Rabu, 24 Oktober 2012

Pangan dan Nasib Petani


Pangan dan Nasib Petani
A Kardiyat Wiharyanto ; Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 24 Oktober 2012


Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober 2012, kita diingatkan kembali pada masalah ketahanan pangan dan nasib petani. Bukan rahasia lagi bahwa petani yang telah bekerja keras dan banyak berjasa dalam usaha ketahanan pangan, sedikit sekali yang mengalami peningkatan kesejahteraan hidup. Hal ini dapat dilihat apabila dibandingkan dengan meningkatnya kebutuhan hidup, biaya produksi tanah, kebutuhan pendidikan dan kesehatan, apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor industri dan jasa.
Petani-petani yang semula relatif mandiri dalam menentukan jenis tanaman, cara pemupukan, pemeliharaan serta cara pemasaran, kini tinggal menjadi kelompok yang semakin terpinggirkan posisinya dalam menentukan penjualan atau cara pemasaran, serta dalam memperjuangkan kepentingannya.
Adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokkan petani di wilayah yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah tetap rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah banyak berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi pangan.
Jika ditelusur dari sejarah perjalanan bangsa ini, nasib petani boleh dikatakan belum pernah sejahtera. Di samping sukarnya mendapatkan pupuk maupun obat pemberantas hama, para petani juga tidak diuntungkan oleh harga dasar gabah yang relatif rendah. Nasib petani seperti itu seolah tidak pernah dipandang serius oleh pemerintah, dan juga seolah tidak ada yang membelanya.
Bertolak dari kondisi yang semakin terpinggirkan itu, maka layak dan sepantasnya apabila pemerintah tetap harus melindungi kepentingan para petani itu. Di samping itu, pemerintah juga harus mendukung prakarsa-prakarsa petani dalam rangka mengembangkan model pertanian yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomis (economically feasible), sesuai dengan budaya setempat (culturally adapted), dan berkeadilan sosial (socially just) sejalan dengan arah perjuangan bangsa.
Walaupun di negeri ini sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang tidak terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani sederhana dekat dengan tanah dan dengan alam. Mereka hidup berdekatan dan saling memberi perhatian satu sama lain. Dengan kata lain, mereka mengalami harmoni kosmis maupun harmoni sosial. Namun situasi baru lebih dialami sebagai disharmoni baik kosmis maupun sosial.
Kaum tani tidak selalu dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan tanah pertaniannya, entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran industri. Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil keringatnya secara wajar.
Sejak digalakkan ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi, yang tidak jarang disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan para petani kecil. Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati, melainkan modal tanah yang digerogoti. Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, kaum tani kecil tidak dapat polah.
Dalam proses pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli dalam kehidupan politis dan ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai obyek. Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Mereka semakin dicabut dari situasi harmoni dan semakin memasuki disharmoni, baik kosmis maupun sosial.
Meskipun para petani selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih selalu rendah dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor industri. Rendahnya harga pokok pertanian, khususnya gabah, menyebabkan kesejahteraan petani belum meningkat. Tetapi, tidak berarti petani miskin, hanya memang peningkatan itu relatif kecil bila dibanding industri.
Perbedaan kesejahteraan antara petani dan para produsen di sektor industri sedemikian besarnya sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan sementara produsen barang industri hidup serba mewah.
Para petani Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan mau bekerja keras. Jika diamati di semua wilayah memang tidak ada petani Indonesia yang malas, sebab malas akan membawa mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka hadapi.
Rendahnya kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani. Sektor pertanian, khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur pemerintah. Campur tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi pekerja dalam proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka tidak bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan.
Seperti halnya buruh, petani padi pada akhir panen menerima upah berupa harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan petani. Yang menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka berdasarkan harga dasar yang ditentukan pemerintah.
Bertolak dari posisi petani tersebut, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan nasib mereka itu. Dituntut konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pembangunan sektor pertanian yang mengarah ke stabilitas ketahanan pangan dengan memperhatikan nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah menjadi prioritas kebijakan nasional, namun nasib petani belum mendapat prioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar