Gafatar
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 30 Januari
2016
Mumpung Romo Imam lagi santai, saya bertanya
dengan serius, apakah ada beda antara agama dan kepercayaan, dikaitkan dengan
"bacaan" yang ada di konstitusi. "Apa contohnya?" tanya
Romo. Wah, saya pun semangat. "Pasal
29 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Karena Romo belum bereaksi, saya lanjutkan: "Kalau sama, mestinya kalimat itu
disebut: memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Romo tertawa
sejenak. "Sampeyan ada-ada saja.
Kalau kalimat sampeyan dipakai, kebanyakan kata 'dan', bahasanya kurang enak.
Tentu dijamin memeluk agamanya dan kepercayaannya dan dijamin pula beribadat
sesuai agama dan kepercayaannya," kata Romo.
Saya kurang puas. "Jadi agama dan kepercayaan itu sama kan? Memeluk kepercayaan
juga dijamin konstitusi seperti halnya memeluk agama, begitu? Ini juga
terkait dengan amandemen UUD yang kedua, ada Pasal 28E ayat 2, bunyinya:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Romo menatap saya: "Apa sih yang sampeyan mau
persoalkan, langsung saja."
"Oke, Romo," saya mengalah. "Saya langsung saja. Soal Gafatar,
Gerakan Fajar Nusantara, yang lagi ramai. Mereka diboyong dari Kalimantan ke
Jawa. Rumahnya di Kalimantan dibakar. Tuduhannya, organisasi ini sesat dan
menyimpang dari ajaran Islam. Padahal bekas ketua umumnya, Mahful M.
Tumanurung, jelas menyebutkan, Gafatar itu bukan Islam, ada di luar Islam.
Bagaimana bisa sebuah majelis agama yang terhormat menyebutkan kelompok lain
yang di luar agama itu sebagai kepercayaan sesat? Berarti ibadat cara Gafatar
ini tidak dijamin, dong. Sepanjang ibadatnya tak mengganggu ketenteraman, kan
mestinya dilindungi. Malah mereka diusir keluar Kalimantan."
Saya merasa terlalu emosional. Untung Romo
tenang: "Mungkin Mahful berbohong
dengan menyebut kelompoknya di luar Islam." Saya menanggapi: "Kalau dia berbohong kan harus
dibuktikan dulu. Ajak dia berdialog baik-baik. Saya setuju pendapat Ketua
Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, yang menyebutkan Gafatar berprinsip
sosialis humanis, kegiatan mereka lebih mengutamakan etika universal sebagai
landasan moral, orientasinya ekonomi, sosial, pemberdayaan pertanian.
Sayangnya, Tafsir berkata begitu setelah menemui mantan anggota Gafatar di
Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, bukan sebelum kampung mereka
dibakar di Kalimantan."
"Kalau begitu,
eks Gafatar harus dilindungi. Keyakinan mereka tak boleh direcoki oleh
majelis agama apapun yang ada di negeri ini. Kita tak boleh menghakimi
kepercayaan orang sepanjang mereka tak melakukan tindak pidana," kata Romo. Saya
langsung bilang setuju. "Mereka
itu tekun bertani, tak mencuri, tak berzina, malah merokok saja tidak. Ini
kata Ketua Muhammadiyah Semarang. Apa kelompok seperti itu masih kita berikan
ceramah soal nasionalisme atau ceramah agama yang sudah mereka lepaskan? Mari
hormati keyakinan mereka."
Saya minum, sedikit lebih tenang. "Kesalahan Gafatar adalah banyak
orang yang dinyatakan hilang karena ikut kelompok itu," kata saya.
Romo menyela: "Itu pun belum tentu
salah. Mungkin terpaksa menghilangkan diri. Kalau sebuah keluarga hanya satu orang
saja yang berkukuh pindah agama, biasanya dia dikucilkan, lalu menghilangkan
diri. Tapi keyakinan baru itu harus tetap dihormati." Saya
mengangguk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar