Perspektif Baru KPK
Meuthia Ganie-Rochman ; Ahli Sosiologi Organisasi; Mengajar di UI
|
KOMPAS, 04
Februari 2016
Perdebatan yang hangat
sepanjang proses hingga dipilihnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
baru adalah masalah peran KPK dalam penindakan dan pencegahan.
Banyak pihak
mengkhawatirkan KPK akan dibawa oleh pimpinan barunya lebih kuat berperan
dalam pencegahan daripada penindakan. Beberapa argumen yang diberikan adalah:
KPK terutama berperan sebagai pemberantas korupsi dan itu artinya menindak;
bahwa KPK tak punya wewenang membuat mekanisme penindakan; dan bahwa yang
paling dibutuhkan Indonesia adalah menindak para koruptor.
Bagi penulis, argumen
di atas agak sempit memandang apa yang dimaksud dengan pencegahan oleh KPK. Argumen
di atas juga mengaburkan letak persoalan pemberantasan korupsi selama ini dan
kurang tepat dalam melihat kekuatan KPK.
Hubungan antarorganisasi
Memandang peran KPK di
pencegahan hendaknya menggunakan perspektif hubungan antarorganisasi daripada
perspektif prosedural. Dengan cara itu kita melihat KPK sebagai organisasi
yang terhubung dengan organisasi/lembaga lainnya. Bagaimana KPK terhubung
dengan organisasi/lembaga lain memengaruhi orientasi dan kapasitas KPK, dan
seterusnya tentang perannya.
KPK adalah lembaga
utama, primus inter pares: suatu organisasi yang utama dari kumpulan
organisasi sejenis, yaitu organisasi yang menangani korupsi. Pencegahan harus
diartikan sebagai upaya menciptakan kondisi dapat dicegah, dan KPK adalah
lembaga utama yang mengoordinasikan atau memimpin upaya ke arah tercapainya
kondisi tersebut. Hal ini tidak sama dengan menciptakan dan menerapkan aturan
dan prosedur.
Selama ini, KPK telah
melakukan fasilitasi, dorongan, dan pengarahan terhadap perbaikan sistem tata
kelola pemerintahan. KPK telah mengembangkan kerangka dan instrumen
pencegahan korupsi dalam berbagai sektor dan tingkat abstraksi tujuan.
Misalnya, survei integritas yang bertujuan untuk mengukur tingkat integritas
pada layanan publik yang menjadi target penelitian (Laptah KPK 2010). Juga
penilaian inisiatif anti korupsi (PIAK), yang bertujuan untuk memberikan
gambaran keseluruhan tentang inisiatif dan komitmen dari tiap instansi
terhadap upaya pemberantasan korupsi dan mendorong instansi agar bertanggung
jawab terhadap keberhasilan upaya pencegahan korupsi di instansinya. Pada
2010, pelaksanaan PIAK tidak hanya terfokus pada instansi di pusat, juga
diikuti oleh pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten.
Cakupan tentang
pencegahan sesungguhnya luas, tetapi pelaksanaannya bergantung pada kerangka
perubahan apa yang digunakan KPK. Seperti program pendidikan dan
promosi/sosialisasi anti korupsi banyak yang didorong oleh KPK. Artinya, KPK melakukan apa yang sampai saat ini tidak
bisa dilakukan lembaga lain. Betul bahwa lembaga lain juga melakukan
pendidikan anti korupsi atau membuat mekanisme anti korupsi. Persoalannya,
jika pun ada yang mampu melakukan secara sistematis dalam organisasinya, tak
ada yang diberi mandat melakukannya di banyak organisasi lain. Bahkan, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak mampu mempunyai
daya dorong seperti yang dimiliki KPK.
Penguatan
Lepas dari masih
adanya kekurangan internal, KPK telah berhasil membangun legitimasi di
hadapan organisasi/lembaga lain ataupun organisasi kemasyarakatan. Hal ini
harus dimanfaatkan dan juga sejalan dengan wewenang KPK dalam memimpin
gerakan anti korupsi.
Dalam menjalankan
peran penindakan, KPK pun harus dilihat dari interaksinya dengan
organisasi/lembaga strategis lainnya. Memang, sebagai organisasi utama dalam
pemberantasan korupsi, banyak penguatan internal yang dibutuhkan. Meski
demikian, KPK punya banyak kelebihan kompetensi karena secara sistematis
dibuat sesuai dengan tujuannya, dibantu organisasi dalam dan luar negeri.
Namun, kecilnya
penindakan korupsi oleh KPK bukan karena hanya sumber daya yang terbatas.
Lembaga lain yang berada dalam field (komunitas organisasi) penegakan hukum
(kejaksaan, kepolisian, dan peradilan) masih punya banyak persoalan dalam
membantu KPK agar jadi kuat. Apalagi, berbagai gangguan yang masuk melalui
lembaga politik membuat energi KPK tercurah untuk mempertahankan
eksistensinya ketimbang sepenuhnya berkembang untuk pemberantasan korupsi.
Dengan demikian, jika penindakan adalah aspek yang diperkuat dari KPK, itu
lebih banyak berurusan dengan reformasi lembaga lain.
Penguatan dalam hal
pencegahan adalah hal yang realistis di tengah kondisi kelembagaan dan
politik saat ini. Perbaikan mekanisme pencegahan akan mengurangi potensi
korupsi sangat besar. Bahkan, di waktu yang lalu, dengan mekanisme yang ada
saja, KPK berhasil menyeret pelaku korupsi dengan kedudukan tinggi. Artinya,
mekanisme/instrumen sebagai alat pencegahan jelas memainkan peran penting.
Tentu, pertanyaannya, korupsi tingkat manakah yang sedang kita bicarakan?
Jika kita bicara pada tingkat aktor dengan kekuasaan ekonomi dan politik yang
sangat kuat, mekanisme pencegahan tidak cukup. Korupsi macam ini membutuhkan
campur tangan politik juga.
Ke depan, KPK dapat
memainkan peran pencegahan dengan kerangka yang lebih baik. Fokus harus
diletakkan pada perbaikan mekanisme interaksi antarlembaga yang bertujuan
mencegah korupsi, seperti BPK, PPATK, dan Ombudsman. Perbaikan pengadaan dan
interaksi data merupakan salah satu yang harus jadi perhatian. Hal ini bukan
hanya tentang hubungan antarlembaga, tetapi dapat pula berarti membantu
keragaman keterlibatan masyarakat. Misalnya, ada masyarakat yang hanya ingin
mengadu ke KPK, tetapi masalah yang diadukan sesungguhnya wilayah lembaga ombudsman.
Pada saat hukum begitu
kaku dan dicemari kepentingan, KPK harus mencari penguatan dengan perspektif
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar