Selasa, 19 April 2016

Membaca Sumber (Ketidak)Waras(an)

Membaca Sumber (Ketidak)Waras(an)

Refly Harun ;   Praktisi; Dosen Hukum Tatanegara di Program Pascasarjana UGM
                                              MEDIA INDONESIA, 18 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SIAPA yang benar siapa salah? Siapa yang menang siapa yang akan kalah?  Akhirnya, siapa yang waras dan siapa yang tidak waras?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting dikemukakan saat mengkaji masalah pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Pemprov DKI).

Pembelian ini telah memicu pro dan kontra antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menilai pembelian lahan RS Sumber Waras telah merugikan keuangan negara karena tidak didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) yang sebenarnya. NJOP yang digunakan Pemprov DKI ialah NJOP lokasi tanah dengan alamat di jalan utama (Jalan Kyai Tapa). Nilainya memang tidak tanggung-tanggung, Rp 20,755 juta meter persegi berdasarkan penghitungan NJOP 2014.

Versi BPK berbeda dan sangat jauh perbedaan angkanya. Versi BPK, NJOP yang seharusnya digunakan ialah NJOP dengan lokasi di Jalan Tomang Utara, yang notabene bukan jalan utama, senilai Rp7 juta per meter persegi menurut NJOP 2013. Dengan perbedaan patokan NJOP ini, sudah tentu terjadi disparitas luar biasa antara penghitungan Pemprov DKI dan BPK. Terlebih bila diterjemahkan ke dalam luas tanah yang lebih dari 36 ribu meter persegi.

Tiga dimensi

Membaca sengkarut lahan Sumber Waras setidaknya ada tiga dimensi yang layak diuji, yaitu dimensi teknis-administratif, dimensi pidana, dan yang tidak kalah pentingnya dimensi politik. Secara teknis-administratif, soal ini seharusnya lebih mudah diklarifikasi, tinggal dilihat di mana letak alamat lahan tersebut. Menurut dokumen yang beredar, yang juga dikatakan Ahok, lahan beralamat di Jalan Kyai Tapa, yang tidak lain ialah jalan arteri (utama). Saat bertemu dengan salah seorang staf Ahok beberapa bulan lalu sebelum kasus ini meledak seperti sekarang, saya pernah diberi tahu bahwa Pemprov DKI tak akan membeli tanah tersebut bila tidak ada akses ke Jalan Kyai Tapa. Sebab, bila aksesnya ke Jalan Tomang Utara, hal itu tak ada gunanya karena hanya akses ke perkampungan penduduk.

Pesoalannya, mengapa BPK kemudian memiliki kesimpulan sendiri bahwa NJOP yang harus digunakan ialah NJOP Jalan Tomang Utara, yang memang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan NJOP Jalan Kyai Tapa? Apakah ketika melakukan pemeriksaan BPK tidak melihat alamat yang tertera di atas lahan tersebut ialah alamat di Jalan Kyai Tapa?

Selain itu, siapa yang sebenarnya berhak menentukan NJOP suatu lokasi, apakah BPK? Apakah Pemprov DKI?  Sependek pengetahuan dan informasi yang saya peroleh, yang tidak mendalami soal-soal administrasi perpajakan, penetapan NJOP ialah kewenangan Pemprov DKI via Kepala Dinas Perpajakan.

Kengototan BPK untuk menyatakan NJOP yang seharusnya digunakan ialah di Jalan Tomang Utara dan menyimpulkan telah terjadi kerugian negara yang berjumlah ratusan miliar tentu mengundang pertanyaan besar tentang motif di balik itu. Apakah BPK bekerja secara profesional ataukah berdasarkan pesanan-pesanan tertentu.

Dimensi pidana

Motif BPK tersebut menjadi penting untuk melihat dimensi kedua, yaitu soal dimensi pidana. Kerugian negara ialah salah satu unsur dari tindak pidana korupsi, selain unsur melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Sekadar terpenuhinya unsur tindak pidana, mudah sekali menjerat seseorang sebagai tersangka korupsi.

Andai bisa ditemukan prosedur menyimpang, salah, atau tidak benar dalam proses pembelian lahan RS Sumber Waras, unsur melawan hukum sangat mungkin terpenuhi. Bila unsur melawan hukum terpenuhi, unsur memperkaya setidak-tidaknya orang lain pasti juga terpenuhi. Demikian pula dengan unsur merugikan keuangan negara, sudah pasti juga akan terpenuhi karena tidak perlu actual loss (kerugian senyatanya), tetapi cukup potential loss (kerugian potensial).

Bila penegak hukum mau maju selangkah dengan teori pemenuhan unsur-unsur tersebut, mudah sekali menjadikan Ahok sebagai tersangka.
Perkara apakah Ahok memang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak biarlah menjadi pekerjaan pengadilan nantinya. Itu pun pengadilan sendiri belum tentu bertindak lurus dan benar.

Bila perspektif tersebut yang digunakan penegak hukum nantinya untuk menyelesaikan masalah lahan Sumber Waras, negara ini sudah sangat salah arah dalam menebaskan pedang keadilan. Pedang hukum bukan menebas pejabat-pejabat yang korup dan memang jahat, tetapi sekadar mencari mereka yang bersalah secara administratif. Dengan catatan, kesalahan administratif itu sendiri sering bukan karena kesengajaan, melainkan karena tumpang-tindihnya aturan.

Dimensi politik

Dalam konteks seperti ini, dimensi ketiga dari masalah Sumber Waras menjadi penting, yaitu dimensi politik. Pada Februari 2017 akan digelar perhelatan pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak gelombang kedua.
DKI ialah salah satu provinsi yang akan menggelar pemilihan gubernur.
Berdasarkan beberapa survei, antara lain survei yang pernah dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ahok masih menjadi yang terdepan dalam Pilkada DKI 2017.

Saat ini sudah mulai bermunculan nama-nama yang bakal menjadi penantang Ahok. Mulai pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, pengusaha Sandiaga Uno, mantan menteri Adhiyaksa Dault, hingga artis Ahmad Dhani. Kendati nama-nama itu sudah sangat kondang, sama terkenalnya dengan Ahok, mereka nyatanya belum bisa menggoyang Ahok sebagai kandidat terkuat pemenang Pilkada DKI 2017. Ada kecenderungan Ahok dikeroyok. Terlebih sikap Ahok yang sedari awal mengatakan akan maju melalui jalur independen atau perseorangan.

Saat ini, Teman Ahok, sukarelawan pendukung Ahok untuk maju sebagai calon Gubernur DKI Periode 2017-2022, sudah mengumpulkan lebih dari 500 ribu tanda tangan warga DKI, syarat yang dibutuhkan untuk maju sebagai calon perseorangan. Selagi calon-calon lain masih bingung untuk mencari kereta yang akan membawa mereka ke pencalonan, Ahok sudah mantap maju sebagai calon melalui jalur perseorangan itu.

Namun, geliat Ahok yang didukung Teman Ahok bukan tanpa hadangan. Kalangan DPR sudah mewacanakan untuk memperberat persentase calon perseorangan, dari sebelumnya antara 6,5$-10% menjadi angka yang kurang lebih serupa dengan persentase yang diperlukan parpol. 
Saat ini untuk maju sebagai calon dari jalur parpol dibutuhkan dukungan 20% kursi atau 25% suara dalam pemilu legislatif sebelumnya. Ada wacana untuk mengurangi persentase itu menjadi 15-20%, yaitu 15% kursi dan 20% suara.

Logika yang berkembang kemudian, bila persentase syarat dukungan parpol menjadi 15%-20%, sebesar itu pula seharusnya dukungan bagi calon perseorangan. Syarat tersebut terbilang tidak masuk akal karena akan membunuh calon independen. Hampir muskil calon independen dapat memenuhi angka yang sedemikian besar, terutama di daerah-daerah yang penduduknya terbilang banyak seperti DKI.

Walaupun dibantah sana-sini oleh politisi di DPR, sulit dibantah wacana menaikkan persentase dukungan calon perseorangan itu terkait dengan geliat Ahok. Sebab, sebelum wacana menaikkan persentase itu muncul, ada diskursus tentang deparpolisasi. Beberapa tokoh partai merasa calon perseorangan merusak sistem kepartaian dan menjauhkan masyarakat dari partai dalam konteks politik Indonesia.

Ada pembonceng?

Jika dikaitkan dengan dimensi politik tersebut, apakah kasus Sumber Waras memang sengaja digoreng atau menggiring Ahok ke status tersangka? Kita memang tidak boleh menjerat BPK dengan spekulasi itu.
Namun, perlu juga diingatkan BPK juga tidak boleh menyodorkan diri menjadi kuda troya kepentingan politik dari siapa pun atau partai apa pun.

Model pengisian anggota BPK yang selama ini membolehkan calon-calon dari parpol, bahkan menjadikan keanggotaan BPK menjadi bancakan politisi yang tidak terpilih dalam pemilu, sudah seharusnya ditinjau ulang.
Anggota BPK seharusnya bersih dari orang-orang partai. Kalaupun ada yang berasal dari partai, setidaknya harus sudah pensiun selama lima tahun terakhir sebelum menjadi anggota BPK. Syarat yang sama hendaknya berlaku pula dengan keanggotaan di lembaga-lembaga nonpolitik lainnya, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), dan bermacam-macam lembaga independen lainnya yang sering disebut sebagai state auxiliary agency.

Karier politik seorang politisi terbentang luas mulai jabatan sebagai presiden/wakil presiden, para menteri, para pembantu presiden lainnya, anggota DPR, anggota DPD, gubernur, bupati/walikota, hingga puluhan ribu kursi anggota DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten/kota. Sudah seharusnya lembaga-lembaga nonpolitik seperti BPK diisi orang-orang profesional yang tidak berpolitik dan berafiliasi dengan kekuatan politik apa pun.

Tulisan ini menjadi tidak adil bila tidak pula mengkritik atau memberikan masukan kepada Ahok. Kepada Ahok, sederhana saja, bila Anda memang tidak melakukan korupsi, tidak kongkalikong (misalnya, melancarkan bisnis etnik Tionghoa yang kadang secara spekulatif sering saya dengar), masyarakat pasti tetap akan mendukung. Di negeri yang tingkat korupsinya masih tinggi ini, pemimpin lurus dan bersih pasti tidak disukai. Saya berharap, seperti banyak dipersepsi, Anda tetap lurus dan bersih dan (kalau bisa) kurangi sedikit emosi. Mudah-mudahan Anda tetap menjadi 'sumber waras' bukan 'sumber ketidakwarasan'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar