Rabu, 24 Oktober 2012

Obral Grasi untuk Penjahat Narkoba


Obral Grasi untuk Penjahat Narkoba
La Ode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
SINDO, 24 Oktober 2012
  


Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kembali memberikan grasi atau meringankan hukuman kepada dua orang terpidana narboka, Deni Satya Maharwa dan Meirika Pranola, yang semula divonis mati menjadi hukuman seumur hidup terus mendapat kritikan. 

Sebelumnya, 23 Mei 2012, kebijakan yang sama diperuntukkan bagi Schapelle Leigh Corby (berupa pengurangan hukuman 5 tahun), seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan membawa narkoba masuk ke Bali dan kemudian terkena sanksi penjara selama 20 tahun. Sementara pihak di DPR, bahkan, berupaya menggunakan hak interpelasi terhadap kebijakan itu kendati barangkali hanya menjadi “gertak sambal” saja.

Tapi, jujur saja, kebijakan itu sungguh ironis dan mengesankan pemimpin kita menoleransi berkembangnya “pasar narkoba” di Tanah Air sekaligus melupakan reaksi dan kritikan pedas dari berbagai elemen masyarakat atas pemberian grasi terhadap Corby. Terlebih lagi, masih lekat dalam ingatan publik—di mana SBY seolah-olah tak mau peduli––kasus Afriyani (yang dikenal dengan tragedi tragis di sekitar Tugu Tani Jakarta Pusat, 28/1/2012) yang mengemudikan mobil secara tak sadar lalu menabrak dan menewaskan sembilan pejalan kaki. 

Bahkan ketika baru saja Presiden SBY mengeluarkan grasi Deni Setia Maharwa dan Meirika Pranola, terjadi tragedi mutakhir,Novi Amalia,seorang fotomodel yang diidentifikasi sedang mengonsumsi salah satu jenis narkoba, mengendarai dan menabrakkan mobilnya kepada tujuh orang (termasuk dua orang polisi yang tengah bertugas) di wilayah Taman Sari Jakarta Barat (Jumat malam, 12/10/2012). 

Kejadian serupa ada di Palembang hampir bersamaan dengan Novi, yakni seorang pelajar SMK yang ternyata juga sedang mengonsumsi narkoba sejenis sabu-sabu menabrak sejumlah mobil, motor becak, dan pejalan kaki dengan korban jiwa seorang ibu dan bayinya (Sabtu,13/10/2012) Beberapa fakta dan tragedi seperti digambarkan di atas tentu barulah sebagian dari dampak buruk narkoba di dalam masyarakat kita. 

Sangat jelas bahwa efek buruknya bukan hanya pada kesehatan,moralitas, dan inteligensi penggunanya, melainkan juga menjadikan pihak lain sebagai korbannya. Maka, dalam kondisi yang waras,siapa pun warga bangsa ini, apalagi pengambil kebijakan tertinggi, harus bertindak “memberantas dan memberikan hukuman seberatberatnya” kepada pihak-pihak yang berupaya melanggengkan pengedaran dan penggunaan narkoba.

Tepatnya, tidak boleh sedikit pun ada toleransi terhadap siapa pun pengedar dan penggunanya. Tapi mengapa justru Presiden SBY bersikap lunak atau bahkan terkesan toleran terhadap terpidana narkoba? Tentu saja SBY atau pihaknya yang mesti memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang hal ini. Sebab jika tidak akan menimbulkan beberapa spekulasi yang bisa kian merusak citra pihak SBY dan atau penyelenggara negara ini secara keseluruhan. 

Pertama, kalau pemberian grasi seperti itu berawal dari sikap pribadi SBY, yang perlu dicurigai jangan sampai ada pihak yang terkait dengan orang-orang yang berada di lingkaran dalamnya (baca: pihak keluarga, kerabat dekat, termasuk sebagian oknum aparat penegak hukum) memiliki keterkaitan dengan pengedaran dan penggunaan narkoba di negeri ini. Sudah jadi rahasia umum, misalnya, bahwa sebagian oknum aparat (dari jajaran kepolisian dan TNI) terlibat dalam pengedaran dan penggunaan narkoba. 

Bahkan, konon, para pengedar dan pengguna narkoba juga sebenarnya sudah diketahui pasti atau sudah teridentifikasi oleh pihak aparat berwajib, tetapi (sebagian) ada yang didiamkan saja,dijadikan bagian “ATM” dari pihak oknum berwajib. Karenanya, dalam konteks ini, terasakan sekali kontradiktif karena di satu pihak (seolah-olah) dilakukan upaya memerangi narkoba, tetapi di pihak para pelakunya justru memanfaatkan atau membisniskannya. 

Dalam kaitan itu, bukan mustahil pihak terpidana narkoba melakukan berbagai manuver dan tekanan untuk membuka borok dari sebagian inner circle, termasuk melalui jejaring dengan para oknum aparat yang terkait, sehingga memaksa pihak SBY bersikap toleran terhadap para terpidana dengan cara menurunkan atau meringankan status hukumannya.Tepatnya, pihak SBY bukan mustahil berada dalam tekanan mafia narkoba nasional dan internasional akibat belum bersihnya semua pihak yang berada di sekitarnya, termasuk oknum-oknum aparat berwajib, dari bisnis dan penggunaan narkoba. 

Kedua, jaringan mafia narkoba berhasil melakukan pendekatan atau lobi dengan para penggodok kebijakan untuk peringanan hukuman di mana dengan berbagai argumennya para “koki kebijakan” itu mampu meyakinkan sehingga Presiden SBY kemudian menandatangani pemberian grasi kepada para terpidana narkoba. 

Kondisi seperti itu saja lazim karena biasanya para pelaku kejahatan atau mafia (apalagi berskala internasional) memiliki kemampuan mendeteksi para figur yang berperan dalam proses pengambilan atau penggodok kebijakan, termasuk memiliki informasi dan data yang valid tentang berbagai kelemahan para figur pengambil kebijakan. 

Apalagi semua pihak sangat mafhum bahwa sebagian pengambil kebijakan di negeri ini sangat rentan dengan pendekatan transaksional alias semua bisa diatur kalau tawaran atau kompensasi materinya jelas adanya.Para bandar dan mafia narkoba pun sudah lebih memperhitungkan pengorbanan yang mesti dikeluarkan ketika para anggota jaringannya menghadapi masalah hukum di suatu negara termasuk di Indonesia ini.

Ketiga, kebijakan Presiden SBY memberikan grasi kepada terpidana narkoba agaknya juga didorong ketiadaan batasan tentang siapa-siapa saja yang tidak boleh memperolehnya. Karena dalam UU No 22/2002 (Pasal 2 ayat 2) hanya disebutkan yang berhak menerima grasi adalah terpidana mati,terpidana seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun.

Tepatnya, peraturan perundangan yang ada masih memberi ruang besar bagi para terpidana kejahatan kemanusiaan seperti para bandar dan pengedar narkoba untuk memperolehnya. Celah dan peluang hukum seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan para bandar dan mafia narkoba sekarang ini sehingga dengan berbagai caranya mampu memengaruhi pengambil kebijakan tertinggi untuk membantu memperjuangkan pembebasan atau peringanan anggota jaringan mereka yang terjerat hukuman berat di negeri ini. 

Presiden SBY pun, sebagai pemegang hak prerogatif tunggal di negeri ini, memiliki argumen hukum ketika memberikan grasi kepada terpidana narkoba sehingga tak aneh kalau ia “tutup telinga”terhadap kritik atas kebijakannya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar