Minggu, 12 Juni 2016

”Reality Show”

”Reality Show”

Budiarto Shambazy ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                         KOMPAS, 11 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jujur saja, sampai hari ini nyaris tak ada berita politik yang lebih seksi dibandingkan dengan berita tentang Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Fenomena ”Ahokmania” mungkin telah menyaingi ”Jokowimania” beberapa tahun lalu.

Padahal, pemilihan gubernur (pilgub) DKI baru akan berlangsung tahun depan. Namun, hebohnya sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir dan sampai saat ini. Ketegangan itu, termasuk pengumpulan fotokopi KTP oleh Teman Ahok untuk memenuhi persyaratan mengikuti pilkada dari jalur perseorangan, diperkirakan akan makin meningkat sampai pelaksanaan pilgub pada Februari 2017.

Sepak terjang Basuki di media massa selalu cepat diperbarui dan bertalu-talu selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Jangan tanya bagaimana di media sosial, Anda pasti tidak ketinggalan mengikuti isu demi isu secara saksama.

Kita sudah lama memasuki era reality show. Istilah ini merujuk pada program televisi yang menyajikan kehidupan sehari-hari tokoh publik atau selebritas terkenal.

Kini, Basuki jadi pemeran utama reality show yang mungkin berjudul Ahokmania. Para pemeran pembantunya berderet, antara lain para bakal calon gubernur, sejumlah ketua umum partai politik, politisi kunci di DPRD DKI, Komisi Pemberantasan Korupsi, perusahaan-perusahaan pengembang, dan Teman Ahok.

Jika reality show ini berlangsung sekali sepekan, skenario atau plotnya berjibun sehingga sutradara enak menggantinya dengan cepat. Pekan ini, ceritanya soal dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras, pekan depan misteri reklamasi, pekan berikutnya rumor penggusuran Masjid Luar Batang, dan seterusnya.

Reality show ini penuh konflik, suspense, dan kadang juga fitnah yang memecah. Oleh sebab itulah, ia menciptakan keterbelahan antara ”Ahok lovers” atau ”Ahokers” melawan para ”haters”.

Suka atau tidak, memang muncul anggapan bahwa Basuki masuk dalam kategori figur yang cenderung memecah belah dukungan secara tajam. Ibaratnya, ia mudah berteman, tetapi gampang pula membuat musuh.

Dalam pemahaman Ahokers, Basuki hanya ingin bekerja sebaik-baiknya untuk warga Ibu Kota. Sebaliknya, para haters juga tak keliru ketika melihat dengan attitude problem yang diperlihatkan Basuki, terutama lewat mulutnya.

Dan, sebenarnya Ahokers ataupun haters meributkan hal-hal yang membuat pusing tujuh keliling publik awam. Tak banyak warga Jakarta yang paham diskresi atau kontribusi tambahan yang berkaitan dengan reklamasi pantai utara Jakarta.

Warga lebih memperhatikan ternyata pada musim hujan kali ini Jakarta yang tidak lagi kebanjiran. Setidaknya, genangan air di sejumlah tempat hilang dalam beberapa jam saja dibandingkan pada masa lalu yang bisa berhari-hari.

Tak ada lagi wartawan televisi yang nyemplung ke dalam banjir sambil melaporkan kondisi kekinian dengan embel-embel ”Breaking News”. Juga jarang terlihat pula perahu-perahu karet yang masuk ke permukiman miskin untuk mengungsikan warga yang sakit atau uzur.

Dan, jujur saja, ke mana pun Anda pergi, Ibu Kota relatif telah bersih. Ini semua berkat kerja keras pasukan oranye dan juga berkat ketua RW/RT yang memanfaatkan aplikasi Qlue untuk melaporkan kondisi lingkungan masing-masing.

Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu prestasi Basuki, juga Jokowi sebagai gubernur, yang telah dinikmati oleh warga Jakarta. Oleh sebab itu, sejumlah survei memperlihatkan, sampai saat ini Basuki memiliki kemungkinan terpilih kembali memimpin Ibu Kota untuk periode 2017-2022.

Ini semua menguak sebuah fakta positif tentang demokrasi kita yang terhitung baru lahir tahun 1998. Ternyata demokrasi kita tak lagi sekadar prosedural dan terkonsolidasi, tetapi juga mulai berkualitas.

Kualitas yang dimaksud adalah prestasi sejumlah pemimpin, dalam hal ini kepala daerah, dalam membenahi kabupaten/kota dan provinsi masing-masing. Dan, ternyata, respons publik semakin hari semakin apresiatif terhadap para pemimpin masing-masing.

Publik tidak lagi seperti obat nyamuk yang lebih banyak bengong saja mengikuti kemauan pemimpin mereka seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Publik secara perlahan-lahan menikmati kualitas demokrasi tersebut dengan kesadaran akan hak-haknya dan, tentu saja, kewajiban-kewajibannya sebagai warga yang baik.

Tidak ada lagi fenomena publik yang too dumb to be governed karena para pemimpin tidak lagi too dumb to govern. Oleh sebab itu, nikmati saja reality show sekali sepekan yang berjudul Ahokmania itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar