Staf Ahli
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 06
Februari 2016
Janganlah menduga saya mau membahas kasus
Masinton Pasaribu versus Dina Aditia Ismawati. Saya bukan "pengamat
sorot mata", juga bukan "pengamat kebijakan publik", apalagi
"pengamat perilaku pejabat", jenis-jenis pengamat yang tak saya
ketahui ujung-pangkalnya. Bagi saya, Masinton versus Dita diserahkan ke
"pengamat sinetron", ibu-ibu rumah tangga pasti tertarik menonton kalau
kisah ini disinetronkan. Ada lelaki dan perempuan, ada dua partai berbeda,
ada batu akik, ada kafe, ada tuduhan orang mabuk, lalu ada tonjokan.
Maaf, masalah yang saya soroti lebih ilmiah,
ibu-ibu rumah tangga tak akan tertarik. Soal staf ahli yang ada di mana-mana.
Staf ahli, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih ahli daripada staf yang
biasa. Ternyata dalam praktek, staf ahli itu adalah jabatan yang tak disukai
banyak orang. Karena tak jelas pekerjaannya. Seorang teman bercerita,
bapaknya yang perwira menengah kepolisian, status jabatannya "sedang
parkir". Lo, maksudnya apa? Dijadikan staf ahli.
Tentu tak semua lembaga pemerintah menjadikan
staf ahli dalam status "sedang parkir". Di DPR, staf ahli itu
bergengsi dan persyaratan pengangkatan pun berat. Karena itu, DPR tak mau menyebutnya
staf ahli, melainkan tenaga ahli. Sementara persyaratan anggota DPR boleh
cuma berijazah sekolah menengah atas-kalau nasib apes bisa memakai sertifikat
Kelompok Belajar (Kejar) Paket C-tenaga ahli harus lulus Strata-2 dengan IPK
minimum 3. Hal ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2014.
Jumlah tenaga ahli DPR terus bertambah. Pada
periode 2004-2009, setiap anggota DPR didampingi satu tenaga ahli. Pada
periode 2009-2014, jumlah tenaga ahli bertambah menjadi dua untuk setiap
anggota DPR. Periode 2014-2019, jumlahnya paling sedikit lima orang untuk
setiap anggota DPR. Begitu banyak tenaga ahli, maka perlu ada tenaga
administrasi, yang jumlahnya dua orang untuk setiap anggota DPR. Jadi, satu
anggota DPR minimum-boleh dibaca: paling sedikit-didampingi tujuh orang
"tenaga tambahan". Beralasan kalau ruang kerja DPR semakin sumpek
dan perlu diperluas, perlu membangun gedung.
Apa manfaat 5 tenaga ahli dan 2 tenaga
administrasi untuk masing-masing anggota? Tergantung diamati dari mana: sorot
mata, kebijakan, atau perilaku. Jika bicara positif, produk legislasi DPR
menjadi sangat bermutu-sedikit-sedikit ada ahlinya. Sidang paripurna full
terus karena setiap anggota mendapat masukan bahan dari tenaga ahlinya untuk
berdebat. Perdebatan pun tajam tapi sopan karena tenaga ahlinya mengingatkan
adanya etika dan sopan santun. Jika ada wakil rakyat yang mengusulkan agar
presiden memecat menteri tertentu, tenaga ahli segera menasihati, "Mbak
soal menteri hak prerogatif presiden lo..." Siapa tahu wakil rakyat itu
mantan pemain sinetron yang tak paham konstitusi.
Apa yang terlihat saat ini? Jauh panggang dari
api. Dengan didampingi 7 orang tenaga, produk legislasi DPR justru keteteran.
Mutu anggota DPR dibiarkan jadi menurun, baik karena rekrut di partai
asal-asalan maupun karena membeli suara, toh ada banyak tenaga ahli.
Celakanya, tenaga ahli yang diangkat itu serba tak jelas, apakah diseleksi
sebelumnya, siapa yang menyeleksi. Seharusnya ada evaluasi tenaga ahli ini,
apa tak kebanyakan?
Anggota DPR Masinton menjemput tenaga ahlinya,
Dita, malam-malam di sebuah kafe. Tiba-tiba keduanya bertengkar dan ada yang
main tonjok. Saya gagal paham apa hubungan anggota DPR dengan tenaga ahlinya
malam-malam di kafe jika dikaitkan dengan nasib rakyat? Jangan-jangan mereka
tak paham bahwa gaji mereka dibayar oleh pajak rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar