Selasa, 12 April 2016

"Quo Vadis" Pendidikan Pascasarjana?

"Quo Vadis" Pendidikan Pascasarjana?

Sulistyowati Irianto ;  Ketua Program Pascasarjana Multidisiplin
Universitas Indonesia
                                                        KOMPAS, 11 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Merespons Syamsul Rizal (Kompas, 10/3), tulisan ini  akan menjawab mengapa "perlakuan khusus" yang diberikan kepada sejumlah perguruan tinggi negeri tidak kunjung menempatkannya sebagai unggulan,  bahkan di tingkat Asia sekalipun. Masalahnya terletak pada bagaimanakah berbagai kebijakan pemerintah memosisikan universitas terkait bidang akademik dan tata kelola.

Perlakuan khusus kepada sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) harus dibaca dalam kerangka otonomi universitas, bukan perbedaan perlakuan semata. Implementasi gagasan otonomi memang dimulai dari mengidentifikasi PTN yang dipersyaratkan memiliki kemampuan dan daya saing. Selanjutnya, secara bertahap, status PTN otonom akan diberikan kepada universitas lain yang menyatakan kesiapan. Namun, mengapa PTN dengan status otonom pun tak kunjung memperlihatkan prestasinya yang spektakuler?

Bagian penting dari universitas yang memiliki potensi dan kapasitas menghasilkan karya bermutu adalah pendidikan pascasarjana. Universitas ternama di negara maju justru lebih berkonsentrasi membesarkan pascasarjananya karena di sanalah para profesor dan mahasiswa doktor memiliki kesempatan seluas-luasnya bekerja sama menghasilkan riset dan produksi ilmu pengetahuan.

Tidak mengherankan, intensitas artikel jurnal yang tinggi, temuan sains dan teknologi, penghargaan bergengsi dan penting bagi kesejahteraan masyarakat lahir dari sivitas pascasarjana. Pendanaan penelitian di pascasarjana berasal dari negara ataupun industri yang berkepentingan mendapatkan temuan terbaik dari universitas dalam bidang sains, teknologi, sosial, dan humaniora.

Di Indonesia, prioritas pendidikan diletakkan pada S-1, termasuk subsidi pemerintah (bantuan operasional PTN), hanya ditujukan bagi mahasiswa S-1. Kebijakan ini diartikan pejabat universitas bahwa memang tugas utama universitas otonom  adalah menyelenggarakan S-1, suatu anggapan keliru dalam menerjemahkan otonomi universitas.

Pembiaran terhadap pascasarjana, "nirsubsidi",  menyebabkan pendidikan pascasarjana harus membiayai hidupnya sendiri. Akibatnya, universitas "terpaksa" menjadikan pendidikan pascasarjana sebagai komoditas, mendirikan cabang di kota lain, dan mendapatkan mahasiswa yang mampu membayar.

Mahasiswa yang bertujuan mencari gelar jauh lebih banyak daripada yang kasmaran kepada riset dan produksi ilmu pengetahuan. Para dosen pun bertujuan sama: mendapatkan tambahan penghasilan dengan mengajar di pascasarjana di waktu luang sesudah mengajar S-1. Pendidikan pascasarjana tak ubahnya lapak untuk mencari uang atau status bagi profesional yang mengajar cuma sesekali. Alhasil pendidikan pascasarjana berhenti sebagai universitas pengajaran, bukan universitas riset.

Paradoks

Di sisi lain, pemerintah memilih cara yang paling gampang untuk mengatur pendidikan pascasarjana atas nama jaminan mutu dan prestasi, yaitu membuat semakin banyak peraturan. 

Pertama, keharusan berprestasi dengan ukuran satu-satunya produksi artikel jurnal terindeks Scopus. Tanpa itu dosen tidak bisa naik pangkat atau  jadi guru besar. Prestasi akademik dipahami sebatas  perintah administatif, bukan hakikat terbangunnya budaya akademik dan penelitian.

Kedua, keharusan memiliki dosen tetap yang berpangkal pada program studi (prodi). Setiap prodi S-1, S-2, dan S-3 harus memiliki dosen tetapnya sendiri bergelar doktor atau guru  besar minimal enam orang. Padahal, saat ini, universitas, fakultas, dan prodi mana pun di Indonesia  kekurangan doktor dan guru besar. Ukuran mutu ditetapkan lebih pada ketersediaan kuantitas dosen tetap di setiap prodi ketimbang prestasi dan capaian dosen di tingkat universitas.

Ketiga, setiap universitas, demikian pula pascasarjana, memiliki identitas tradisi keilmuan yang unik karena kesejarahan, konteks masyarakat, dan geografis yang beragam. Dalam perspektif otonomi universitas seharusnya keragaman ini diakomodasi. Namun, atas nama  "jaminan mutu" semuanya diseragamkan.  Rigiditas penilaian administratif ini diamini oleh pejabat universitas, sungguh pun bisa mematikan pendidikan pascasarjana.

Otonomi semu

Kelemahan paling serius adalah kebijakan pemerintah yang tidak memungkinkan universitas memiliki basic research, yaitu penelitian jangka panjang, dilakukan kolaboratif oleh ilmuwan lintas disiplin ilmu, didukung dana hampir tidak terbatas, dan tidak dibebani urusan administratif. Ketidakmampuan memberdayakan ilmuwan sendiri mengakibatkan kita, konsumen, yang membeli produk  riset sains dan teknologi dari negara lain.

Ruang otonomi universitas yang dijamin undang-undang itu dalam kenyataannya tidak terjadi. Pemerintah sangat ketat meregulasi hampir semua sendi: nomenklatur dan batas ilmu yang  boleh diajarkan dan bagaimana cara mengajar. Dalam penelitian, dosen lebih takut kepada urusan kuitansi daripada kerja penelitiannya sendiri.

Konsekuensi otonomi akademik adalah tata kelola universitas yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas. Namun, rezim keuangan negara  menyamakan universitas dengan kantor jawatan pemerintah. Penyelenggaraan keseharian pendidikan terkendala administrasi. Pengadaan dan pemeliharaan peralatan laboratorium, perpustakaan, dan berbagai kegiatan ilmiah tak luput dari prosedur menjelimet karena takut audit  BPK. Begitulah transparansi dan akuntabilitas universitas dijalankan.

Ketika  negara baru mampu  membiayai sebagian kebutuhan universitas dan melakukan pembiaran terhadap pendidikan pascasarjana, seketat itu negara  mengontrol, seolah-olah  para akademisi bukan orang yang layak dipercaya. Industri juga tak mendukung pendanaan universitas. Bukannya membangun sinergi dengan universitas yang ada,  banyak perusahaan malah membuat universitas sendiri.

Ketika ilmuwan kita masih berkutat dengan soal-soal administratif, repertoar ilmu pengetahuan global sudah menghasilkan berbagai temuan spektakuler yang mengubah dunia dan cara berpikir. Dari cara berilmu seperti itu, lahirlah banyak kreativitas, inovasi, dan kemajuan peradaban manusia. Artikel terindeks Scopus dan peringkat dunia datang dengan sendirinya.

Dalam situasi itu, bagaimana para ilmuwan kita bisa berkarya menembus ranking dunia? Tampaknya Revolusi Mental Joko Widodo  harus sampai kepada cara melihat universitas dan pendidikan pascasarjana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar