Dalam kurun 128 tahun sejak
ditemukannya Telaga Said pada 1885, sudah tak terbilang jumlah investor
asing yang berkiprah di kegiatan hulu migas.
Harus diakui bahwa peranan
investor asing sangat besar dalam mengembangkan kegiatan hulu migas di
Indonesia. Meskipun ada jutaan warga Indonesia yang mencari nafkah dari
investor asing selama lebih dari satu abad, keinginan untuk mengusir
mereka senantiasa bergema sepanjang waktu.
Pertanyaannya, mengapa kita
harus mengusir mereka jika ada sebagian dari saudara kita diberi
kesempatan bereksistensi oleh para investor tersebut? Apakah kita memang
tidak diberi kesempatan untuk mengelola hulu migas, ataukah kita memang
tidak ada usaha untuk menjadi tuan di negeri sendiri?
Kesejarahan Energi
Perdebatan mengenai kedaulatan
hulu minyak dan gas (migas) selalu berkisar pada kebijakan yang diambil
pemerintah dalam konteks kekinian. Aspek kesejarahan tidak bisa
dipisahkan apabila kita ingin mengkajinya secara jernih mengingat panjangnya
rentang waktu kiprah hulu migas yang telah melewati lima rezim. Sejak
rezim Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, akan
tampak senantiasa kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk berdaulat.
Pada waktu rezim Belanda,
Jepang, dan awal Orde Lama, bangsa kita diberi kesempatan belajar dan
meniti karier di industri hulu migas. Sejak akhir Orde Lama, Orde Baru,
hingga Reformasi, bangsa kita bertindak sebagai ”majikan” dan investor
asing harus mendapatkan izin untuk berkiprah.
Sebagai ”majikan”, kita berhak
menentukan investor asing yang boleh beroperasi di Tanah Air. Investor
asing tersebut ada yang berhasil mengembangkan blok migas, tetapi lebih
banyak yang gagal dan harus angkat koper kembali ke kampungnya.
Dengan skema bagi hasil, investor
harus terikat dengan kewajibannya untuk menyumbangkan devisa bagi negara.
Adapun yang gagal menemukan cadangan hidrokarbon, segala kerugian
finansial—yang bisa mencapai triliunan rupiah—pun harus ditanggung
sendiri. Meski gagal, negara pun sudah mendapatkan keuntungan miliaran
rupiah dari bonus saat kontrak kerja sama ditandatangani.
Dari aspek kesejarahan, kita
dapat melihat ada tiga fase perjalanan kegiatan hulu migas yang
sebenarnya menunjukkan keberpihakan kepada bangsa kita. Antara 1885-1957
adalah ”masa pembelajaran”. Ini dapat dilihat dari dibentuknya Pendidikan
Ahli Minyak yang telah menghasilkan 160 ahli migas. Tahun 1957-2002
adalah ”masa pemberdayaan” yang ditandai dengan kelahiran Permina,
Pertamin, PTMRI, dan disempurnakan dengan hadirnya Pertamina. Pada 2002
hingga sekarang adalah ”masa kemandirian” dengan kelahiran BP Migas.
Tidak hanya Pertamina yang diberikan kesempatan mengelola blok migas,
tetapi juga sektor swasta dan BUMD.
Dengan masa pembelajaran selama
72 tahun, masa pengembangan sepanjang 45 tahun dan masa pemberdayaan yang
telah memasuki tahun ke-11, menjadi sesuatu yang ajaib jika investor
asing masih diberi kesempatan. Tuduhan paling sering dipakai adalah
pemerintah terlalu pro asing atau tidak memiliki politik energi yang
jelas. Padahal, undang-undang dan segala peraturan telah memberi
kesempatan kepada seluruh warga negara untuk mengelola blok migas.
Namun, mengapa hanya Pertamina,
Medco, Energi Mega Persada (EMP), Star Energy, dan Sele Raya yang dapat
berkiprah? Jawabannya adalah kita terlampau terlena sebagai ”majikan” dan
enggan bertindak sebagai pemain bisnis hulu migas.
Jika bicara kedaulatan energi,
Pertamina selalu kita jadikan ”tameng” untuk mengelola blok migas. Kita
”memaksa” Pertamina mengakuisisi semua blok asing tanpa menghiraukan
karakteristik bisnis hulu migas. Padahal, Pertamina harus berhadapan
dengan karakteristik bisnis berupa tingginya risiko, besarnya biaya, dan
tuntutan teknologi.
Karena kita menjadikan Pertamina
sebagai tameng, kiprah swasta seperti Medco dan EMP pun tidak kita
perhatikan. Kiprah BUMD seperti Sarana Pembangunan Riau, Bumi Siak Pusako
atau Perusda Benuo Taka pun seperti hilang ditelan bumi.
Hal ini menjadi absurd ketika
kita memaksa Pertamina untuk mengakuisisi blok asing tetapi ternyata kita
sendiri tidak mendukung operasi mereka. Kita bisa melihat dalam kasus
Tiaka. Pertamina dan Medco dijadikan santapan empuk terkait pelanggaran
hak asasi manusia. Dari 22 lapangan Pertamina, hampir semua berhadapan
dengan tuntutan CSR dari masyarakat atau permintaan dana bagi hasil dari
pemerintah daerah.
Bertambah absurd lagi ketika
operasi seismik Pertamina dalam usaha menemukan cadangan hidrokarbon pun
ditolak masyarakat setempat. Tampaknya, sebagai ”majikan”, kita hanya
menginginkan Pertamina bekerja semaksimal mungkin, tetapi segala risiko
yang dihadapi harus ditanggungnya sendiri.
”Pemaksaan” terhadap Pertamina
pun berimbas pada tudingan bahwa pemerintah tidak memiliki kejelasan
dalam politik energi yang sebenarnya tidak menyelesaikan inti
permasalahan. Meskipun Blok Cepu dan Mahakam diberikan ke Pertamina
sebagai representasi dari politik energi yang kita kehendaki, apakah
kemudian kita mau membantu operasi Pertamina? Jika wewenang BP Migas dikembalikan
kepada Pertamina, apakah kita mau membantu mereka untuk mengelola blok
migas?
Tanggung Jawab Sosial
Salah satu jalan keluar dari
absurditas ini adalah menyadarkan kepada semua pemangku kepentingan akan
tanggung jawab sosial mereka dalam kegiatan hulu migas. Selama ini, kita
hanya mengenal CSR, yang menempatkan perusahaan sebagai obyek untuk
”diperas” sesuai keinginan kita. Padahal, semua pemangku kepentingan
seharusnya punya tanggung jawab yang sama demi terwujudnya kedaulatan
energi.
Tanggung jawab Pertamina dan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah menyumbangkan pendapatan
negara dari produksi migas. Tanggung jawab pemangku kepentingan—baik
pemda, civil society (media, LSM, dan akademisi) ataupun
masyarakat—adalah mendukung agar operasi hulu migas dapat berjalan dengan
lancar.
Kewajiban pemda belajar operasi
hulu migas sebaik-baiknya untuk menyiapkan BUMD yang dapat mengambil alih
pada saat blok migas itu berakhir. Peran civil society utamanya membantu
investor agar melaksanakan kegiatan operasi yang mendukung pembangunan
berkelanjutan. Masyarakat pun sebaiknya menjadi mitra yang baik bagi KKKS
supaya usaha untuk menambah pendapatan negara terwujud.
Sejarah menunjukkan, ketiadaan
tanggung jawab sosial para pemangku kepentingan akan membuat daerah
tersebut terpuruk pada saat investor berhenti operasi. Selama kita sibuk
untuk merevisi UU Migas, membubarkan BP Migas atau memaksa transparansi
pendapatan, tetapi kita tidak pernah ingin berusaha menjadi pemain bisnis
hulu migas, jangan berharap kemandirian energi akan terwujud.
Kedaulatan energi tidak
ditunjukkan dengan melempar tanggung jawab ke pihak lain. Kedaulatan
energi ditunjukkan dengan mengambil tanggung jawab mengelola sumber daya
alam dengan belajar, bekerja, dan berusaha. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar