirip bentangan kain sutra ungu, berayun bergelombang tiada hentinya. Di sela ayunan itu, kadang terlihat, kadang menghilang, terbaca sebentuk tulisan—yang anehnya berbahasa Indonesia. Isi tulisan itu kini justru lenyap dari ingatan, tetapi saya tetap yakin tertulis dalam bahasa Indonesia.
Mungkin saja itu rahasia kehidupan. Lalu, bibir saya terasa dibuka, dan air setetes membasahi mulut. Mulai terdengar keriuhan di sekeliling, dan spontan saya berujar terima kasih. Semua orang kala itu mendengar berbahasa Indonesia, lalu saya kembali tenggelam dalam pandangan kain sutra ungu yang bergelombang, mencoba mengetahui lagi apa rahasia makna tulisan itu.
Ketika beberapa hari kemudian saya bertanya kepada penjenguk, apakah pada saat awal saya siuman itu ia datang bersama teman-teman Indonesia-nya, jawabnya seketika, ”Ah kamu mimpi.” Perlahan mulai kesadaran menjernih dan memahami, fenomena itu sesungguhnya menunjukkan bahwa identitas saya, baik dalam kondisi sadar maupun tak sadar, sesungguhnya tidak pernah tunggal, melainkan berlapis-lapis. Di seputar saya kini adalah orang-orang yang semua berbahasa Perancis.
Pengalaman menarik ialah ketika saya diperbolehkan meninggalkan ruang gawat darurat guna beristirahat di tempat yang akan saya diami selama satu bulan. Saya berdiri, dipapah ke tengah-tengah ruang rumah sakit. Namun, sebelum pergi, saya ingin sekali berpamitan kepada mereka yang telah mengoperasi, yang telah melancarkan jalan darah di jantung saya, kepada semua yang berbaik hati. Pendeknya, kepada semua orang yang berjasa atas suksesnya operasi dan penyembuhan. Maka, saya tiba di ruang operasi tersebut, tetapi apa yang didapat? Anggukan dan lirikan dari jauh: rupanya senyuman tidak jadi bagian dari tugas mereka. Mereka telah memberikan kasih dan perhatian, tetapi tidak ada waktu untuk senyum. Tugas mereka adalah memberikan pelayanan dan menyelamatkan orang. Dan, memang, kanan-kiri sudah terdengar deringan bel-bel dari pasien-pasien tak sabar yang memanggil mereka untuk memohon bantuan.
Namun, sebelum keluar, saya melewati sebuah pintu ruang. Di dalamnya duduk seorang paruh baya berkepala botak. Dokter Usama Al Abash, ahli bedah keturunan Suriah. Dialah yang telah menyehatkan aorta dan jantung saya. Saya seketika tertegun haru, ingin menangis. Dia berdiri, lalu menyentuh tangan saya sambil selintas berkata, ”You will be fine (Anda akan baik).” Begitu saja ujarnya, dan dia pun kembali tenggelam dalam tugasnya.
Terlintas tanya kembali, kain sutra warna apakah yang kelak menghampirinya, di ambang sentuhan sang Al-Maut atau sang Hidup, wahai Usama pengembara? Bertulisan dalam bahasa apakah huruf-huruf rahasia itu? Di pinggiran Sungai Eufrates, di negeri tertua di dunia ini, di mana engkau dilahirkan, masihkah ada dan saling berkejaran kelinci-kelinci riang, tanpa dicekam ketakutan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar