Rabu, 24 Oktober 2012

Kepada Kongres Hukum Nasional


Kepada Kongres Hukum Nasional
L Murbandono Hs ; Peminat dan Pengamat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 24 Oktober 2012


PROFESOR Dr Esmi Warassih Pujirahayu SH MS, guru besar Ilmu Hukum Undip dan Ketua Kongres Ilmu Hukum Nasional di Hotel Santika Semarang pada 19-20 Oktober lalu menyatakan hukum yang mestinya mendamaikan telah seperti bungkus kacang karena di dalamnya justru ada kekerasan, kelonggaran sanksi, dan kompromi (SM, 18/10/12). Artikel ini adalah harapan awam bagi para pakar peserta kongres tersebut.

 Mengingat kongres mengupas dunia hukum secara lengkap baik dalam tema (filsafat, ilmu hukum, studi sosio-legal, dan metodologi ilmu) maupun tujuan (membuat konsensus standar nasional epidemiologi sampai metodologi, menyambungkan kebutuhan pengembangan teori dan praktik, dan memperbaiki keterpurukan dunia hukum), mudah-mudahan 7 harapan (tetes kecil dari lautan harapan lain) berikut ini, juga mendapat perhatian di dalam kongres.

Pertama; soal menjadi negara maritim. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut 2/3 luas negara (luas total 5.193.250 km2, luas laut 3.166.163.km2, luas daratan 2.027.087 km2 terdiri lebih 17.000 pulau, luas zona ekonomi eksklusif 2.700.000 km2, dan panjang pantai 80.791,42 km) maka RI yang secara konvensional dipersepsi sebagai negara agraria, sejatinya negara berbasis laut sebagai negara kepulauan (das sein) untuk menjadi negara maritim (das sollen).

Namun, negara maritim hanya terjadi jika sekitar 2/3 penduduk kita sudah menghidupi peradaban air dan laut sebagai profesi dan sikap hidup. Harapan kepada kongres: seberapa jauh produk undang-undang sejalan dengan dan memperkuat posisi negara kita sebagai calon negara naritim? Pertanyaan lanjutan: adakah kuantitas/kualitas UU kemaritiman sudah sekitar 2/3 seluruh UU yang ada?

Lukai Nurani Rakyat

Kedua; soal martabat bangsa. Keberadaan TKI ditopang UU yang berlaku dan seluruh ikutannya (kantor-kantor resmi dan swasta, tempat pelatihan, bisnis dan percaloan) terus kiprah seolah-olah tanpa masalah. Padahal, banyak masalah muncul sebagai bagian dampak kebijakan politik ekonomi "bisnis dagang manusia" yang hanya haus devisa tanpa peduli harga tiada tara sosial budaya bangsa yang dikorbankan.

Harapan kepada kongres: seberapa jauh sudah ada RUU demi jangka panjang kejayaan Indonesia dan martabat bangsa yang menghapus agenda ke-TKI-an dari kebijakan kekuasaan negara untuk selamanya. Beleid semacam itu menandai mindset taraf rendah menyikapi harga kemanusiaan dan harga diri bangsa.

Ketiga; masalah korupsi. Bagaimana segenap penyelenggara hukum bisa melaksanakan keadilan hukum yang hidup di masyarakat sebab nyaris semua kasus korupsi tingkat atas divonis amat ringan, banyak petinggi penyelenggara hukum menjadi koruptor, ada koruptor setelah bebas bisa kembali menduduki jabatan publik yang strategis, dan banyak kasus sejenis yang intinya melukai nurani khalayak luas, sehingga mengesankan korupsi bukan kejahatan luar biasa?

Keempat; asas ekonomi. Hari-hari ini sejumlah sektor borjuis nasional berteriak kepada majikan besar luar negeri: kue jarahan mereka berkurang, eksploitasi modal asing berlebihan bisa berbahaya bagi kelanggengan saudagarisme di Indonesia. Bisa dimaklumi sebab struktur ekonomi RI tidak berubah, restrukturisasi ekonomi sebagai amanat reformasi tak pernah terjadi, sekitar 200 konglomerat yang dimanja-besarkan Orde Baru sampai hari ini masih berkibar-kibar.

Jadi, asas ekonomi saat ini masih dengan urat saraf Orde Baru yang berbunyi "selamat datang kapitalis" yang makin menjauhkan negara kita dari sila kelima Pancasila. Pertanyaan kepada kongres: UU semacam apa pernah dibuat dalam rangka restrukturisasi ekonomi menurut amanat reformasi 1998 pernah diproduksi sehingga sosialisme ala Indonesia (Bung Karno) yang meniscayakan perlawanan terhadap kapitalisme konvensional-vulgar-manipulatif berubah menjadi "kapitalisme rakyat"?

Regulasi Represif

Kelima; soal tentara. UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara telah menegaskan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan parlemen memegang penuh kontrol terhadap TNI. Nyatanya acapkali terjadi sikap lemah Kemenhan terhadap TNI dan cenderung menjadi corong suara TNI. Padahal kontrol sipil terhadap TNI adalah mutlak sebagai syarat demokratisasi. Reformasi TNI lewat legislasi juga tidak berjalan.

Legislasi tidak digunakan sebagai alat membangun penuntasan agenda reformasi TNI, malah melahirkan sejumlah regulasi kontraproduktif: bukan hanya mengembalikan TNI ke ranah sipil dan politik, melainkan juga memunculkan regulasi bersifat represif. Maka bisa dipahami jika struktur komando teritorial masih dipertahankan dengan sikap kuno masih berorientasi pada konsep pertahanan landas darat, padahal Indonesia adalah negara kepulauan menuju negara maritim.

Pertanyaan kepada kongres: berdasar amanat reformasi 1998, apa yang bisa dilakukan seluruh dunia hukum Indonesia agar bisa menjadi pedoman untuk mengatasi masalah hubungan sipil dan tentara tersebut?
Keenam; soal asas politik. Reformasi 1998 telah gagal. Ia hanya melengserkan Soeharto tanpa mereparasi seluruh bagian sistem yang jelek maka negara kita tersandera sejumlah mindset dan faktor aneh. Dampaknya muncul nyaris di semua sektor kehidupan utamanya ekonomi, budaya dan politik yang menjadi aneh pula. Dalam politik, tatanan kekuasaan memang menerima hak sipil dan hak politik, tapi terbatas. Paling parah, hak sipil: selain Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966, juga terjadi berbagai upaya regulasi untuk tetap mengriminalkan ideologi. Padahal, ideologi mustahil dikriminalkan sebab potensi memberontak bisa terjadi pada ideologi apapun.

Pertanyaan kepada kongres: seberapa jauh tatanan hukum di negara kita dan mekanisme praktisnya bisa betul-betul mewujudkan secara nyata Bhinneka Tunggal Ika (lengkapnya: Bhinneka Tunggal Ika, tan Hana Dharmma Mangrwa) sehingga segala isme dan faham hidup yang pernah menjadi dasar terbentuknya RI mendapat tempat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara bermartabat serta membebaskan sikap pikir masyarakat dari tatanan hukum bersifat fasis, feodalis, nepotis, kapitalis, dan militerisme sejak 1966 sampai Mei 1998?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar