Pertarungan Antarsopir Taksi Belum Selesai
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 29 Maret
2016
Gerak cepat Menkopolhukam mengatasi konflik para sopir taksi
patut diapresiasi. Sejumlah keputusan yang membuat industri jasa layanan
transportasi kaum urban ini tersumbat, pun sudah ditemukan.
Memang, sebelum menjewer operator yang bandel, pemerintah yang
bijak memeriksa business process
yang terjadi, dan menjewer aparatur birokrasinya bila terkesan
"mempersulit".
Namun kalau kita sisir jauh ke dalam, maka masih banyak
pekerjaan rumah penyederhanaan birokrasi yang harus dilakukan. Apa yang
diatasi hari ini barulah seperempat dari masalah besar yang masih akan
menghantui para pengemudi taksi konvensional dan persaingan.
Tanpa memahami proses bisnisnya sendiri dalam soal perijinan dan
kelambatan kita menciptakan pemerintahan yang efisien, dapat dipastikan
pertarungan antarmazhab sopir taksi ini masih belum selesai. Sebab muaranya
adalah ancaman kesejahteraan pengemudi, bukan operator.
Kalau solusinya memaksa agar pelaku sharing economy mengikuti aturan taksi konvensional, maka jelas
esensi perubahan belum ditangkap. Level
of playing field-nya sama, tetapi pelanggan sudah tak rela membayar
inefisiensi.
Inefisiensi bisa terjadi karena aturan yang belum menjawab
kebutuhan zaman, belum smart government;
namun bisa juga karena desain bisnis korporasi yang kurang fit dengan
tuntutan baru pelanggannya.
Downshifting (perpindahan pasar) masih akan terus terjadi. Dan kesejahteraan
pengemudi taksi konvensional masih menghadapi batu ujian yang besar.
Mari kita pelajari.
Teknologi Analitik
Beberapa tahun belakangan ini ada banyak mahasiswa Indonesia
yang belajar ke luar negeri mendalami ilmu analitik dan big data.
Sekembalinya ke tanah air, mereka jadi rebutan sejumlah start
up. Teknologi yang tersedia kini mampu mengolah data populasi (bukan lagi sample) secara lebih akurat sampai
memetakan perilaku riil konsumen dari menit ke menit.
Mereka jadi tahu demand yang tinggi itu ada dimana, pada jam-jam
berapa saja dan berapa biaya yang bersedia dibayar pelanggan. Dengan begitu
pasar tak ada yang terbuang. Semua permintaan bisa diambil asal ada akses, tools dan pasokannya.
Grabcar misalnya, tumbuh menjadi cepat bukan semata-mata karena
aplikasi, melainkan karena mereka memiliki strategic weapon untuk meneropong
pasar dan mengerahkan suplai seketika ada demand.
Untuk menangkap semua itu, mereka menguasai ilmu manajemen tingkat
tinggi, menyisir "lemak-lemak" yang membuat organisasi inefisien
dan malas bergerak.
Setangkas cheetah mengejar rusa, dengan analitik yang kuat
mereka menyisir pasar. Memantau kepadatan lalu lintas melalui satelit.
Jabodetabek mereka bagi menjadi puluhan titik. Maka mazhab
penetapan harga pun berubah.
Dari putaran roda (argometer yang biasa dipakai taksi
konvensional), ke hukum supply-demand
karena keduanya berubah dari detik ke detik. Mereka tahu konsumen bersedia
membayar lebih dalam situasi tertentu kalau diberitahu sebelum perjalanan
dimulai.
Pada jam-jam tertentu di area tertentu harga boleh lebih mahal,
karena konsumen butuh, sementara taksi konvensional sedang tak ada. Itulah
esensi konsumen di kota besar. Butuh akses pada tempat, harga dan waktu yang
tepat.
Dengan begitu harga bergerak fleksibel. Demikian pula saat
demand turun, harga pun turun. Sementara taksi konvensional terikat regulasi
tarif batas bawah yang melarangnya menurunkan harga kala demand turun.
Padahal jasa tak bisa disimpan, dan suplpy-demand di kawasan
urban kini berubah- ubah dalam hitungan detik, bukan bulan atau tahun, juga
bukan semata-mata karena perubahan harga BBM.
Di sisi lain, teknologi ini membuat total biaya pelanggan lebih
murah.
Tetapi teknologi yang dimiliki masing-masing operator dalam sharing economy di sini juga
berbeda-beda. Ada saja yang memasukkan unsur jarak dan kemacetan. Jadi ada
yang masih menggunakan putaran roda dan waktu sehingga membuat konsumen marah
karena harga ditetapkan setelah jasa dikonsumsi. Itu bisa saja terjadi.
Teknologi Pengerahan
Supply
Setelah tahu rumusnya, tahap kedua adalah pengerahan supply tepat pada waktunya. Ini jelas
membutuhkan manajemen tingkat tinggi, termasuk melibatkan mereka yang
menganggur.
Bahasa ekonominya adalah memanfaatkan idle producers, atau underutilized
capacity.
Metode ini menjadi relevan
dalam sharing economy
Ini mengacu pada orang-orang yang tiba-tiba ingin “narik” di
luar jam kerja sebagai part timer.
Apakah itu buruh-buruh lepas pantai yang sedang off di rumahnya, pekerja yang sedang jobless untuk sementara waktu, mahasiswa yang sedang tidak ada
tugas, atau pensiunan yang sedang tidak mengurus cucu.
Underutilized labor ini bisa berada di banyak titik dan bergerak fleksibel menjadi
pelaku ekonomi kalau teknologi bisa mempertemukan dan operator bisa
mengamankan kualitas layanannya.
Partisipasi mereka dalam sistem sharing economy terjadi sepanjang regulasi tidak menghambatnya.
Lumayan, sebulan bisa dapat Rp 3-5 juta. Tapi penting dipahami, perilaku
konsumen sudah berubah, dan ini lepas dari orbit taksi konvensional yang
masih mengandalkan putaran roda dan jarak.
Tentu ini tidak mulus. Masih ada ketentuan yang mungkin bisa
menghambat, yaitu soal karakter partisipan paruh waktu yang informal dan
berskala kecil.
Misalnya, kalau partisipan paruh waktu dalam sharing economy ini
diwajibkan mengurus balik nama Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) ke dalam
nama badan usaha (koperasi).
Semua orang tahu Bea Balik Nama kendaraan di sini mahal dan
berisiko. Tidak sesuai dengan pendapatan paruh waktu.
Anda mungkin masih ingat kasus yang menimpa para mitra sebuah
perusahaan travel yang tiba-tiba tumbuh pesat berkat usaha kemitraan.
Saat itu para mitra (pemilik kendaraan) patuh pada aturan dan
melakukan balik nama STNK. Beberapa waktu kemudian perusahaan go public dan
aset mereka dinyatakan sebagai aset korporasi yang sahamnya dimiliki publik
tanpa sepengetahuan mereka. Lalu ketika perusahaan pailit mereka pun
kebingungan.
Kerumitan ini bisa saja dipandang sebagai upaya pengekangan
suplai yang merugikan konsumen, menimbulkan inefisiensi, namun juga bisa
berarti rezeki bagi taksi konvensional. Dan akhirnya membuat masyarakat tidak
happy. Saya percaya pemerintah yang
bijak pasti punya solusinya.
Mengapa Konvensional Kalah
Sistem dan metode yang dibangun sebagian pelaku taksi
berbasiskan teknologi ini berbeda.
Taksi konvensional yang sudah lama kita kenal hanya berbasiskan
adu cepat menerima pesanan dengan perkiraan jarak. Padahal di kota-kota
besar, pada jam tertentu jarak 1 kilometer bisa saja ditempuh satu jam,
sementara yang 10 kilometer bisa ditempuh hanya 7 menit.
Uber Ilustrasi layanan Uber
Jadi pada situasi tertentu, pesanan bisa amat terlambat tiba
karena sistem pergerakan supply
tidak optimal.
Karena itulah, mereka yang mengembangkan teknologi pergerakan
suplai menjadi lebih unggul dan lebih mampu memberi kesejahteraan. Utilisasi membaik,
lebih efisien. Tinggal periksa misi perusahaan, kemana penghematan itu akan
diberikan, apakah kepada pemegang saham agar terjadi capital gain, atau
pengemudi/mitra usaha.
Smart Government
Dari semua uraian di atas, jelas Indonesia butuh solusi komprehensif
kekinian dengan e-gov dan proses yang jelas dan adil.
Sebenarnya yang dibutuhkan para pelaku usaha di kedua belah
pihak, adalah sebuah sistem pemerintahan yang smart. Model smart government
inilah yang menjadikan tingkat kepuasan, kesejahteraan dan happiness
masyarakat meningkat (ketika supply
bertemu demand), partisipasi
ekonomi lebih produktif, sementara biaya perizinan turun dan waktu prosesnya
lebih singkat.
Open platform, digital
sharing data dari dari operator yang secara
sukarela menggunakan aplikasi digital bahkan dapat digunakan negara untuk
membuat rencana pengembangan sarana lalu lintas.
Akhirnya pemerintahan menjadi efisien dan agile (tangkas), yang menjamin kepastian berusaha dan mampu
menciptakan kesejahteraan yang baik bagi para pekerja dan pelaku usaha.
Untuk mencapai pemerintahan yang demikian, dibutuhkan aturan
yang tak berbelit-belit, pengurusan yang cepat dan responsif.
Taksi konvensional sudah pasti harus dan akan berubah, sebab
tanpa teknologi mereka akan terimbas gelombang disruption dan bisnisnya
menjadi kurang relevan.
Di era baru ini, semua itu adalah subject to reform untuk memberi kesempatan partisipasi ekonomi
bagi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar