Hidupnya Kebudayaan
Acep Iwan Saidi ; Dosen Desain dan Kebudayaan pada Sekolah
Pascasarjana ITB
|
KOMPAS, 06
Februari 2016
Judul tulisan ini bisa
dibaca dengan logika terbalik, yakni "Matinya Kebudayaan". Untuk
sampai ke situ, baiklah diperhatikan kisah RUU Kebudayaan yang pada 17
Desember 2015 telah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR (Kompas, 18 Desember 2015).
Paling tidak ada tiga titik problematik tentang hal ini.
Pertama, sepanjang penyusunannya, RUU ini terus-menerus diperdebatkan. Kedua,
seruncing-runcing perdebatan, rupanya ia tak berpengaruh pada substansi RUU (Kompas, 5/1/2016 dan 6/1/2016).
Ketiga, para pelibat perdebatan itu
nyaris selalu merupakan pihak yang sama, yakni individu dan kelompok
di ranah kebudayaan itu sendiri.
Dalam perspektif
analisis wacana, fakta di atas bisa disebut sebagai gejala dari matinya
ujaran (parole) yang dengan begitu
berarti pula matinya wacana. Matinya wacana sedemikian disebabkan terputusnya
relasi antara para pelibat di dalam medan wacana akibat tingginya tegangan
kuasa. Wacana atau praktik penggunaan bahasa yang secara positif memproduksi
pengetahuan, menciptakan relasi kuasa, serta mengidentifikasi berbagai posisi
identitas dan subyektivitas (Foucault, 1990) justru malah kontraproduktif.
DPR, institusi
demokrasi itu, justru malah bersembunyi di balik "lorong gelap
demokrasi"-meminjam Yasraf Amir Piliang-dan melakukan anarki terhadap
bahasa. Suara-suara dalam wacana hanya dianggap sebagai keributan dan, karena
itu, mereka tetap berjalan menyeret RUU itu dengan telinga tertutup. Di situ
sosialisasi dan diskusi dengan publik hanyalah alibi.
Hal spesifik yang
penting digarisbawahi adalah soal ketiga di atas, yakni homogenitas pelibat
dalam medan wacana. Padahal, kebudayaan sendiri diyakini sebagai "yang
heterogen". Fakta ini kiranya menandai bahwa dalam masyarakat kita
kebudayaan masih disikapi sebagai sebuah ruang eksklusif, hanya milik mereka
yang ada di dalam ranah itu. Dengan kata lain, kebudayaan diposisikan sebagai
entitas yang berada "jauh di
sana, di luar diri", sebagai pengetahuan. Padahal, berbagai perspektif
mutakhir menyebutkan bahwa kebudayaan adalah laku keseharian, hal-hal biasa,
sesuatu yang tak lain merupakan kehidupan itu sendiri (Barker, 2000).
Bandingkan dengan
masalah politik, misalnya, yang bisa mengundang berbagai pihak berkomentar
jika terdapat persoalan tertentu yang mengganggu. Di media sosial pun sejauh
ini tidak pernah muncul trending topic
tentang kebudayaan. Para netizen tampak
tidak familiar dengan isu kebudayaan-kecuali jika yang dimaksudnya
adalah kebudayaan populer. Karena itu, penting kiranya menelusuri akar
penyebab kondisi ini.
Represi kuasa
Berkaitan dengan
kekuasaan, sejak zaman kolonial, jarak antara kebudayaan dan masyarakat
sedemikian memang sengaja diciptakan pemerintah melalui berbagai
kebijakannya. Tod Jones dalam bukunya, Kebudayaan
dan Kekuasaan di Indonesia (2014), menyimpulkan bahwa kebijakan budaya
otoritarian menguasai selama hampir seluruh masa dalam abad ke-20. Kebijakan
budaya otoritarian telah "mengabaikan selera dan afiliasi kelompok dan
individu dengan alasan bahwa subyek-subyek itu tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan penilaian mereka sendiri secara matang dan rasional".
Substansi kebijakan demikian, menurut Jones, tidak berbeda antara masa
kolonial dan kebijakan semua rezim pasca kemerdekaan, terutama rezim
otoritarian Soeharto.
Ketika realitas
kebudayaan yang beragam dan kompleks dirumuskan menjadi fakta bahasa
kebijakan seperti itu, jelas telah terjadi penjarakan antara
subyek dan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang sejatinya hadir di
dalam diri sebagai hasil proses pembelajaran, transformasi dari pengalaman
pra-reflektif ke kreativitas dan refleksi, justru dibetot sedemikian rupa
dari dalam diri, disterilkan, dan ditempatkan pada posisi "tak
terjamah". Alih-alih berakraban dengan tubuh, sebagai sesuatu yang
mewujud, melalui berbagai kebijakan itu kebudayaan justru merepresi tubuh.
Pendidikan pragmatis
Kebudayaan-jika kata
ini dipadankan dengan kata dalam bahasa Inggris, culture, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin, cultura "pengolahan
tanah"-tidak lain adalah proses memberikan makna pada yang semula
dianggap kurang atau malah tak bermakna. Seperti tukang gerabah yang mengubah
tanah liat menjadi guci, kebudayaan adalah usaha "membikin abadi yang
kelak retak"-meminjam Teeuw (1992) dalam catatannya tentang sajak
Goenawan Mohamad. Kebudayaan, dengan begitu, adalah soal penciptaan, soal
kreativitas. Tentu yang diciptakan bukan sesuatu yang melulu teraba (tangible), melainkan juga yang tak
teraba (intangible). Gagasan,
perilaku, nilai, dan hal-hal abstrak lain yang "dibahasakan" adalah
produk penciptaan juga.
Proses mencipta
(berbudaya) sedemikian sesungguhnya hanya bisa diwariskan dan diraih melalui
pendidikan. Prestasi tertinggi belajar (baca: pendidikan), seperti dikatakan
Toeti Heraty (1983), adalah kreativitas. Itu berarti bahwa perspektif
mengenai kebudayaan sangat ditentukan oleh orientasi pendidikan. Jika sikap
kita terhadap kebudayaan bermasalah, dapat dipastikan terdapat hal yang tak
beres di dalam pendidikan. Walhasil, pandangan pemerintah yang sangat
materialistik juga keberjarakan kita
terhadap kebudayaan sebagaimana disinggung di awal jelas bersumber dari sini
pula. Sistem pendidikan kita sejauh ini memang cenderung materialistik dan
pragmatik.
Dalam catatan sejarah,
orientasi pendidikan sedemikian sebenarnya telah muncul sejak lama, yakni
sejak dasawarsa 1960-an, sesudah eksodus tenaga pendidik dari Belanda sebagai
imbas nasionalisasi di berbagai bidang
yang dilakukan pemerintah. Orientasi pendidikan Eropa kontinental yang
berbasis karakter pun bergeser ke pendidikan pragmatik gaya Amerika. Dikenallah kemudian sistem
pendidikan terpimpin, sebuah model pendidikan yang memimpin peserta didik,
terutama mahasiswa, agar cepat lulus.
Satu dasawarsa
kemudian, setelah kekuasaan jatuh ke tangan Soeharto, sistem tersebut kian
mendapatkan tempat. Orientasi
pembangunan Soeharto yang berpusat pada ekonomi kian menggiring pendidikan ke pusaran itu. Prinsip pendidikan yang
ditanamkan Soeharto pada Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I)
adalah investasi keterampilan manusia (Saidi,
2009). Dalam bentuk yang lebih canggih, studi terpimpin pun kemudian
muncul menjadi sistem kredit semester (SKS). SKS adalah model pendidikan yang
berorientasi pada hal teknis. Ia mempercepat masa studi sekaligus juga
memudahkan kalkulasi pengetahuan dus penghitungan honorarium dosen. Jumlah
SKS dalam banyak kasus juga berbanding lurus dengan jumlah fulus. Itu
sebabnya SKS bertahan hingga kini.
Paradigma pendidikan
"positivistik-pragmatik" yang bertemu dengan formalisme negara
otoritarian jelas menjadikan kebudayaan sebagai korban utama. Kebudayaan
disaintifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi hanya sebatas pengetahuan. Kebudayaan,
misalnya, menjadi materi pelajaran hafalan di sekolah dasar dan menengah. Di
perguruan tinggi, umumnya riset-riset akademis juga makin merenggangkan jarak
kebudayaan itu sendiri dari macamnya. Kebudayaan menjadi obyek, bukan subyek.
Berpuluh tahun
kebudayaan hidup dan diwariskan dalam suasana kuasa dan model pendidikan
demikian. Meminjam CG Jung (1990), keberjarakan masyarakat terhadap
kebudayaan telah menjadi ketaksadaran kolektif. Imaji pemerintah dan umumnya
masyarakat tentang kebudayaan pun berpusar pada "yang membenda" (material culture). Oleh sebab itu,
sekali lagi, kebudayaan menjadi entitas di luar diri. Mengutip puisi Chairil
Anwar, aku dan "kawanku hanya
rangka saja/karena dera mengelucak tenaga". Begitulah, kebudayaan
kita pun hidup dalam kematiannya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar