Perlindungan
Perempuan
Lies Marcoes ; Master
Medical Anthropology Universitas Amsterdam
|
KOMPAS,
24 Oktober 2012
Pernyataan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh, bahwa hubungan seksual suka sama suka pada
remaja kadang bisa dipalsukan sebagai aduan pemerkosaan, menuai protes.
Ia tidak hanya dianggap
membenarkan tindakan sekolah yang mendiskriminasi perempuan untuk mendapatkan
pendidikan, tetapi jadi preseden buruk untuk kasus-kasus serupa karena
cenderung menyalahkan korban.
Sikap M Nuh yang antara
lain mempertanyakan cara perempuan bertingkah laku sungguh memprihatinkan
karena ia adalah orang nomor satu di negeri ini yang seharusnya melindungi
semua anak didik tanpa kecuali. Kekeliruan cara pandang ini harus segera
dibenahi, apalagi angka kekerasan seksual di kalangan remaja masih tinggi.
Langgar Prinsip
Pertama, pernyataan itu
melanggar prinsip dasar penanganan pemerkosaan. Suatu aduan pemerkosaan harus
diterima sebagai kebenaran sampai ada pembuktian baik secara medis maupun
pemeriksaan teknis lainnya. Prinsip ini harus dipegang jajaran penegak hukum,
rumah sakit, konselor, pihak sekolah, dan tak terkecuali menteri.
Dalam masyarakat yang
memberi sanksi sosial begitu berat kepada perempuan (apalagi remaja) terkait
hubungan seks, orang cenderung menutupi terjadinya hubungan seksual, apalagi
pemerkosaan. Karena pemerkosaan umumnya bersifat traumatik, pengakuan atas
terjadinya pemerkosaan harus ditanggapi sebagai pertanda baik bahwa korban
telah melewati masa trauma dan berhasil keluar dari proses penyangkalannya.
Sederhananya, tak ada satu pun perempuan yang mau mengakui mengalami
pemerkosaan sampai tak ada pilihan lain kecuali mengakui.
Pengungkapan terjadinya
pemerkosaan dimungkinkan ketika korban mendapatkan dukungan sosial-politik
dari lingkungannya. Ini biasanya terjadi pada korban kekerasan seksual di
daerah konflik. Perempuan-perempuan itu mendapatkan dukungan sosial- politik
dari lingkungannya untuk mengungkapkan kekejaman seksual yang mereka alami.
Pernyataan Mendikbud
mengabaikan realitas bahwa pemerkosaan bisa terjadi pada segala umur, dari
bayi 2 tahun sampai usia lanjut. Namun, kekerasan seksual pada remaja paling
sulit untuk dipetakan justru karena sering muncul kecurigaan hubungan suka
sama suka. Padahal, sejatinya, kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, hanya
mungkin terjadi dalam format relasi kuasa yang timpang. Bentuk ketimpangan
beragam tetapi selalu memunculkan ancaman, baik fisik maupun nonfisik.
Pada remaja bentuknya bisa
berupa desakan yang membingungkan korban. Misalnya ancaman ”akan
ditinggalkan”, atau desakan ”untuk membuktikan cinta”, atau ”sejauh mana mau
berkorban”, dan seterusnya. Ancaman serupa sebetulnya bisa terjadi pada
segala umur, tetapi ada remaja menjadi berat karena dorongan yang menggebu
untuk mengekspresikan rasa cinta membuat mereka tak selalu bisa melihat
sebagai ancaman.
Situasi psikologis ini
bisa membuat mereka masuk perangkap kekerasan seksual masa pacaran. Ujungnya
adalah tindakan pemaksaan hubungan seks atau pemerkosaan meskipun format
hubungan mereka adalah sedang pacaran atau bersukaan.
Relasi Timpang
Ketimpangan relasi antara
pelaku dan korban bisa dalam bentuk kekuasaan (political power), umur,
ekonomi, atau emosional. Kasus paling gampang dilihat adalah kekerasan yang
terjadi dalam hubungan sedarah (inses): ayah, kakek, paman, abang terhadap
anak, cucu, keponakan, adik, atau majikan terhadap pembantu, guru terhadap
murid. Dalam relasi ini, ancaman tak selalu fisik, tetapi bisa ancaman
emosional, rasa khawatir, kasihan, dan sejenisnya.
Pernyataan Mendikbud abai
terhadap perbedaan yang sangat mendasar dalam cara masyarakat
mengonstruksikan bagaimana ”menjadi lelaki” dan ”menjadi perempuan”. Remaja
perempuan dan remaja lelaki ditumbuhkan dan dipersepsikan untuk bertingkah
laku secara berbeda. Remaja perempuan diharapkan bersifat asertif, setia,
manis, tabah, sabar, mencintai, sementara remaja lelaki didorong untuk
agresif, macho, berani ambil risiko, dan berkuasa. Pemerkosaan pada dasarnya
tak semata-mata demi menumpahkan syahwat, tetapi juga sarana mewujudkan
agresivitas. Maka sangat mungkin pemerkosaan berlangsung dalam kerangka
pacaran justru karena bentukan sosial tentang ”menjadi perempuan” dan
”menjadi lelaki” itu.
Eliminasi Makna
Pernyataan M Nuh
mengeliminasi pemaknaan yang berbeda antara remaja perempuan dan lelaki dalam
mengekspresikan perasaan cinta. Mendapatkan kasih sayang, pelindungan, dan
perhatian adalah idaman perempuan dalam relasi. Sebaliknya, remaja lelaki
berpacaran bisa untuk meningkatkan pergaulan, menambah harga diri, dan sarana
penaklukan.
Soal terakhir tetapi
sering menjadi pokok masalah adalah adanya tuntutan yang berbeda kepada
lelaki dan perempuan dalam mempertahankan ”kesucian”. Ini membuat beban
perempuan makin berat, apalagi ketimpangan relasi yang telah diuraikan di
atas semakin membuat perempuan, terutama remaja, yang menjalani hubungan
seksual dalam keterpaksaan, seolah- olah suka sama suka.
Kekeliruan dalam
penanganan pemerkosaan yang disebabkan kesalahan dalam cara berpikir tentang
peristiwa itu menyebabkan korban mengalami penderitaan berlipat ganda.
Semua faktor yang
disebutkan memberi penjelasan mengapa pernyataan M Nuh menuai protes.
Pernyataan itu merupakan suatu prasangka yang tak berdasar, tak berbasis
pengetahuan tentang mengapa remaja perempuan rentan terhadap pemerkosaan dan
tidak pantas diucapkan pejabat publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar