Solusi Sistem
Alih Daya
Sofjan Wanandi ; Ketua Umum DPN Apindo
|
KOMPAS,
11 Oktober 2012
Demo penolakan sistem alih daya (outsourcing) telah melumpuhkan sebagian
besar kawasan industri. Tak terhitung kerugian akibat demo ini.
Dalam demo 3 Oktober lalu, penyisiran dan
pemaksaan pekerja agar ikut demo masih terjadi. Padahal, sudah ada larangan dan
jaminan dari Kapolri.
Salah satu petinggi Serikat Pekerja yang
memimpin demo mengatakan akan terus menggerebek pabrik-pabrik yang tidak mau
demo. Bahkan, tanpa rasa bersalah ia berkata hanya sedikit pagar pabrik yang
dirubuhkan.
Polisi yang diharapkan menjaga keamanan dan
menghormati pekerja yang tidak mau ikut demo, mendiamkan saja aksi penyisiran
dan pemaksaan kehendak.
Benarkah alih daya kambing hitam dari karut
marut dunia ketenagakerjaan kita? Seakan dengan menghapus alih daya semua
masalah selesai dan kesejahteraan tenaga kerja membaik. Bagaimana dengan
korupsi, ekonomi biaya tinggi, biaya siluman, dan buruknya infrastruktur yang
dapat menghambat kelancaran berusaha?
Kami pengusaha juga rakyat, bahkan menjadi
mesin penggerak pembangunan ini yang membuka lapangan pekerjaan. Kenapa seakan
kami bukan bagian dari rakyat yang perlu mendapat perlindungan dalam berusaha?
Alih Daya
Pengertian alih daya adalah menyerahkan
sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga dengan berbagai alasan, misalnya untuk
efisiensi, agar dapat fokus pada bisnis utama dan jadi maksimal. Melihat
pengertian ini, tidak mungkin menghapus alih daya. Selain sudah merupakan tren
global, alih daya merupakan solusi bagi perusahaan agar bergerak lebih dinamis.
Kalau dicermati tuntutan pekerja adalah
kesejahteraan buruh melalui perlindungan hak-hak pekerja, suatu hal yang sama
sekali berbeda dengan pengertian alih daya. Kesejahteraan bangsa menjadi
prioritas untuk segera diwujudkan agar pekerja kita mendapatkan hak-haknya
sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam rangka menuju negara sejahtera, bukan
alih daya yang dihapus, tetapi membenahi praktik pelaksanaan alih daya yang
salah dan melanggar hukum. Pelaksanaan alih daya yang memenuhi hak-hak pekerja
harus dilindungi karena alih daya bukan barang haram dan membuka kesempatan
kerja di tengah tingginya angka pengangguran.
Sudah saatnya pemahaman mengenai alih daya
diluruskan. Negara lain, seperti India dan China, menikmati lezatnya kue
business process outsourcing dari
mancanegara. Bahkan, di Filipina, alih daya menempati peringkat pertama pemberi
kesempatan kerja dibanding unit pekerjaan lainnya. Indonesia baru menjalankan
usaha alih daya dalam skala amat kecil, padahal kesempatan terbuka luas untuk
mendapat pekerjaan dari luar negeri.
Kuncinya, para pejabat pemerintah, pengurus
Kadin, dunia usaha, dan para duta besar kita serempak mencari pekerjaan untuk
dilaksanakan di Indonesia. Pekerjaan seperti teknologi informasi, animasi film,
input data, atau proses administrasi dapat dilakukan di Indonesia.
Lindungi Hak Pekerja
Tuntutan agar hak-hak pekerja alih daya
dilindungi sangat wajar dan harus didukung penuh. Memang benar pelaksanaan alih
daya di Indonesia banyak yang salah kaprah karena peran pemerintah dalam mengawal
pelaksanaan alih daya masih lemah. Jumlah tenaga kerja yang melimpah tidak
sebanding dengan pekerjaan yang ada, ditambah dengan kurangnya tenaga kerja
yang kompeten sehingga posisi tawar pekerja rendah.
Hal ini diperparah mental pengusaha yang mau
enaknya saja, hanya mau memakai tenaga pekerja tanpa memperhitungkan
kesejahteraannya. Oleh sebab itu, menjadi tujuan kita bersama, termasuk peran
pengusaha untuk menghapus praktik pelaksanaan alih daya yang tidak benar.
Putusan MK nomor 27/PUU/ IX/2011 yang bertujuan
memperjelas perlindungan tenaga kerja alih daya malah memperkeruh suasana.
Putusan ini harus ditindaklanjuti dengan pengaturan di lapangan agar jelas
siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan bekerja pekerja
tersebut.
Apakah kelangsungan bekerja tidak dikaitkan
dengan lamanya masa kerja yang berdampak terhadap hak mendapatkan pesangon jika
terjadi PHK? Sangat disayangkan Putusan MK menyamaratakan semua kasus dan
menjadikan kasus pencatat meter sebagai rujukan pelaksanaan alih daya semua
pihak. Padahal, pelaksanaan alih daya yang baik dan taat hukum masih banyak.
Putusan MK—yang bertujuan menghapus praktik
alih daya yang salah—ini tidak tepat sasaran, sebab banyak perusahaan alih daya
abal-abal yang tidak berbadan hukum, tidak mempunyai alamat jelas, bahkan tidak
ada perjanjian tertulis. Mereka masih bebas melakukan praktik alih daya yang
salah.
Putusan MK yang tidak memperhatikan
keterangan dari pihak pengusaha ataupun asosiasi perusahaan alih daya agar
fakta berimbang, dalam pelaksanaannya akan memunculkan ketidakpastian hukum.
Apa yang dimaksud dengan jaminan kelangsungan bekerja? Apakah yang penting
adalah terus-menerus bekerja walaupun perusahaan pemenang tender berbeda tanpa
memperhatikan masa kerja?
Jika ”ya” berarti adanya kepastian terhadap
kelanjutan bekerja, tetapi tidak ada kepastian terhadap pesangon dan siapa yang
membayarkan.
Dalam pelaksanaan alih daya yang baik dan
benar sebetulnya tidak akan dimungkinkan praktik pemotongan gaji, bekerja tanpa
perlindungan Jamsostek, upah di bawah UMR, atau bekerja terus- menerus tanpa
kontrak kerja tertulis. Namun, pelaksanaan alih daya sesuai peraturan harus
diawasi secara ketat melalui mekanisme evaluasi dan audit yang sudah diatur
jelas dalam Service Level Agreement.
Pelaksanaan alih daya harus meningkatkan
peran pemerintah dalam pengawasan dan berdasarkan standar regulasi di tingkat
pusat dan daerah. Diperlukan pengawas yang mempunyai sertifikat kompetensi.
Sudah menjadi rahasia umum, petugas negara
yang menangani ketenagakerjaan banyak yang berasal latar belakang agama,
pariwisata, atau perdagangan. Masa kerja mereka di dinas tenaga kerja
pemerintah daerah juga pendek karena terkait jabatan bupati atau gubernur. Hal
ini membuat pengawasan di lapangan menjadi tidak efektif.
Tindak Tegas
Pemerintah harus menindak tegas praktik yang
mengatasnamakan alih daya dalam bentuk premanisme atau dilakukan tanpa memakai
perusahaan yang berbadan hukum. Peran Tripartit Nasional dapat dilibatkan untuk
menjadi ujung tombak menyelesaikan masalah.
Rencana pemerintah membatasi pelaksanaan alih
daya hanya pada 5 area: usaha pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi
pekerja buruh, tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan,
serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh adalah hal yang contra productive.
Bagaimana membatasi pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada pihak ketiga hanya di lima area. Jika alih daya dibatasi,
semua kegiatan dari hulu ke hilir harus dilakukan semua oleh perusahaan besar.
Hal ini menutup kesempatan perusahaan kecil ambil bagian dalam melaksanakan
sebagian pekerjaan. Padahal, alih daya mendorong semangat kewirausahaan dan
berkembangnya perusahaan lokal.
Jangan dilupakan nasib ribuan perusahaan alih
daya yang mempekerjakan jutaan orang. Kebanyakan mereka adalah perusahaan kecil
menengah yang kalau ditutup akan menimbulkan persoalan baru lagi. Domain
pemerintah adalah mengatur dan melindungi hak-hak pekerja yang berkaitan dengan
tenaga kerja, seperti upah, jam kerja, dan jaminan sosial, bukan mengatur ”core dan noncore”.
Domain Pengusaha
Pengusaha bersama dengan industrinya (seperti
bank) yang menentukan core dan noncore dengan membuat alur proses
produksi dan skema hubungan kerja sama yang melindungi hak pekerja. Hal ini
akan menciptakan suatu standar aturan main yang tegas sehingga pelaksanaan alih
daya lebih mudah diawasi. Dengan demikian, perusahaan alih daya dapat berbenah
diri, taat hukum, dan meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Rencana penerapan izin bagi penentuan core
dan noncore di pemerintah daerah
sebaiknya tetap di bawah Kemenakertrans, mengingat sosialisasi dan pengawasan
sudah berjalan. Yang perlu dicermati jangan sampai ini memperpanjang mata
rantai birokrasi dan rentan berbagai pungutan liar di daerah.
Pelaksanaan alih daya juga harus
berkesinambungan karena kita sudah masuk kancah global. Pemerintah harus dapat
memastikan bahwa semua regulasi dapat diimplementasikan, bukan menimbulkan
polemik di lapangan, apalagi mengadu domba pekerja dengan pengusaha demi
kepentingan sesaat.
Tanpa itu semua, akan banyak pengusaha yang
enggan menggunakan tenaga kerja. Mereka akan memilih usaha trading atau
perdagangan atau melakukan mekanisasi. Jelas ini akan merugikan bangsa,
terutama generasi muda kita.
Sekali lagi, pelaksanaan alih daya bukan
untuk mencari upah murah, melainkan agar fokus pada bisnis inti dan menyerahkan
sebagian pekerjaan pada pihak ketiga yang lebih kompeten.
Dengan fokus pada bisnis inti produktivitas
meningkat dan dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan. Begitu juga dengan
perusahaan alih daya, mereka menjadi mitra usaha berdasarkan kompetensi dan
produktivitas, bukan upah murah.
Iuran pesangon dirumuskan oleh badan
independen agar dapat memenuhi hak pekerja jika tidak dapat melanjutkan
hubungan kerja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar