Kamis, 10 Juni 2021

 

Serangan Balik Kenaikan PPN

Enny Sri Hartati  ; Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance

KOMPAS, 08 Juni 2021

 

 

                                                           

Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2022. Argumennya tentu untuk kembali mengenjot penerimaan negara guna pembiayaan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Apalagi realisasi penerimaan pajak 2020 terkontraksi 19,7 persen, hanya mencapai Rp 1.070 triliun. Sementara pemerintah tidak mungkin terus melebarkan defisit dengan menambah utang. Pasalnya, defisit anggaran 2020 sudah mencapai 6,09 persen atau Rp 956,3 triliun dengan tambahan utang Rp 1.227,8 triliun.

 

Demikian juga defisit anggaran 2021 diperkirakan 5,7 persen atau Rp 1.006,4 triliun, dengan tambahan utang 1.177,4 triliun. Akibatnya posisi utang Pemerintah per April 2021 sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

 

Karenanya Pemerintah berencana membatasi defisit APBN 2022 dikisaran 4,51-4,85 persen. Konsekuensinya tentu harus mampu menaikkan penerimaan negara. Apalagi pemerintah mendapatkan justifikasi, tarif PPN Indonesia masih 10 persen, sementara rata-rata tarif PPN Asia 12 persen dan dunia 16 persen.

 

Padahal, sistem dan konsep pengenaan PPN antar negara berbeda-beda, sebagian dikenakan hanya pada produk akhir atau pajak penjualan. Tentu juga diikuti oleh administrasi yang baik dengan pola rantai pasok dan distribusi yang efisien.

 

Sementara PPN di Indonesia mengikuti sistem pertambahan nilai pada setiap rantai nilai produksi dan rantai distribusi yang panjang. Alhasil sekalipun tarif PPN hanya 10 persen, namun terkena PPN secara bertubi-tubi, sehingga konsumen atau pembeli membayar jauh lebih mahal.

 

Secara kalkulasi, kenaikan PPN secara ad hoc dapat berpeluang menaikkan penerimaan negara. Namun belum tentu akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Buktinya kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB selama 2020 hanya mentok di angka 9,29 persen. Juga dengan pangsa atau share terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 0,15 persen. Padahal Pemerintah sudah melipatgandakan pengeluaran dengan pembiayaan defisit lebih dari 6 persen. Namun sisa anggaran atau Silpa 2020 masih Rp 234,7 triliun.

 

Apalagi, jika kenaikan pengeluaran pemerintah yang tidak efektif sebagai stimulus fiskal justru menambah beban pelaku usaha. Ibarat pepatah jawa “mburu uceng (ngejar ikan kecil) tapi kelengan deleg (kehilangan ikan besar), yang menjadi determinan utama pertumbuhan ekonomi.

 

Kondisi Terbalik

 

Pemerintah berdalih akan membuat kebijakan PPN multitarif, yaitu mengenakan perbedaan pajak untuk jenis barang yang berbeda. Misalnya tarif PPN barang mewah yang dikonsumsi orang kaya dikenakan PPN lebih tinggi. Sedangkan untuk barang kebutuhan pokok dengan PPN lebih rendah. Terdapat beberapa persoalan yang membuat komitmen tersebut menjadi tidak cukup realitis dan tidak mampu diimplementasikan.

 

Pertama, kontribusi terbesar dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga berasal dari kelompok menengah atas. Itulah sebabnya Pemerintah justru memberikan relaksasi dengan menurunkan PPnBm untuk kendaraan bermotor dan properti, bukan menurunkan tarif PPN untuk berbagai barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

 

Kedua, selama ini kontributor utama penerimaan PPN berasal dari pengeluaran masyarakat kelas menengah, yaitu sekitar 43 persen. Dengan sendirinya pemerintah pasti akan menjaga agar konsumsi kelompok ini tidak menurun gara-gara kebijakan kenaikan PPN. Apalagi kelompok kelas menengah di Indonesia sebagian besar berada pada level menengah titik bawah, yaitu dengan kisaran penghasilan 5-6 dollar per hari. Pengeluaran kelompok ini masih sangat elastis terhadap kenaikan harga barang.

 

Ketiga, penetrasi produk impor murah. Peringkat daya saing Indonesia tahun 2020 melorot 8 peringkat dari 32 menjadi 40. Hal ini terlihat jelas imbasnya dengan tersingkirnya berbagai produk dalam negeri dari persaingan di pasar. Berbagai produk impor murah telah menjadi predator dan membuat konsumen semakin jatuh cinta pada produk impor. Pasalnya sebagai dampak dari perjanjian perdagangan bebas, maka berbagai produk impor bebas bea masuk maupun PPN. Tentu jika PPN justru dinaikkan maka akan semakin mempercepat kepunahan produk dalam negeri dari pasar.

 

Keempat, menghambat program reindustrialisasi. Berbagai program industri substitusi impor, hilirisasi industri dan industri padat karya semakin terganggu. Kenaikan PPN tentu membuat berbagai produk substitusi impor tidak akan menarik. Termasuk investasi di sektor industri hilir dan padat karya semakin tidak efisien. Jika hal ini yang terjadi, maka tambahan kenaikan PPN justru tidak mampu mengompensasi hilangnya potensi penerimaan pajak karena adanya deindustrialisasi. Walhasil penerimaan negara justru berpotensi  mengalami kemerosotan.

 

Kelima, menggerus daya beli masyarakat. Kenaikan PPN sudah dapat dipastikan menyedot kantong masyarakat. Berbagai kenaikan biaya produksi tentu langsung ditransfer menjadi kenaikan berbagai harga produk. Di tengah lemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga produk menjadi sangat rentan terhadap pemulihan konsumsi rumah tangga. Kenaikan PPN dipastikan akan menggerus daya beli pada semua lini kelompok pendapatan masyarakat.

 

Beberapa studi memperkirakan peningkatan 1 persen tarif PPN dapat menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sekitar 0,3 hingga 0,5 persen. Artinya berpotensi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi lebih besar lagi mengingat konsumsi rumah tangga merupakan determinan utama pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya dihitung dari kontribusi langsung yang mencapai lebih 56 persen, namun efek lanjutan penurunan konsumsi rumah tangga pasti juga memicu anjloknya investasi. Pasalnya, sekitar 80 persen produksi memiliki orientasi pasar di dalam negeri.

 

Keenam, kenaikan tarif pajak berpotensi menurunkan kepatuhan dari wajib pajak. Berbagai kasus moral hazard perpajakan terjadi karena upaya penghindaran para wajib pajak dengan berkolusi dengan petugas pajak. Apalagi jika Pemerintah sekaligus mewacanakan akan ada lagi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tentu kedisiplinan wajib pajak semakin kendor.

 

Langkah Bijak

 

Dengan terbatasnya kontribusi stimulus fiskal pemerintah di dalam perekonomian, mestinya pemerintah menempuh strategi yang lebih realistis. Upaya menekan defisit anggaran, tidak selalu berarti harus menggenjot penerimaan negara. Apalagi pada saat dunia usaha masih dalam kondisi pemulihan sebagai dampak tekanan pandemi. Mestinya, justru memprioritaskan upaya optimalisasi anggaran melalui efisiensi dan efektivitas anggaran.

 

Utamanya fokus pada alokasi anggaran yang produktif sehingga berdampak terhadap sektor-sektor riil yang menciptakan lapangan kerja. Bukan justru mengalokasikan anggaran yang fantastis untuk sektor ketertiban dan pertahanan.

 

Disamping itu, sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam (SDA), mestinya peluang penerimaan negara tidak hanya bergantung dari pajak. Sayangnya justru penerimaan bukan pajak (PNPB), terutama yang berasal dari penerimaan SDA justru semakin merosot. Total PNBP 2020 hanya mencapai Rp 343,9 triliun, antara lain dari SDA non migas Rp 28,2 triliun, Minerba Rp 21,2 triliun, SDA kehutanan Rp 4,4 trilun, SDA perikanan Rp 0,6 triliun, SDA Panas bumi 2 triliun. Melihat angka-angka tersebut tentu terasa kontras dibandingkan dengan dampak kerusakan lingkungan dari berbagai eksploitasi SDA tersebut. Belum lagi jika dibandingkan dengan luasnya hutan dan perikanan Indonesia.

 

Disamping penerimaan SDA, ratusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mestinya juga mampu menyumbang laba. Apalagi, melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah telah menyalurkan Rp 121,73 triliun. Nyatanya total deviden BUMN 2020 hanya sebesar 44,6 triliun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar