LGBT
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 31 Januari
2016
Minggu-minggu terakhir
ini di Universitas Indonesia (UI) sedang heboh soal lesbian, gay, biseksual,
dan transgender (LGBT). Pasalnya, ada kelompok mahasiswa yang menamakan
dirinya Support Group and Resource on
Sexuality UI (SGRC UI) yang membuka konseling gratis untuk para
penyandang LGBT di UI.
Reaksi sebahagian
warga UI langsung menolak keras, dengan alasan jangan sampai LGBT masuk
kampus. Rektor pun menyatakan bahwa SDRC UI bukan organ resmi yang diakui UI,
bahkan Menristek Muhamad Nasir melarang diskusi tentang LGBT di seluruh
kampus di Indonesia.
Sebetulnya SGRC bukan
barang baru di UI. Kelompok ini sudah banyak melakukan aktivitas sebelumnya,
termasuk seminar-seminar tentang gender, KDRT, dan lain-lain, tetapi baru
setelah mereka membuka konseling untuk para penyandang LGBT, eksistensinya
diributkan. Jadi yang jadi masalah bukan SGRC-nya, melainkan LGBT-nya.
Tentang status SGRC
yang bukan organ resmi UI, di UI banyak sekali organisasi seperti itu,
termasuk The Professor Band UI dan Komunitas Wayang UI, di mana saya ikut
bergabung, yang juga bukan organ resmi UI, tetapi Rektor malah beberapa kali
terlibat dalam acara-acaranya.
Di sisi lain, dukungan
terhadap SGRC pun datang dari berbagai pihak di UI, termasuk dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas
FISIP UI (yang ini organ resmi di bawah FISIP UI), maupun dari luar UI,
termasuk dari Sekjen Seknas Jokowi Omar Tanjung, yang menyatakan bahwa
seharusnya Menristek tidak usah mengurus LGBT karena Menristek bukan polisi
moral. Pertanyaan kita sekarang adalah mana yang benar? Melarang atau
membiarkan LGBT?
Istilah LGBT mulai
populer sejak 1988 di Amerika Serikat. Sebelumnya istilah yang digunakan
adalah homoseksual (tertarik secara seksual kepada sesama jenis) sebagai
istilah generik, sedangkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah
variasi dari homoseksual.
Sampai pada 1972
homoseksual masih dianggap sebagai gangguan jiwa baik dalam buku Panduan
Gangguan Jiwa versi Amerika Serikat yang dikenal dengan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
maupun versi WHO yaitu International
Classification of Diseases (ICD).
Namun, temuan-temuan
berbagai penelitian (sejak zaman Carl Gustav Jung akhir abad XIX) makin lama
makin membuktikan bahwa homoseksual bukanlah sesuatu yang abnormal. Hasil
penelitian biolog Alfred Kinsey (1950) bahkan mengonfirmasikan bahwa
homoseksual bukan hanya terdapat pada manusia, tetapi juga hampir pada setiap
hewan lainnya.
Kinsey kemudian
mengembangkan skala seksualitas yang terkenal, yang membagi tingkat hetero-homoseksualitas
ke dalam tujuh tingkat yaitu tingkat 0 (sepenuhnya heteroseksual), sampai
tingkat 6 (sama sekali tidak tertarik pada lawan jenis), dan tingkat 3
sebagai biseksual (bisa tertarik pada kedua jenis kelamin).
Karena itu, sejak 1972
homoseksual telah dihapus dari dua buku panduan gangguan jiwa itu, yang
kemudian diikuti oleh para psikiater dan psikolog klinis di seluruh dunia.
Sejak saat itu pula homoseksual di kalangan psikiater dan psikolog klinis
lebih disebut sebagai varian normal ketimbang gangguan jiwa.
Varian normal artinya,
berbeda, tetapi masih normal. Seperti rambut kita kebanyakan lurus, namun ada
juga yang keriting, atau mata kita rata-rata hitam, tetapi ada juga yang
kecokelatan. Tidak ada yang salah dengan rambut keriting atau mata biru,
kecuali bahwa jumlah mereka jauh lebih sedikit daripada yang umum berlaku.
Namun, ada di antara
homoseksual itu yang merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Terutama
karena tekanan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Jenis ini disebut sebagai
homoseksual distonik dan mereka biasanya minta pertolongan psikiater atau
psikolog walaupun belum tentu dua profesi itu bisa menolongnya.
Sebaliknya, ada
homoseks yang merasa nyaman-nyaman saja dengan dirinya, malah dia terang-terangan
punya pacar atau ”istri” atau ”suami”. Mereka disebut homoseksual sistonik.
Kalau ditanya, ”Mengapa kamu jadi homoseksual?” Mereka malah balik bertanya,
”Kamu sendiri mengapa jadi heteroseksual?” Kalau Anda menjawab, ”Itu sudah
takdir Tuhan.” Mereka pun akan menjawab yang sama, ”Saya juga begitu, bukan
kemauan saya untuk menjadi homoseks.”
Semua yang saya
ceritakan di atas adalah tentang homoseksualitas bawaan (faktor bakat).
Mereka biasanya tidak provokatif, termasuk yang jenis sistonik . Walau sudah
terbuka, mereka hanya melakukan aktivitas di ruang-ruang privat ataupun di
kalangan mereka sendiri. Bahkan yang jenis distonik mencari bantuan untuk
dikembalikan ke heteroseksual.
Walaupun demikian,
dari pengalaman saya dalam praktik, yang lebih banyak justru yang homoseksual
ikut-ikutan atau homoseksual gaul. Mereka banyak terdapat di kalangan profesi
tertentu saja (tidak saya sebutkan di sini untuk menghindari salah paham),
sedangkan homoseksual bawaan menyebar di berbagai profesi, termasuk
profesi-profesi kelas tinggi seperti dokter, arsitek, dan pengacara, atau
pejabat-pejabat tinggi seperti CEO atau menteri.
Homoseksual jenis
ikutan/gaul inilah mungkin yang perlu diberantas, yang melawan hukum agama
sebagaimana diceritakan dalam ayat-ayat tentang Sodom dan Gomorah. Karena
itu, di kalangan gereja-gereja Kristen pun mulai dikaji ulang tafsir tentang
ayat-ayat itu dalam Injil. Kita di Indonesia, baik yang Islam maupun yang
Kristen, belum ada upaya ke arah itu sehingga MUI pun otomatis akan
mengharamkannya.
Tetapi, kalau kita ke
Bangkok atau India, transgender (waria) justru diperbolehkan, bahkan orang AS
yang ingin operasi ganti kelamin pergi ke Bangkok karena di AS kesulitan
mendapatkan pelayanan seperti itu. Ada dua faktor yang berperan di sini yaitu
faktor agama (agama Hindu dan Buddha tidak secara eksplisit melarang LGBT)
dan faktor budaya (yang sejalan dengan agama yang dianut masyarakat). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar