Rabu, 23 Juni 2021

 

BTS Meal, Sensasi atau Ironi?

A Windarto ;  Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS, 20 Juni 2021

 

 

                                                           

Menarik bahwa kerumunan akibat transaksi jual beli BTS Meal di gerai McDonald’s telah menciptakan kekacauan. Pasalnya, peristiwa itu terjadi di tengah pandemi dan tanpa sepengetahuan dari pihak-pihak yang berwenang terhadap penanganan pandemi. Maka, selain patut diberi peringatan, peristiwa itu juga perlu dicatat sebagai momentum untuk mewaspadai dengan jeli wajah dari masyarakat konsumsi di masa kini.

 

Pertama, penting untuk dicatat bahwa kerumunan bukan hadir secara tiba-tiba atau jatuh dari langit. Itu artinya, hal itu merupakan bagian dari rekayasa sosial yang dihadirkan untuk menenun dan menebar jaring-jaring kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.

 

Oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul The Interpretation of Cultures (1973), kenyataan itu diterangkan seperti jaring laba-laba yang diciptakan dan memerangkap sendiri penciptanya. Itulah mengapa kerumunan yang tercipta di gerai McDonald’s menghasilkan dilema dalam masyarakat konsumsi yang membuat kepentingan dari komoditas global dapat tertutupi atau tersamarkan di balik identitas tanpa wajah bernama kerumunan.

 

Kedua, hal dan masalah di atas mirip dengan apa yang oleh Goenawan Mohamad pernah kaji dengan jeli dan waspada tentang selebritas (Tempo, 10/2/2013). Pada tataran ini, hal itu boleh dibilang sebagai akibat dari pengaruh media komunikasi massal modern, khususnya dalam industri film dan teknologi fotografi.

 

Intinya, selebritas diciptakan pada pertengahan abad ke-20 dan telah menghadirkan apa yang disebut sebagai para penonton, pendengar, dan pembaca. Mereka adalah massa yang sehari-hari tak pernah berjumpa, saling kenal, apalagi bertegur sapa, terutama dengan para aktor/aktris yang menjadi tokoh-tokoh penting di media massa.

 

Maka, masuk akal jika sebagai orang kebanyakan, wajahnya tak punya riwayat. Karena itulah, mereka praktis ada dalam penjara budaya massa yang membuat segalanya, termasuk promo komoditas McDonald’s yang menjajakan selebritas salah satu band termahsyur dari Korea Selatan, layak untuk diserbu dan dikonsumsi.

 

Ketiga, promo komoditas dengan nama BTS Meal di atas yang di mata sebagian besar konsumen dianggap mampu menghadirkan sensasi, sesungguhnya lantaran ada yang merekayasanya secara kultural. Khususnya melalui ”tangan-tangan tak kelihatan” (the inivisible hands) dari para pekerja media massa, apa/siapa pun dapat menjadi tontonan, pajangan atau pameran yang berdaya pukau sedemikian menggairahkan, meski sudah tampak koyak dan boyak (hambar).

 

Jadi, gairah terhadap komoditas yang membuat orang mudah larut dalam kekaguman dan siap menanggung segala risikonya itulah yang mendorong dan membentuk kerumunan di sekitar gerai McDonald’s. Namun, masalahnya kenyataan itu justru memperlihatkan ironi yang sedemikian tajam, signifikan, dan relevan dari apa yang disebut sebagai budaya massa. Sebab, di sanalah sesungguhnya segalanya siap untuk dikorbankan, termasuk melepas apa yang menjadi miliknya sendiri.

 

Dari ketiga catatan di atas, tampak bahwa peristiwa di atas dimungkinkan terjadi bukan oleh rasa penasaran atau pemujaan berlebihan, khususnya dari para Army. Namun, terlebih karena McDonald’s masih mampu menjadi panggung untuk menyuarakan apa yang disebut sebagai kepentingan dari masyarakat konsumsi yang pada dasarnya gemar untuk berkerumun.

 

Di panggung itulah, mereka seakan-akan telah menemukan sosok yang mampu menjadi penyambung lidah dan suaranya. Meski pada sosok itu yang terlihat sebenarnya hanyalah ”diri” yang tanpa aura, tanpa gelora, bahkan tanpa subyek, tetapi di sanalah mereka justru mendapatkan saat dan tempat yang tepat untuk selalu dapat berakrobat seperti dalam atraksi tong setan yang berputar-putar dari bawah ke atas dan begitu terus selamanya.

 

Membosankan memang. Namun, di situlah kebanyakan orang sudah merasa terhibur asal dikerjakan dengan tekun dan rapi tanpa perlu mengumbar banyak kata. Maka, tak heran jika di panggung itu pada intinya tak ada rasa kehilangan, apalagi duka dan ratapan. Karena segalanya telah direkayasa untuk dijadikan perayaan akan bertahannya budaya massa yang seakan-akan abadi sepanjang segala masa. Budaya yang selalu mampu beradaptasi dalam dunia industri dan tidak akan mudah punah ini telah menjadi ”selendang” bagi massanya.

 

Dengan cara itulah, massa tetap punya alat atau media untuk menggendong keyakinannya yang tidak mudah untuk digoyahkan dengan pengetahuan apa pun juga. Keyakinan yang mampu membuat orang banyak terpukau adalah instrumen yang paling menentukan secara teknis. Karena mereka hanya perlu dituntun dan, jika perlu, dituntut dengan konstruksi ”diri” di panggung yang dihadirkan oleh McDonald’s.

 

Maka, bukan kebetulan jika kerumunan itu menjadi layak untuk diberitakan di media massa. Bukan masalah penting dan mendesaknya, tetapi lantaran hal itu lebih ”bernilai” di hadapan kamera, alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis. Nilai itulah yang saat ini menjadi ukuran di mana-mana meski mudah usang dan dibuang kapan pun dan di mana pun.

 

Hal itu senada dengan yang pernah diujarkan oleh Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS yang pintar dan tersohor, bahwa menjadi selebritas adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebab, ketika menjadi selebritas, semakin membosankan justru semakin layak untuk dikenang dan diabadikan. Jadi, kerumunan yang bikin resah dan gelisah sesungguhnya hanyalah rekayasa yang juga kerap ditampilkan di depan media massa.

 

Dengan kata lain, mereka adalah panggung yang di masa lalu digemari juga oleh Hitler dan Mussolini. Dua tokoh historis yang mampu menggemparkan dunia karena ramai-ramai telah diubah untuk menjadi pemimpin yang estetis secara politik. Singkatnya, pemimpin yang mampu membuat khalayak sedemikian terpukau lantaran ”sang juara, sang bintang, dan sang diktator” justru jadi pemenangnya.

 

Alih-alih di tengah pandemi yang tampak belum usai ini, peringatan dan catatan di atas diharapkan dapat menjadi pembuka mata dan telinga bagi siapa pun, termasuk para pemimpin di masa kini, agar dapat semakin peka dan tajam dalam menangkap dan menyuarakan kepentingan dalam hidup bersama. Kepentingan yang bukan sekadar demi mengamankan aset-aset produksi dan/atau industri, melainkan juga keselamatan rakyat yang selama ini nasibnya kerap terbuang dari pikiran. ●

 

1 komentar:

  1. sepertinya fenomena alam, just kidding , entah apa yang bisa membuat generasi sekarang tergila gila hingga menyebabkan kehebohan di berita berita waktu lalu. Media bisa digunakan untuk hal positif dan negatif dan kebanyakan dijadikan untuk ajang pamer karena tuntutan sosial media, jika mereka Belajar Bahasa Inggris dan Produk yang Dijual tak ada bedanya Chicken Nugget dan BTS Meal di jual waktu lalu perbedaanya hanya dari segi Packaging Makanan semoga generasi sekarang punya tujuan yang lebih jelas dibanding termakan oleh media dan trend yang tidak jelas.

    BalasHapus