Kamis, 25 Oktober 2012

Makna Kurban di Era Multikrisis


Makna Kurban di Era Multikrisis
Agus Iswanto ; Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta
REPUBLIKA, 24 Oktober 2012



Menjalankan ajaran dan perintah agama dalam masyarakat kon temporer yang sangat kompleks seperti sekarang ini selalu memerlukan `kontekstualisasi'.
Kontekstualisasi diperlukan agar pesan-pesan agama tidak kehilangan relevansi dalam kehidupan manusia.
Perintah dan anjuran untuk melakukan kontekstualisasi bermula dari Al quran sendiri. Hari Raya Kurban atau Idul Adha umumnya berkonotasi langsung dengan hewan kurban. Karena ada daging hasil sembelihan hewan kurban yang dibagikan kepada fakir dan miskin. Hal itu penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami hakikat makna kurban di tengah bencana dan krisis yang melanda bangsa Indonesia.
Meneruskan tradisi Sudah dimaklumi, di antara ajaran Islam, terdapat ajaran yang diperintahkan dalam rangka meneruskan ajaran dan tradisi nabi-nabi terdahulu. Bahkan, tidak hanya meneruskan, tetapi juga menyempurnakannya. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah di surat al-Syura ayat 13. Akan tetapi, dari masing-masing syariat tersebut tentu terdapat ajaran-ajaran yang berbeda satu sama lain, ini tentu mengingat waktu, tempat, dan keadaan yang berbeda pula.
Di antara ajaran itu adalah kurban atau penyembelihan hewan (udhiyyah), yang merupakan tradisi Nabi Ibrahim dalam mengenang pengorbanannya tat kala diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail, yang akhirnya diganti dengan seekor kambing. Sampai di sini maka disyariatkanlah kurban. Perintah ini juga, oleh sebagaian ulama, didasarkan oleh firman Allah surat al-Kautsar ayat 2. Pertanyaannya adalah mengapa harus melakukan pe- nyembelihan hewan kurban?
Pertama, menurut penulis, yang harus dilakukan adalah bagaimana tradisi dan perintah kurban itu tetap ada, yang ini sebagai makna pertama dari perintah Allah, tetapi juga tidak melupakan hakikat dari penyembelihan hewan kurban tersebut, yang ini sebagai makna kedua dari perintah tersebut. Menafikan makna pertama, berarti memutuskan tradisi dan merusak simbol-simbol agama yang pada akhirnya akan menghilangkan sakralitas sebuah ajaran agama (Islam).
Tetapi, juga menepikan dan menyingkirkan makna kedua adalah suatu hal yang tidak mungkin, sebab Islam diyakini sebagai ajaran yang universal, agama kemanusiaan, yang tidak melulu penuh dengan simbol-simbol. Ini akan sangat signifikan jika dikaitkan dengan konteks, baik waktu maupun tempat. Sehingga nilai universalitas dan lengkap dalam ajaran Islam, yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, lokal-partikular da pat dibuktikan. Dari sini kemudian kontekstualisasi sangat dibutuhkan demi menggali makna hakiki di balik kurban.
Sebagai `Pengorbanan'
Ada realitas yang telah terjadi --meskipun perlu dibuktikan dahulu--, yakni penyembelihan Ismail sebagai pengorbanan Ibrahim demi perintah Allah SWT. Timbul realitas kedua, yang kemudian menjadi realitas yang hiper, yakni realitas penyembelihan hewan kurban sebagai simbol Ismail. Lalu, timbul simbol penyembelihan hewan kurban sebagai pengorbanan kaum Muslim, yang hingga kini dilaksanakan.
Jika Ibrahim menyembelih Ismail karena perintah (ujian) Allah maka kita, kaum Muslim, menyembelih hewan kurban karena perintah Allah untuk saling berbagi terhadap sesama. Dari sini kemudian ada transformasi orientasi dari teosentris ke antroposentris. Berkurban bukan lagi untuk Allah, melainkan untuk saling berbagi dan kesejahteraan umat.
Namun, yang sering terjadi sekarang adalah orang cenderung menganggap telah selesai ketika sudah melaksanakan ritual penyembelihan, tanpa mau melihat apa kebutuhan umat yang sebenarnya.
Karena itu, kurban menjadi hiper-realitas. Ia hanya terhenti pada simbol atau tanda pertama, tidak berusaha melampaui untuk mencapai tanda kedua.
Hiper-realitas adalah realitas artifisial yang tidak lagi berkaitan dengan realitas asasi, referensi, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari realitas awal yang menjadi model atau rujukannya. Ia juga menciptakan `citra' yang dianggap sebagai realitas (Piliang: 2001).
Perintah udhiyyah adalah simbol pengorbanan yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim, yang ini tidak lain adalah untuk mendekatkan diri dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Dengan memberikan daging-daging kurban tersebut, berarti juga memperhatikan nasib warga yang tidak mampu di sekitarnya.
Dalam konteks ini, saudara kita yang untuk makan saja mereka harus mencari bersusah payah atau bagi mereka yang tertimpa musibah, atau dalam kondisi krisis multidimensi bangsa Indonesia, lebih membutuhkan kebutuhan yang lebih mendesak ketimbang daging-daging kurban, maka apa yang perlu diberikan sebagai ganti daging-daging kurban tersebut?
Dengan demikian, `pengorbanan' adalah kata kunci dalam perintah penyembelihan hewan kurban. Tentu saja pengorbanan tersebut bukan untuk Tuhan, sebab Tuhan tidak membutuhkan pengorbanan umatnya. Tuhan hanya menerima keikhlasan dan niat kita yang tulus. Pengorbanan hanya dibutuhkan bagi manusia dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan mereka. Bangsa Indonesia membutuhkan pengorbanan kita untuk membangun kembali kehidupan mereka. Maka itu, apa yang pantas kita berikan untuk saat ini adalah juga berarti memberikan `kurban' bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar