Teologi
Hukuman Mati
Masdar Farid Mas’udi ; Rois PBNU;
Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia
|
KOMPAS,
24 Oktober 2012
Kegaduhan di negeri ini
terus silih berganti. Yang paling mutakhir adalah gaduh di seputar
penghapusan hukuman mati.
Menyusul keputusan Hakim
Agung Imran yang menjatuhkan hukuman mati atas pemilik pabrik narkoba (Henky
Gunawan), Presiden SBY melalui grasinya mela- kukan hal yang sama atas
penjahat kakap narkoba yang berbeda (Deni Setia dan Meirika Franolia). Imran mengganti
hukuman mati hanya dengan 12 tahun penjara, presiden menggantinya dengan
hukuman seumur hidup.
Keduanya pun mendapat
kecaman publik yang keras dan luas. Imran digugat: bagaimana mungkin hukuman
mati atas kejahatan gembong narkoba diganti hanya dengan 12 tahun penjara,
belum lagi dipotong remisinya? Dibayar berapa dia? Soal presiden: bukankah
beliau sendiri yang menobatkan kejahatan narkoba (dan korupsi) sebagai
kejahatan luar biasa. Namun, mengapa hukumannya diubah layaknya kejahatan
biasa.
Seperti dimaklumi,
penjahat narkoba bukan saja membunuh begitu banyak manusia, melainkan
membunuh mereka pelan-pelan dengan penderitaan lahir batin yang panjang. Di
atas segalanya semua itu dilakukan demi keuntungan materi semata.
Soal Hukuman Mati
Hukuman mati adalah
hukuman yang sangat kuno. Boleh
jadi sejak ada orang yang merasa berhak menegakkan hukum (penguasa), hukuman
mati sudah menjadi pilihan menghukum kejahatan besar. Jika tidak menghukum
mati secara fisik, sekurang-kurangnya secara sosial dengan dibuang atau
diasingkan, yang akhirnya juga akan mati karena dimakan binatang.
Zaman dulu penjara berupa
bangunan kokoh dengan segala fasilitasnya belum tersedia dan mungkin dianggap
tak praktis, bertele-tele, makan biaya, dan tentu saja rawan korupsi. Hukuman
mati, potong tangan, cambuk, denda, dan sebagainya menjadi pilihan yang
praktis, murah, dan menjerakan.
Namun, menghukum mati
memang perkara besar. Sekali dikenakan dan salah, tidak mungkin diperbaiki.
Apalagi dulu, hukuman mati lazim dikenakan dengan teknik yang begitu
mengerikan, seperti pernah dipraktikkan selama berabad-abad oleh para
penguasa di berbagai belahan bumi. Penguasa China kuno, misalnya, tercatat
sebagai rezim penghukum mati yang teramat sadis. Membaca dokumennya, perut
langsung mual dan bulu kuduk berdiri.
Mengadopsi ”kearifan” yang
berkembang di masyarakat, kitab suci agama-agama pun ikut menerapkan.
Perjanjian Lama mengenakan hukuman mati untuk beberapa kejahatan (Keluaran
21:22; 21:16; 22:19). Melalui Santo Agustinus dan Thomas Aquinas, merujuk
Surat Paulus kepada Jemaat Roma 13:4, selama berabad-abad gereja menilai
hukuman mati jalan efektif mencegah kejahatan dan melindungi pihak tak
bersalah. Kemudian, mewarisi tradisi Taurat (Perjanjian Lama) dan tradisi
gereja abad Pertengahan, Al Quran mengadopsi hukuman mati atas kejahatan
tertentu dengan catatan.
Namun, ada yang berbeda:
jika di masyarakat umum hukuman mati cenderung menganut logika dendam
(pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan), kitab-kitab suci mengambil
hukuman mati atas nalar penjeraan dan kesetimpalan (keadilan). Membalas itu
masuk akal, tetapi tak boleh melampaui tindakan. ”Kami (Tuhan) tetapkan dalam
Taurat (Perjanjian Lama), bahwa nyawa dibalas nyawa (hukuman mati), mata
dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas
gigi dan setiap luka dibalas luka.” (Al Quran [5]: 45).
Ketetapan Taurat
(Perjanjian Lama) ini bukan saja dianut umat Yahudi dan berpengaruh di
kalangan Kristiani, melainkan secara eksplisit diadopsi juga oleh Al Quran
umat Islam. Inilah yang disebut qisas, hukuman setimpal sebagai hukuman
maksimal, yang memesankan: jika kamu tak ingin disakiti, janganlah menyakiti;
jika tak mau dipukul, janganlah memukul; jika tak ingin dibunuh, janganlah
membunuh. Walhasil, jika tak ingin dirampas hak asasi, janganlah merampas hak
asasi orang lain. Inilah kaidah keadilan universal.
Melampaui Keadilan
Memang di atas keadilan,
ada norma lain yang lebih unggul dan mulia di mata Allah ataupun manusia,
yakni kasih yang diterjemahkan dalam bentuk pengampunan terhadap yang salah,
baik sebagian maupun keseluruhan. Maka normanya, tidak selalu nyawa mesti
dibalas nyawa, mata dibalas mata. Ada pilihan lain yang lebih terpuji dan
lebih disukai Allah: ganti rugi (diyat) atau bahkan pengampunan sama sekali,
sebagaimana ditegaskan oleh kelanjutan ayat Al Quran surat al-Maidah: ”Barang
siapa dari keluarga korban yang mau bersedekah (dengan tidak menuntut mati
atas si pembunuh, melainkan cukup ganti rugi atau bahkan pengampunan sama
sekali), maka hal itu merupakan penebusan bagi si pelaku” (Al Quran [5]: 33).
Ganti rugi sangat relevan, terutama atas nyawa korban yang notabene tulang
punggung ekonomi keluarga.
Yang perlu dicatat,
menurut Kitab Suci, apa yang akan dikenakan terhadap si pembunuh, hukuman
setimpal (kisas), ganti rugi, atau pengampunan penuh, yang memutuskan
bukanlah negara, melainkan keluarga korban. Negara hanya mengukuhkan
keputusan keluarga dan memastikan eksekusinya. Alasannya sederhana dan jelas:
bukan negara, melainkan keluarga korban yang secara emosional dan sosial
pemikul beban perkara. Jadi jelas dalam ajaran Alkitab maupun Al Quran,
peluang menjatuhkan atau menghindari hukuman mati memang terbuka. Terutama
untuk pembunuhan perseorangan demi pembelaan diri dari penyerangan,
perampokan, atau penganiayaan beruntun, seperti dialami tenaga kerja
Indonesia di luar negeri.
Persoalannya bisa jadi
lain ketika kor- ban pembunuhan langsung atau tak langsung bukan cuma
perseorangan, melainkan massal. Al Quran menyebut kejahatan ini hirabah dan
ifsad fil ardl penghancuran masyarakat atau dalam bahasa HAM, kejahatan
kemanusiaan. Tidak ada balasan lain untuk mereka kecuali dihukum mati,
disalib, atau dipotong tangan dan kakinya.
Sementara itu, yang
dilakukan bandar narkoba dan lebih-lebih pemilik pabriknya bukanlah
pembunuhan orang seorang, melainkan pembunuhan massal secara generasional
alias kejahatan kemanusiaan. Termasuk jenis kejahatan ini: korupsi.
Penghormatan kepada hak
asasi hanya masuk akal untuk manusia yang punya setitik hati untuk
menghormati hak asasi orang lain. Adalah absurd orang yang tidak peduli
dengan hak asasi orang, tetapi menuntut orang lain dan masyarakat untuk
menghormati hak asasinya. Yang wajib dicatat, penjahat kemanusiaan dengan
korban yang begitu masif, seperti penjahat narkoba dan koruptor, tujuannya
tidak lain: ”sebesar-besar keuntungan pribadi secara materi dengan sebesar
dan seluas- luasnya korban di pihak lain”.
Al Quran masih memberikan
kesempatan. Jika sebelum negara berhasil menghukum kedua penjahat kemanusiaan
itu ternyata yang bersangkutan diketemukan benar-benar telah bertobat dengan
meninggalkan seluruh bisnis haramnya dan dengan sukarela mengembalikan semua
uang haram hasil kejahatan narkoba atau korupsinya, mereka pun berhak tak
dihukum mati atau diampuni. Bila tidak, hukuman mati adalah yang terbaik bagi
yang bersangkutan ataupun masyarakat dan negara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar