Makna Kurban
di Era Multikrisis
Agus Iswanto ; Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta
|
REPUBLIKA,
24 Oktober 2012
Menjalankan ajaran dan perintah
agama dalam masyarakat kon temporer yang sangat kompleks seperti sekarang ini
selalu memerlukan `kontekstualisasi'.
Kontekstualisasi diperlukan agar pesan-pesan agama tidak kehilangan relevansi dalam kehidupan manusia.
Perintah dan anjuran untuk melakukan
kontekstualisasi bermula dari Al quran sendiri. Hari Raya Kurban atau Idul
Adha umumnya berkonotasi langsung dengan hewan kurban. Karena ada daging
hasil sembelihan hewan kurban yang dibagikan kepada fakir dan miskin. Hal itu
penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami hakikat
makna kurban di tengah bencana dan krisis yang melanda bangsa Indonesia.
Meneruskan tradisi Sudah
dimaklumi, di antara ajaran Islam, terdapat ajaran yang diperintahkan dalam
rangka meneruskan ajaran dan tradisi nabi-nabi terdahulu. Bahkan, tidak hanya
meneruskan, tetapi juga menyempurnakannya. Hal ini dapat dilihat dalam firman
Allah di surat al-Syura ayat 13. Akan tetapi, dari masing-masing syariat
tersebut tentu terdapat ajaran-ajaran yang berbeda satu sama lain, ini tentu
mengingat waktu, tempat, dan keadaan yang berbeda pula.
Di antara ajaran itu adalah kurban
atau penyembelihan hewan (udhiyyah), yang merupakan tradisi Nabi Ibrahim
dalam mengenang pengorbanannya tat kala diperintahkan oleh Allah untuk
menyembelih anaknya, Ismail, yang akhirnya diganti dengan seekor kambing. Sampai
di sini maka disyariatkanlah kurban. Perintah ini juga, oleh sebagaian ulama,
didasarkan oleh firman Allah surat al-Kautsar ayat 2. Pertanyaannya adalah
mengapa harus melakukan pe- nyembelihan hewan kurban?
Pertama, menurut penulis, yang
harus dilakukan adalah bagaimana tradisi dan perintah kurban itu tetap ada,
yang ini sebagai makna pertama dari perintah Allah, tetapi juga tidak
melupakan hakikat dari penyembelihan hewan kurban tersebut, yang ini sebagai
makna kedua dari perintah tersebut. Menafikan makna pertama, berarti
memutuskan tradisi dan merusak simbol-simbol agama yang pada akhirnya akan
menghilangkan sakralitas sebuah ajaran agama (Islam).
Tetapi, juga menepikan dan menyingkirkan
makna kedua adalah suatu hal yang tidak mungkin, sebab Islam diyakini sebagai
ajaran yang universal, agama kemanusiaan, yang tidak melulu penuh dengan
simbol-simbol. Ini akan sangat signifikan jika dikaitkan dengan konteks, baik
waktu maupun tempat. Sehingga nilai universalitas dan lengkap dalam ajaran
Islam, yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, lokal-partikular da pat
dibuktikan. Dari sini kemudian kontekstualisasi sangat dibutuhkan demi
menggali makna hakiki di balik kurban.
Sebagai `Pengorbanan'
Ada realitas yang telah terjadi
--meskipun perlu dibuktikan dahulu--, yakni penyembelihan Ismail sebagai
pengorbanan Ibrahim demi perintah Allah SWT. Timbul realitas kedua, yang
kemudian menjadi realitas yang hiper, yakni realitas penyembelihan hewan
kurban sebagai simbol Ismail. Lalu, timbul simbol penyembelihan hewan kurban
sebagai pengorbanan kaum Muslim, yang hingga kini dilaksanakan.
Jika Ibrahim menyembelih Ismail karena
perintah (ujian) Allah maka kita, kaum Muslim, menyembelih hewan kurban
karena perintah Allah untuk saling berbagi terhadap sesama. Dari sini
kemudian ada transformasi orientasi dari teosentris ke antroposentris.
Berkurban bukan lagi untuk Allah, melainkan untuk saling berbagi dan
kesejahteraan umat.
Namun, yang sering terjadi
sekarang adalah orang cenderung menganggap telah selesai ketika sudah
melaksanakan ritual penyembelihan, tanpa mau melihat apa kebutuhan umat yang
sebenarnya.
Karena itu, kurban menjadi hiper-realitas.
Ia hanya terhenti pada simbol atau tanda pertama, tidak berusaha melampaui
untuk mencapai tanda kedua.
Hiper-realitas adalah realitas artifisial yang tidak lagi berkaitan dengan realitas asasi, referensi, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari realitas awal yang menjadi model atau rujukannya. Ia juga menciptakan `citra' yang dianggap sebagai realitas (Piliang: 2001).
Perintah udhiyyah adalah simbol
pengorbanan yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim, yang ini tidak lain adalah
untuk mendekatkan diri dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Dengan memberikan
daging-daging kurban tersebut, berarti juga memperhatikan nasib warga yang
tidak mampu di sekitarnya.
Dalam konteks ini, saudara kita
yang untuk makan saja mereka harus mencari bersusah payah atau bagi mereka
yang tertimpa musibah, atau dalam kondisi krisis multidimensi bangsa
Indonesia, lebih membutuhkan kebutuhan yang lebih mendesak ketimbang daging-daging
kurban, maka apa yang perlu diberikan sebagai ganti daging-daging kurban
tersebut?
Dengan demikian, `pengorbanan'
adalah kata kunci dalam perintah penyembelihan hewan kurban. Tentu saja
pengorbanan tersebut bukan untuk Tuhan, sebab Tuhan tidak membutuhkan
pengorbanan umatnya. Tuhan hanya menerima keikhlasan dan niat kita yang
tulus. Pengorbanan hanya dibutuhkan bagi manusia dalam rangka usaha
mewujudkan kesejahteraan mereka. Bangsa Indonesia membutuhkan pengorbanan
kita untuk membangun kembali kehidupan mereka. Maka itu, apa yang pantas kita
berikan untuk saat ini adalah juga berarti memberikan `kurban' bagi mereka.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar