Minggu, 07 Februari 2016

Hidupnya Kebudayaan

Hidupnya Kebudayaan

Acep Iwan Saidi  ;   Dosen Desain dan Kebudayaan pada Sekolah Pascasarjana ITB
                                                     KOMPAS, 06 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judul tulisan ini bisa dibaca dengan logika terbalik, yakni "Matinya Kebudayaan". Untuk sampai ke situ, baiklah diperhatikan kisah RUU Kebudayaan yang pada 17 Desember 2015 telah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR (Kompas, 18 Desember 2015).

Paling tidak ada  tiga titik problematik tentang hal ini. Pertama, sepanjang penyusunannya, RUU ini terus-menerus diperdebatkan. Kedua, seruncing-runcing perdebatan, rupanya ia tak berpengaruh pada substansi RUU (Kompas, 5/1/2016 dan 6/1/2016). Ketiga, para pelibat perdebatan itu  nyaris selalu merupakan pihak yang sama, yakni individu dan kelompok di ranah kebudayaan itu sendiri.

Dalam perspektif analisis wacana, fakta di atas bisa disebut sebagai gejala dari matinya ujaran (parole) yang dengan begitu berarti pula matinya wacana. Matinya wacana sedemikian disebabkan terputusnya relasi antara para pelibat di dalam medan wacana akibat tingginya tegangan kuasa. Wacana atau praktik penggunaan bahasa yang secara positif memproduksi pengetahuan, menciptakan relasi kuasa, serta mengidentifikasi berbagai posisi identitas dan subyektivitas (Foucault, 1990) justru malah kontraproduktif.

DPR, institusi demokrasi itu, justru malah bersembunyi di balik "lorong gelap demokrasi"-meminjam Yasraf Amir Piliang-dan melakukan anarki terhadap bahasa. Suara-suara dalam wacana hanya dianggap sebagai keributan dan, karena itu, mereka tetap berjalan menyeret RUU itu dengan telinga tertutup. Di situ sosialisasi dan diskusi dengan publik hanyalah alibi.

Hal spesifik yang penting digarisbawahi adalah soal ketiga di atas, yakni homogenitas pelibat dalam medan wacana. Padahal, kebudayaan sendiri diyakini sebagai "yang heterogen". Fakta ini kiranya menandai bahwa dalam masyarakat kita kebudayaan masih disikapi sebagai sebuah ruang eksklusif, hanya milik mereka yang ada di dalam ranah itu. Dengan kata lain, kebudayaan diposisikan sebagai entitas yang berada  "jauh di sana, di luar diri", sebagai pengetahuan. Padahal, berbagai perspektif mutakhir menyebutkan bahwa kebudayaan adalah laku keseharian, hal-hal biasa, sesuatu yang tak lain merupakan kehidupan itu sendiri (Barker, 2000).

Bandingkan dengan masalah politik, misalnya, yang bisa mengundang berbagai pihak berkomentar jika terdapat persoalan tertentu yang mengganggu. Di media sosial pun sejauh ini tidak pernah muncul trending topic tentang kebudayaan. Para netizen tampak  tidak familiar dengan isu kebudayaan-kecuali jika yang dimaksudnya adalah kebudayaan populer. Karena itu, penting kiranya menelusuri akar penyebab kondisi ini.

Represi kuasa

Berkaitan dengan kekuasaan, sejak zaman kolonial, jarak antara kebudayaan dan masyarakat sedemikian memang sengaja diciptakan pemerintah melalui berbagai kebijakannya. Tod Jones dalam bukunya, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia (2014), menyimpulkan bahwa kebijakan budaya otoritarian menguasai selama hampir seluruh masa dalam abad ke-20. Kebijakan budaya otoritarian telah "mengabaikan selera dan afiliasi kelompok dan individu dengan alasan bahwa subyek-subyek itu tidak memiliki kapasitas untuk melakukan penilaian mereka sendiri secara matang dan rasional". Substansi kebijakan demikian, menurut Jones, tidak berbeda antara masa kolonial dan kebijakan semua rezim pasca kemerdekaan, terutama rezim otoritarian Soeharto.

Ketika realitas kebudayaan yang beragam dan kompleks dirumuskan menjadi fakta bahasa kebijakan seperti itu, jelas telah terjadi penjarakan  antara  subyek dan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang sejatinya hadir di dalam diri sebagai hasil proses pembelajaran, transformasi dari pengalaman pra-reflektif ke kreativitas dan refleksi, justru dibetot sedemikian rupa dari dalam diri, disterilkan, dan ditempatkan pada posisi "tak terjamah". Alih-alih berakraban dengan tubuh, sebagai sesuatu yang mewujud, melalui berbagai kebijakan itu kebudayaan  justru merepresi tubuh.

Pendidikan pragmatis

Kebudayaan-jika kata ini dipadankan dengan kata dalam bahasa Inggris, culture, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin, cultura "pengolahan tanah"-tidak lain adalah proses memberikan makna pada yang semula dianggap kurang atau malah tak bermakna. Seperti tukang gerabah yang mengubah tanah liat menjadi guci, kebudayaan adalah usaha "membikin abadi yang kelak retak"-meminjam Teeuw (1992) dalam catatannya tentang sajak Goenawan Mohamad. Kebudayaan, dengan begitu, adalah soal penciptaan, soal kreativitas. Tentu yang diciptakan bukan sesuatu yang melulu teraba (tangible), melainkan juga yang tak teraba (intangible). Gagasan, perilaku, nilai, dan hal-hal abstrak lain yang "dibahasakan" adalah produk penciptaan juga.

Proses mencipta (berbudaya) sedemikian sesungguhnya hanya bisa diwariskan dan diraih melalui pendidikan. Prestasi tertinggi belajar (baca: pendidikan), seperti dikatakan Toeti Heraty (1983), adalah kreativitas. Itu berarti bahwa perspektif mengenai kebudayaan sangat ditentukan oleh orientasi pendidikan. Jika sikap kita terhadap kebudayaan bermasalah, dapat dipastikan terdapat hal yang tak beres di dalam pendidikan. Walhasil, pandangan pemerintah yang sangat materialistik  juga keberjarakan kita terhadap kebudayaan sebagaimana disinggung di awal jelas bersumber dari sini pula. Sistem pendidikan kita sejauh ini memang cenderung materialistik dan pragmatik.

Dalam catatan sejarah, orientasi pendidikan sedemikian sebenarnya telah muncul sejak lama, yakni sejak dasawarsa 1960-an, sesudah eksodus tenaga pendidik dari Belanda sebagai imbas  nasionalisasi di berbagai bidang yang dilakukan pemerintah. Orientasi pendidikan Eropa kontinental yang berbasis karakter pun bergeser ke pendidikan pragmatik  gaya Amerika. Dikenallah kemudian sistem pendidikan terpimpin, sebuah model pendidikan yang memimpin peserta didik, terutama mahasiswa, agar cepat lulus.

Satu dasawarsa kemudian, setelah kekuasaan jatuh ke tangan Soeharto, sistem tersebut kian mendapatkan  tempat. Orientasi pembangunan Soeharto yang berpusat pada ekonomi kian menggiring pendidikan ke  pusaran itu. Prinsip pendidikan yang ditanamkan Soeharto pada Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) adalah investasi keterampilan manusia (Saidi, 2009). Dalam bentuk yang lebih canggih, studi terpimpin pun kemudian muncul menjadi sistem kredit semester (SKS). SKS adalah model pendidikan yang berorientasi pada hal teknis. Ia mempercepat masa studi sekaligus juga memudahkan kalkulasi pengetahuan dus penghitungan honorarium dosen. Jumlah SKS dalam banyak kasus juga berbanding lurus dengan jumlah fulus. Itu sebabnya SKS bertahan hingga kini.

Paradigma pendidikan "positivistik-pragmatik" yang bertemu dengan formalisme negara otoritarian jelas menjadikan kebudayaan sebagai korban utama. Kebudayaan disaintifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi hanya sebatas pengetahuan. Kebudayaan, misalnya, menjadi materi pelajaran hafalan di sekolah dasar dan menengah. Di perguruan tinggi, umumnya riset-riset akademis juga makin merenggangkan jarak kebudayaan itu sendiri dari macamnya. Kebudayaan menjadi obyek, bukan subyek.

Berpuluh tahun kebudayaan hidup dan diwariskan dalam suasana kuasa dan model pendidikan demikian. Meminjam CG Jung (1990), keberjarakan masyarakat terhadap kebudayaan telah menjadi ketaksadaran kolektif. Imaji pemerintah dan umumnya masyarakat tentang kebudayaan pun berpusar pada "yang membenda" (material culture). Oleh sebab itu, sekali lagi, kebudayaan menjadi entitas di luar diri. Mengutip puisi Chairil Anwar, aku dan "kawanku hanya rangka saja/karena dera mengelucak tenaga". Begitulah, kebudayaan kita pun hidup dalam kematiannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar