Di peristirahatan kini, di
sebuah kota, Nantes, nun di Perancis barat, saya meluangkan waktu
diam-diam meng-udar rasa. Sebenarnya saya harus beristirahat total. Bukan
tanpa alasan. Dua pekan lalu, dada ini dibuka, dan jantung saya, tepatnya
bagian aorta, ”diiris-iris” dan kemudian direkatkan kembali. Konon, agar
diri saya menjadi ”tokcer”, alias bugar dan muda lagi.
Dari jendela kamar tempat saya
berbaring, terhampar adegan yang memikat dan lucu, sekumpulan kelinci,
layaknya sebuah keluarga yang harmonis, tengah bercengkerama berkejaran
riang di padang. Berlatar ranting-ranting yang mulai diselimuti
kehijauan, pertanda musim semi menjelang datang, kawanan hewan mungil itu
meloncat-loncat seraya mengunyah rerumputan, seolah tak ada bahaya apa
pun yang tengah mengintai.
Ingatan saya melayang ke masa
lampau, puluhan tahun lalu, sewaktu masih remaja. Bersama teman-teman,
kami kerap bermain di tepian Sungai Sevres, guna memasang perangkap
menjebak kelinci-kelinci liar. Tentu saja hal itu jelas dilarang. Tapi
maaf, pembantu orangtua saya, yang berasal dari sebuah kota kecil di
Afrika, terlampau pandai mengolah masakan berbahan hidangan kelinci itu.
Ya, kelinci yang bermain-main di hadapan saya kini telah mengantar saya
kembali ke kenakalan masa lalu, sewaktu kata ”Indonesia” belum hadir
dalam kehidupan saya. Yang ada sewaktu itu hanyalah sungai mengalir
lamban berikut padang-padang luas yang hijau serta tanaman anggur
”Muscadet” yang terbentang sampai ke ujung horizon. Dengan kata lain,
sepenuhnya diri ini masih seorang Perancis tulen.
Lemah
Meresapi tubuh yang masih lemah
ini, tebersit pikiran, apakah situasi dan kondisi saya kini telah
berbeda? Apakah identitas saya kini lain dengan masa lampau itu? Boleh
jadi demikian. Menjalani operasi berat sebagaimana yang saya alami tak
pelak membawa pasien seakan menyeberangi alam lain, melampaui ruang,
meraih kesadaran baru. Meski mendamba sentuhan sang Khalik, yang
dicemaskan ialah dekapan Al-Maut. Keduanya bersilang bayang, seolah tak
ada bedanya.
Proses anestesi memang mengaburkan
segalanya. Konon, saya ditidurkan selama dua hari guna suksesnya operasi.
Yang menarik ialah ketika saya samar-samar mulai siuman dari tidur yang
panjang tersebut, di mana kesadaran berbaur dengan rasa sakit serta
pengaruh obat morfin. Terhampar di hadapan saya sesuatu yang mirip
bentangan kain sutra ungu, berayun bergelombang tiada hentinya. Di sela
ayunan itu, kadang terlihat, kadang menghilang, terbaca sebentuk
tulisan—yang anehnya berbahasa Indonesia. Isi tulisan itu kini justru
lenyap dari ingatan, tetapi saya tetap yakin tertulis dalam bahasa
Indonesia.
Mungkin saja itu rahasia
kehidupan. Lalu, bibir saya terasa dibuka, dan air setetes membasahi
mulut. Mulai terdengar keriuhan di sekeliling, dan spontan saya berujar
terima kasih. Semua orang kala itu mendengar berbahasa Indonesia, lalu
saya kembali tenggelam dalam pandangan kain sutra ungu yang bergelombang,
mencoba mengetahui lagi apa rahasia makna tulisan itu.
Ketika beberapa hari kemudian
saya bertanya kepada penjenguk, apakah pada saat awal saya siuman itu ia
datang bersama teman-teman Indonesia-nya, jawabnya seketika, ”Ah kamu
mimpi.” Perlahan mulai kesadaran menjernih dan memahami, fenomena itu
sesungguhnya menunjukkan bahwa identitas saya, baik dalam kondisi sadar
maupun tak sadar, sesungguhnya tidak pernah tunggal, melainkan
berlapis-lapis. Di seputar saya kini adalah orang-orang yang semua
berbahasa Perancis.
Pengalaman menarik ialah ketika
saya diperbolehkan meninggalkan ruang gawat darurat guna beristirahat di
tempat yang akan saya diami selama satu bulan. Saya berdiri, dipapah ke
tengah-tengah ruang rumah sakit. Namun, sebelum pergi, saya ingin sekali
berpamitan kepada mereka yang telah mengoperasi, yang telah melancarkan
jalan darah di jantung saya, kepada semua yang berbaik hati. Pendeknya,
kepada semua orang yang berjasa atas suksesnya operasi dan penyembuhan.
Maka, saya tiba di ruang operasi tersebut, tetapi apa yang didapat?
Anggukan dan lirikan dari jauh: rupanya senyuman tidak jadi bagian dari
tugas mereka. Mereka telah memberikan kasih dan perhatian, tetapi tidak
ada waktu untuk senyum. Tugas mereka adalah memberikan pelayanan dan
menyelamatkan orang. Dan, memang, kanan-kiri sudah terdengar deringan
bel-bel dari pasien-pasien tak sabar yang memanggil mereka untuk memohon
bantuan.
Namun, sebelum keluar, saya
melewati sebuah pintu ruang. Di dalamnya duduk seorang paruh baya
berkepala botak. Dokter Usama Al Abash, ahli bedah keturunan Suriah.
Dialah yang telah menyehatkan aorta dan jantung saya. Saya seketika
tertegun haru, ingin menangis. Dia berdiri, lalu menyentuh tangan saya
sambil selintas berkata, ”You will be fine (Anda akan baik).” Begitu saja
ujarnya, dan dia pun kembali tenggelam dalam tugasnya.
Terlintas tanya kembali, kain
sutra warna apakah yang kelak menghampirinya, di ambang sentuhan sang
Al-Maut atau sang Hidup, wahai Usama pengembara? Bertulisan dalam bahasa
apakah huruf-huruf rahasia itu? Di pinggiran Sungai Eufrates, di negeri
tertua di dunia ini, di mana engkau dilahirkan, masihkah ada dan saling
berkejaran kelinci-kelinci riang, tanpa dicekam ketakutan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar