Ada Apa dengan Kampus?
Bre Redana ;
Penulis Kolom “CATATAN MINGGU” Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 31 Januari
2016
Dinamika dan kebebasan
kehidupan kampus saya kenang sebagai masa indah, penting, dan tak terlupakan.
Tentu saja karena sudah berlalu puluhan tahun, menjelma menjadi nostalgia,
tak terelakkan bias, seolah masa itu serba beres dan indah belaka.
Waktu itu, tahun
70-an, produk pers mahasiswa dari perguruan-perguruan tinggi terkemuka
berseliweran, bisa kami nikmati di kampus kami di Salatiga. Tak terkecuali
pleidoi para aktivis yang dianggap makar terhadap Orde Baru dalam
persidangan. Pikiran-pikiran mereka tajam, kritis, dan berdaya gugat.
Kalau mau menilik
ulang risalah zaman itu, baca salah satunya buku karya Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.
Didasarkan penelitian atas pers mahasiswa yang terbit di Bandung, Mahasiswa
Indonesia, sedikitnya di situ tergambar anatomi aktivisme mahasiswa kala itu.
Dilukiskan oleh Raillon bagaimana mereka ikut punya peran dalam pembentukan platform
Orde Baru, sebelum kemudian bersimpang jalan dengan rezim itu, dibreidel, dan
tamatlah riwayatnya.
Dari waktu ke waktu,
terjadi semacam proses tarik-menarik antara kebebasan akademik, mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan yang dijamin undang-undang dengan kepentingan
penguasa. Seiring perubahan zaman disertai pragmatisme kehidupan, kini tak
banyak lagi yang peduli pada asas pendidikan tinggi berikut kebebasannya
tadi. Banyak yang tak malu-malu menawarkan lembaga pendidikan tinggi sebagai
sekadar pabrik untuk mencetak lulusan yang dijamin bakal sukses, punya
pekerjaan bagus, banyak duit. Iklannya disertai foto mahasiswa bertampang
anak mami. Bukan "anak-anak revolusi" ala Budiman Sudjatmiko. Soal
mimbar akademik, siapa peduli ketika sebuah gerombolan menyerbu kampus?
Entah apa yang
terjadi dengan zaman ini. Intoleransi masuk kampus, diembuskan oleh profesor,
doktor, sebagian dari mereka berada dalam fungsi sangat strategis
pemerintahan. Mereka bicara moral, menjadikan kampus seperti tempat ibadah,
bukan tempat pengetahuan dan riset. Kalau yang bicara tetangga saya di
kampung tukang batu tak masalah, tetapi ini pejabat yang opininya
berimplikasi politis dan mampu menyulut sentimen massa.
Intoleransi dalam
beberapa hal lebih mencemaskan dibandingkan radikalisme. Radikalisme,
fundamentalisme, kalau mau ditambah lagi integralisme, mengandaikan adanya
doktrin. Ada landasan teoretik, atau pseudo-teoretik, yang digulati. Kita
bisa melawan radikalisme pada tataran hermeneutik, sampai doktrin mereka goyah.
Banyak dulu teman semasa bermahasiswa kekiri-kirian. Setelah lulus, kerja,
mapan, makmur, terkepung kapitalisme global, mereka jadi lebih santai dan
berseloroh: kalau umur 20-an tak jadi Marxist tak punya hati. Sebaliknya,
kalau umur 40-an tetap Marxist tak punya otak.
Kembali ke
intoleransi, dia ada begitu saja tanpa doktrin-doktrinan. Umberto Eco
menyebut pada intoleransi terdapat akar-akar biologis, memanifestasi antara
lain dalam kehidupan binatang untuk mempertahankan teritori. Pendeknya, ia
merupakan reaksi emosional yang tak jelas dasarnya, selain kebencian terhadap
pihak lain karena warna kulitnya berbeda, bahasanya berbeda, makanannya
berbeda, preferensi seksnya berbeda, dan seterusnya. Yang sedang dikecam
ramai-ramai sekarang sampai katanya tidak boleh menginjak kampus adalah
kelompok LGBT-lesbian, gay, biseksual, dan transjender/ transeksual.
Apa dasarnya?
Bagaimana mendiskusikan masalah ini? Itulah persoalannya. Seperti disebut
tadi, intoleransi tidak memiliki doktrin, tak ada krida intelektual. Pokoknya
tidak senang. Ia tak bisa dikritik ataupun dipatahkan dengan argumen-argumen
rasional.
Sebenarnya saya pernah
berpikir ingin kuliah lagi. Membayangkan Socrates. Hanya saja, di kampus mana
sekarang kebebasan akademik, tradisi berpikir, tradisi intelektual, masih
terpelihara? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar