Senin, 01 Februari 2016

Gafatar

Gafatar

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                    TEMPO.CO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mumpung Romo Imam lagi santai, saya bertanya dengan serius, apakah ada beda antara agama dan kepercayaan, dikaitkan dengan "bacaan" yang ada di konstitusi. "Apa contohnya?" tanya Romo. Wah, saya pun semangat. "Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Karena Romo belum bereaksi, saya lanjutkan: "Kalau sama, mestinya kalimat itu disebut: memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Romo tertawa sejenak. "Sampeyan ada-ada saja. Kalau kalimat sampeyan dipakai, kebanyakan kata 'dan', bahasanya kurang enak. Tentu dijamin memeluk agamanya dan kepercayaannya dan dijamin pula beribadat sesuai agama dan kepercayaannya," kata Romo.

Saya kurang puas. "Jadi agama dan kepercayaan itu sama kan? Memeluk kepercayaan juga dijamin konstitusi seperti halnya memeluk agama, begitu? Ini juga terkait dengan amandemen UUD yang kedua, ada Pasal 28E ayat 2, bunyinya: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Romo menatap saya: "Apa sih yang sampeyan mau persoalkan, langsung saja."

"Oke, Romo," saya mengalah. "Saya langsung saja. Soal Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara, yang lagi ramai. Mereka diboyong dari Kalimantan ke Jawa. Rumahnya di Kalimantan dibakar. Tuduhannya, organisasi ini sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Padahal bekas ketua umumnya, Mahful M. Tumanurung, jelas menyebutkan, Gafatar itu bukan Islam, ada di luar Islam. Bagaimana bisa sebuah majelis agama yang terhormat menyebutkan kelompok lain yang di luar agama itu sebagai kepercayaan sesat? Berarti ibadat cara Gafatar ini tidak dijamin, dong. Sepanjang ibadatnya tak mengganggu ketenteraman, kan mestinya dilindungi. Malah mereka diusir keluar Kalimantan."

Saya merasa terlalu emosional. Untung Romo tenang: "Mungkin Mahful berbohong dengan menyebut kelompoknya di luar Islam." Saya menanggapi: "Kalau dia berbohong kan harus dibuktikan dulu. Ajak dia berdialog baik-baik. Saya setuju pendapat Ketua Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, yang menyebutkan Gafatar berprinsip sosialis humanis, kegiatan mereka lebih mengutamakan etika universal sebagai landasan moral, orientasinya ekonomi, sosial, pemberdayaan pertanian. 
Sayangnya, Tafsir berkata begitu setelah menemui mantan anggota Gafatar di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, bukan sebelum kampung mereka dibakar di Kalimantan."

"Kalau begitu, eks Gafatar harus dilindungi. Keyakinan mereka tak boleh direcoki oleh majelis agama apapun yang ada di negeri ini. Kita tak boleh menghakimi kepercayaan orang sepanjang mereka tak melakukan tindak pidana," kata Romo. Saya langsung bilang setuju. "Mereka itu tekun bertani, tak mencuri, tak berzina, malah merokok saja tidak. Ini kata Ketua Muhammadiyah Semarang. Apa kelompok seperti itu masih kita berikan ceramah soal nasionalisme atau ceramah agama yang sudah mereka lepaskan? Mari hormati keyakinan mereka."

Saya minum, sedikit lebih tenang. "Kesalahan Gafatar adalah banyak orang yang dinyatakan hilang karena ikut kelompok itu," kata saya. Romo menyela: "Itu pun belum tentu salah. Mungkin terpaksa menghilangkan diri. Kalau sebuah keluarga hanya satu orang saja yang berkukuh pindah agama, biasanya dia dikucilkan, lalu menghilangkan diri. Tapi keyakinan baru itu harus tetap dihormati." Saya mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar