Sabtu, 06 Februari 2016

Revisi UU Bukan Jalan Keluar

Revisi UU Bukan Jalan Keluar

James Luhulima  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aksi teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu, memicu kembali keinginan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Argumennya, UU itu tidak dianggap efektif untuk mencegah aksi terorisme.

Argumen itu bukanlah hal baru. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, aparat keamanan, dalam hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan jajaran intelijen, berargumen bahwa mereka sesungguhnnya telah mendeteksi kemungkinan akan adanya aksi terorisme, tetapi mereka tidak dapat menindaknya karena hal itu tidak diatur dalam UU Terorisme.

Dengan direvisinya UU Terorisme, diharapkan aparat keamanan dimungkinkan menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga pelaku teror sebagai tindak pencegahan. Bahkan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, dua hari setelah aksi teror di Jalan MH Thamrin, itu, mengatakan, ingin aparat intelijen diberikan kewenangan menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga pelaku teror.

Namun, keinginan merevisi UU Terorisme itu mendapat tentangan keras dari masyarakat sipil. Mereka khawatir jika aparat keamanan diberikan izin untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga teroris, izin itu akan dijadikan alat oleh pemerintah yang tengah berkuasa untuk membungkam orang-orang yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemerintah. Bukan tidak mungkin nantinya orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah akan dituduh sebagai terduga teroris.

Kekhawatiran masyarakat sipil itu tidak dibuat-buat. Rakyat Indonesia pernah mengalami suatu masa (1965-1998) di mana aparat keamanan dapat menangkap, menahan, dan menginterogasi seseorang atau sekelompok orang tanpa disertai bukti-bukti yang memadai. Dengan tuduhan terlibat atau merupakan simpatisan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) atau ingin makar (menggulingkan pemerintah), aparat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dapat menangkap, menahan, menginterogasi siapa saja tanpa batas waktu yang jelas.

Kita juga belum lupa ketika orang-orang yang menentang dibangunnya Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, ditangkap, ditahan, dan diinterogasi, serta kemudian pada Kartu Tanda Penduduknya diberi stempel ET (eks tapol/PKI). Situasi seperti itu tidak boleh terulang kembali.

Pada 1988, Kopkamtib dibubarkan dan digantikan oleh Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional. Namun, praktik menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dianggap menentang pemerintah tetap berlanjut hingga Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, 21 Mei 1998.

Keinginan Sutiyoso untuk meningkatkan wewenang BIN sehingga dapat menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga pelaku teror pun mendapatkan tentangan. Pada prinsipnya, tugas pokok BIN adalah memberikan informasi dini atas kegiatan yang membahayakan negara. Adapun penindakan sebaiknya tetap dilakukan oleh aparat Polri/TNI.

Tidak berdasar

Argumen bahwa pemberian izin untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga teroris dapat mencegah terjadinya aksi terorisme sama sekali tidak berdasar. Hal itu pernah dikemukakan oleh Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani, yang merangkap sebagai Panglima Kopkamtib, dalam Rapat Kerja Panglima ABRI dengan Komisi I DPR pada tahun 1984, tidak lama setelah peledakan bom di tiga cabang Bank BCA di Jakarta, 4 Oktober 1984.

Dalam pertemuan off the record yang berlangsung malam hari itu, LB Moerdani ditanya oleh seorang anggota Komisi I DPR mengapa ABRI sampai kecolongan hingga tiga bom meledak di tiga cabang Bank BCA, yakni di Jalan Pecenongan, di Kompleks Pertokoan Glodok, dan di Jalan Gajah Mada. Padahal, Komkamtib mempunyai wewenang untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi siapa saja yang berpotensi membahayakan keamanan negara.

LB Moerdani mengatakan, ABRI (termasuk Polri) memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Walaupun mempunyai wewenang untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi siapa saja yang berpotensi membahayakan keamanan negara, ABRI tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan seseorang di dalam rumahnya.

”Emangnya Anda mau personel ABRI mengintip ke dalam rumah Anda dan mengawasi Anda melakukan aktivitas di dalam rumah Anda. Kan, Anda tidak mau. Itu sebabnya, selalu ada peluang ABRI kecolongan walaupun peluang itu terus diperkecil dengan memperkuat intelijen,” ujarnya dengan nada tinggi.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam Silaturahim Nasional Ulama Mursyidin Thoriqoh, TNI, dan Polri di Pekalongan, Jawa Tengah, 16 Januari lalu, dengan tema ”Urgensi Bela Negara Demi Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, menegaskan, aksi terorisme ke depan tidak boleh terulang kembali. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih aktif, seperti segera melapor kepada aparat jika melihat ada hal yang aneh dan mencurigakan. ”Rakyat bersama aparat memantau,” katanya. Aparat tidak dapat bekerja sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar