TG
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 01 Februari
2016
Jika ada satu ikon yang menengarai zaman ini,
itu adalah ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan tepat sekali:
"telepon genggam". Saya singkat: TG. Ia bisa kita genggam kapan
saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam kita kapan saja dan di mana saja.
Hampir tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan
temannya bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat
desa, akan segera HP, eh, TG dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu
dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah sejenak. Tak jarang percakapan
terhenti.
Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun
pagi—sebelum lampu dinyalakan—bukan koran, bukan radio, bukan TV. Tapi TG: si
BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si Motorola….
Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang
berkata seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita memasuki dunia yang
justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala. Dunia sedang dibentuk
kapitalisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya konsumen
kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang
dan waktu.
Dua abad yang lalu, "Membaca koran pagi
adalah doa pagi seorang realis," kata Hegel di Eropa. Dengan doa dan
koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau oleh
"dunia sebagaimana adanya" (melalui berita-berita). Kedua-duanya,
kata Hegel, memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri.
Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman
Hegel, berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas; koran
yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan seleranya selama
ini. Ia tahu "di mana ia berdiri".
Tak mengherankan bila dalam Imagined Communities Benedict Anderson
mengutip Hegel. Tapi ia menambahkan. Seperti doa pagi, membaca
koran
berlangsung dalam ruang privat yang hening, dalam lapis dalam kepala kita.
Tapi pada saat yang sama, masing-masing kita sadar bahwa ratusan ribu orang
lain yang tak kita ketahui identitasnya melakukan hal yang sama—tiap hari,
sepanjang tahun.
Sebuah "komunitas" pun terbangun
dalam imajinasi kita. Kita tak hanya sadar di mana kita berdiri. Kita sadar
dengan siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu bangsa—diperkuat lagi oleh
satu bahasa dan satu jenis aksara—tumbuh dari "kapitalisme cetak"
ini, menurut thesis Anderson.
Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas
Marco bahkan tak di zaman Jakob Oetama. Apa jadinya jika yang tercetak
digantikan dengan yang digital?
Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi
berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Di Twitter berita 29 orang
terbunuh di Burkina Faso disusul cerita seseorang yang kucingnya hamil.
Praktis tiap tiga detik, sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari pelbagai
pojok bumi.
Sementara halaman surat kabar ditata sang
editor dengan hierarki antara yang penting dan yang kurang penting, dalam TG
tak ada organisasi itu. Tiap informasi sama posisinya. Dialog (pesan
"interaktif") berlangsung tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa
saja, dari orang yang paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di
satu arena yang riuh.
Huruf bersilang selisih dengan foto,
bunyi-bunyian, dan film. Indra penglihatan, yang dalam medium cetak praktis
mendominasi pencerapan manusia tentang dunia—meskipun berlangsung sebidang
demi sebidang—kini lebur bersama indra pendengaran. Kecuali indra penghidu dan peraba, tubuh
kita bergelut secara simultan dengan manusia dan peristiwa di mana pun.
Sementara koran harian akan jadi basi dalam 24 jam, informasi digital akan
hambar pada detik berikutnya.
Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan
lagi sebuah kantor, di bagian komunitas nasional kita, tempat koran yang kita
baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam "deteritorialisasi".
Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua
abad terakhir terbentuk berkat pengaruh "kapitalisme cetak" akan
berubah. "Bangsa" mungkin akan tak terkait dengan sebuah wilayah
dan kenangan yang sama. Kita sudah banyak dengar tentang globalisasi, perpindahan
modal dan tenaga dari satu negeri ke negeri lain. Mungkin kini pudar
pengertian "tanah tumpah-darah".
Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa
yang dimimpikan lagu Imagine. Kini
memang menonjol, atau timbul lagi, "perkauman" yang tak berpaut
pada "bangsa" dan "teritori". Malah ada penolakan kepada
konsep "bangsa". Tapi Michael Billig menulis satu buku yang serius
tapi kocak, Banal Nationalism:
nasionalisme hadir tiap hari, tak selalu mengejutkan: ada waktu nasional, ada
iklim nasional, ada makanan nasional. Kosmopolitanisme pun hanya dalam
fantasi.
"Saya belum pernah bertemu dengan banyak
orang kosmopolitan dalam hidup saya," kata Ben Anderson. "Mungkin
tak lebih dari lima orang."
Selebihnya, bahkan dengan TG, tetap seperti
dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar