Revisi UU Bukan Jalan Keluar
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 06
Februari 2016
Aksi teror di Jalan MH
Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu, memicu kembali keinginan pemerintah
untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Argumennya, UU itu tidak dianggap efektif untuk mencegah
aksi terorisme.
Argumen itu bukanlah
hal baru. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, aparat keamanan, dalam hal
ini Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan jajaran intelijen, berargumen bahwa
mereka sesungguhnnya telah mendeteksi kemungkinan akan adanya aksi terorisme,
tetapi mereka tidak dapat menindaknya karena hal itu tidak diatur dalam UU
Terorisme.
Dengan direvisinya UU
Terorisme, diharapkan aparat keamanan dimungkinkan menangkap, menahan, dan
menginterogasi terduga pelaku teror sebagai tindak pencegahan. Bahkan, Kepala
Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, dua hari setelah aksi teror di Jalan
MH Thamrin, itu, mengatakan, ingin aparat intelijen diberikan kewenangan
menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga pelaku teror.
Namun, keinginan
merevisi UU Terorisme itu mendapat tentangan keras dari masyarakat sipil.
Mereka khawatir jika aparat keamanan diberikan izin untuk menangkap, menahan,
dan menginterogasi terduga teroris, izin itu akan dijadikan alat oleh
pemerintah yang tengah berkuasa untuk membungkam orang-orang yang mempunyai
pendapat yang berbeda dengan pemerintah. Bukan tidak mungkin nantinya
orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah akan dituduh sebagai terduga
teroris.
Kekhawatiran
masyarakat sipil itu tidak dibuat-buat. Rakyat Indonesia pernah mengalami
suatu masa (1965-1998) di mana aparat keamanan dapat menangkap, menahan, dan
menginterogasi seseorang atau sekelompok orang tanpa disertai bukti-bukti
yang memadai. Dengan tuduhan terlibat atau merupakan simpatisan Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) atau ingin makar (menggulingkan
pemerintah), aparat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) dapat menangkap, menahan, menginterogasi siapa saja tanpa batas
waktu yang jelas.
Kita juga belum lupa
ketika orang-orang yang menentang dibangunnya Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah,
ditangkap, ditahan, dan diinterogasi, serta kemudian pada Kartu Tanda
Penduduknya diberi stempel ET (eks tapol/PKI). Situasi seperti itu tidak
boleh terulang kembali.
Pada 1988, Kopkamtib
dibubarkan dan digantikan oleh Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas
Nasional. Namun, praktik menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang
yang dianggap menentang pemerintah tetap berlanjut hingga Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya, 21 Mei 1998.
Keinginan Sutiyoso
untuk meningkatkan wewenang BIN sehingga dapat menangkap, menahan, dan
menginterogasi terduga pelaku teror pun mendapatkan tentangan. Pada
prinsipnya, tugas pokok BIN adalah memberikan informasi dini atas kegiatan
yang membahayakan negara. Adapun penindakan sebaiknya tetap dilakukan oleh
aparat Polri/TNI.
Tidak berdasar
Argumen bahwa
pemberian izin untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi terduga teroris
dapat mencegah terjadinya aksi terorisme sama sekali tidak berdasar. Hal itu
pernah dikemukakan oleh Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani, yang merangkap
sebagai Panglima Kopkamtib, dalam Rapat Kerja Panglima ABRI dengan Komisi I
DPR pada tahun 1984, tidak lama setelah peledakan bom di tiga cabang Bank BCA
di Jakarta, 4 Oktober 1984.
Dalam pertemuan off the record yang berlangsung malam
hari itu, LB Moerdani ditanya oleh seorang anggota Komisi I DPR mengapa ABRI
sampai kecolongan hingga tiga bom meledak di tiga cabang Bank BCA, yakni di
Jalan Pecenongan, di Kompleks Pertokoan Glodok, dan di Jalan Gajah Mada.
Padahal, Komkamtib mempunyai wewenang untuk menangkap, menahan, dan
menginterogasi siapa saja yang berpotensi membahayakan keamanan negara.
LB Moerdani
mengatakan, ABRI (termasuk Polri) memiliki keterbatasan dalam menjalankan
tugasnya. Walaupun mempunyai wewenang untuk menangkap, menahan, dan menginterogasi
siapa saja yang berpotensi membahayakan keamanan negara, ABRI tidak dapat
mengetahui apa yang dilakukan seseorang di dalam rumahnya.
”Emangnya Anda mau personel ABRI mengintip ke dalam rumah Anda
dan mengawasi Anda melakukan aktivitas di dalam rumah Anda. Kan, Anda tidak
mau. Itu sebabnya, selalu ada peluang ABRI kecolongan walaupun peluang itu
terus diperkecil dengan memperkuat intelijen,” ujarnya dengan nada
tinggi.
Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu dalam Silaturahim Nasional Ulama Mursyidin Thoriqoh, TNI,
dan Polri di Pekalongan, Jawa Tengah, 16 Januari lalu, dengan tema ”Urgensi Bela Negara Demi Menjaga Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”, menegaskan, aksi terorisme ke depan
tidak boleh terulang kembali. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih aktif,
seperti segera melapor kepada aparat jika melihat ada hal yang aneh dan
mencurigakan. ”Rakyat bersama aparat
memantau,” katanya. Aparat tidak dapat bekerja sendirian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar