Lafran Pane dan Pahlawan Nasional
Baharuddin Aritonang ;
Mantan
Ketua Komisariat dan Ketua PB HMI;
Doktor Ilmu Hukum; Anggota
Lembaga Pengkajian MPR (2015-2019)
|
REPUBLIKA, 29 Januari
2016
Dengan aktif di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya tidak asing dengan tokoh Lafran Pane.
Secara pribadi, saya kenal beliau. Sering berkunjung dan berdiskusi di
perumahan IKIP Yogyakarta (kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta).
Kebetulan beliau satu
kampung dengan saya. Jika saya lahir di Padangsidempuan, Lafran lahir di
Sipirok pada 5 Februari 1922. Ketika itu, kedua kota ini masih di kabupaten
yang sama, yakni Kabupaten Tapanuli Selatan (setelah Padangsidempuan menjadi
kota tersendiri pada 2001, Sipirok menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli
Selatan). Kedua kota ini berjarak 33 kilometer.
Soal tempat lahir ini
sebenarnya menarik ditulis. Karena ada juga yang menulis beliau lahir di
Padangsidempuan (lihat, antara lain, Fachry Ali, Dimensi-Dimensi Lafran Pane,
harian Republika, 17 Desember 2015). Dari cerita beliau kepada saya, beliau
lahir di Sipirok.
Demikian juga menurut
catatan keluarga, melalui Ir Iqbal Pane, beliau juga lahir di Sipirok. Orang
tua Pak Lafran, Sutan Pangurabaan, merupakan tokoh yang berasal dari Sipirok.
Memang pernah menjadi guru di Muarasipongi dan Padangsidempuan, akan tetapi
sebagian besar hidupnya tinggal di Sipirok. Banyak buku karyanya ditulis di
Sipirok, walau beberapa diterbitkan di Padangsidempuan dan Sibolga.
Lafran Pane merupakan
anak bungsu dari enam bersaudara (di antara saudaranya, Sanusi Pane dan
Armijn Pane). Berdasar riwayat hidupnya, baik yang ditulis Prof Agus Salim
Sitompul maupun ditulis Horiqo Wibawa Satria di buku Lafran Pane, Jejak Hayat
dan Pemikirannya (Penerbit Lingkar, Jakarta, 2010), Pak Lafran pernah menghabiskan
masa sekolahnya di Padangsidempuan, Sibolga, Medan, dan Jakarta. Pernah juga
bekerja di Padangsidempuan sebelum kembali ke Jakarta dan aktif di
kepemudaan.
Memasuki masa kuliah,
Pak Lafran pindah ke Yogyakarta, tempat saat beliau melahirkan karya
monumentalnya, yakni organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
melahirkan banyak tokoh nasional. Ketika masih menjadi mahasiswa Sekolah
Tinggi Islam (STI), Lafran memprakarsai dan mendirikan HMI pada 5 Februari
1947.
Di tengah berkecamuk
sejarah bangsa dan negara yang baru saja didirikan dan ketika penjajah masih
berniat mencengkeram negeri ini, sekelompok mahasiswa yang diprakarsai Lafran
Pane mendirikan HMI. Tujuannya, pertama, mempertahankan negara Republik
Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam.
Tujuan pendirian HMI
ini jelas, yakni mempertahankan negara RI yang baru saja dimerdekakan serta
menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, khususnya melalui kehidupan
kemahasiswaan. Itulah sebabnya, saat ulang tahun pertama HMI, Jenderal
Sudirman menyebut HMI juga sebagai harapan masyarakat Indonesia.
Sejak berdiri,
organisasi ini bersifat independen, tidak menjadi urderbouw dari partai atau
organisasi mana pun. Secara perseorangan, anggota dan alumninya banyak
memasuki organisasi, kelompok, atau partai. Pilihan yang independen inilah
yang membuat HMI tetap tegar hingga kini.
Di HMI, semua kelompok
atau aliran Islam dapat berkiprah. Demikian juga yang memilih aliran politik.
HMI amat digandrungi mahasiswa. Anggotanya ratusan ribu, alumninya sudah
memasuki hitungan jutaan (konon lima juta sampai enam juta).
Setelah lulus sebagai
mahasiswa, alumninya pun menyebar di berbagai lapisan masyarakat. Alumni HMI
banyak yang menjadi dosen dan peneliti di berbagai perguruan tinggi, menjadi
petani atau nelayan, pengusaha, PNS atau birokrat, di lingkup militer,
menjadi politikus, maupun kepala daerah atau pejabat negara. Termasuk, yang
menentukan arah perjalanan bangsa dan negara. Mereka menjadi pioner di
berbagai bidang.
Apakah Prof Lafran
Pane hanya melahirkan karya dalam bentuk HMI yang telah melahirkan banyak
kader bangsa? Jelas tidak. Pak Lafran juga menjadi panutan atau sumber
inspirasi bagi banyak kadernya.
Lafran juga menjadi
tokoh pemuda, ikut secara langsung dalam pergerakan pemuda di seputar
kemerdekaan RI, antara lain, di Pegangsaan Timur, kini Jalan Proklamasi,
Jakarta, bersama tokoh pemuda lainnya. Dalam kiprahnya seusai menyelesaikan
pendidikannya, di STI dan lulus sebagai sarjana politik pertama dari UGM dan
kemudian menjadi dosen atau pengajar untuk mata kuliah yang terkait dengan
kenegaraan.
Sebagai guru besar di
IKIP Yogyakarta dan mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti di UGM,
UII, dan IKIP, Lafran Pane menunjukkan sikap yang tegas untuk "digugu
dan ditiru" dengan sikap hidup yang rendah hati dan tidak suka
menonjolkan diri, jujur, dan sederhana yang dilaksanakan secara konsisten.
Ke mana-mana, beliau
selalu naik sepeda. Saya masih ingat di kala kami berpapasan di Bulaksumur,
kampus UGM, seusai memberi kuliah di Fakultas Sospol dan saya menuju
fakultas. Kami sama-sama berhenti di pinggir jalan untuk sekadar bertegur
sapa.
Sedangkan, rumahnya di
Karangmalang, rumah dinas yang tidak memiliki saluran telepon. Sampai akhir hayatnya,
Lafran tidak memiliki rumah pribadi. Termasuk, setelah diangkat menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diperjuangkan oleh Dr Akbar
Tandjung. Di DPA, Lafran mewakili tokoh masyarakat atau HMI, bukan partai
politik, untuk menunjukkan sikap independensinya.
Penghasilannya habis
untuk membiayai sekolah kedua putra dan seorang putrinya. Pernah suatu
ketika, para alumni HMI yang sudah berhasil di Jakarta ingin membelikan rumah
dengan isinya serta mobil sebagai kendaraan sehari-hari. Niat itu ditolak
secara halus oleh Lafran Pane. Sikap hidup jujur dan sederhana serta
independen inilah yang menginspirasi banyak tokoh yang lahir dari HMI.
Pemikiran Pak Lafran
juga menjangkau jauh ke depan. Dalam pidato pengukuhan guru besar Tata Negara
di IKIP Yogyakarta pada 1970, Lafran Pane telah menegaskan bila UUD 1945 yang
disusun BPUPKI dan diputuskan PPKI pada 1945 dan berlaku kembali melalui
Dekrit 5 Juli 1959 adalah bersifat sementara.
Karena itu, perlu
dipikirkan Perubahan UUD 1945. Jika langkah ini ditempuh, Pembukaan UUD 1945
jangan menjadi objek perubahan karena memuat enam prinsip dasar. Lantas
dikemukakan, jika MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, maka semua anggota
MPR haruslah dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga Presiden, perlu dipilih
langsung oleh rakyat, jika memang kita memilih sistem presidensial.
Ketika proses
perubahan UUD 1945 berlangsung pada 1999-2002 maka pemikiran ini termasuk
menjadi pilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan UUD 1945
mengakibatkan MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang juga menyusun
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tentu saja, masih banyak pemikiran
Lafran Pane yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk,
tidak perlunya tafsir tunggal atas Pembukaan UUD 1945.
Berbagai karya inilah
yang menyebabkan Keluarga Alumni HMI atau KAHMI mengusulkan agar Prof Lafran
Pane dijadikan sebagai pahlawan nasional. Karena jasa-jasanya ini telah
mencapai tahapan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Organisasi HMI yang
diprakarsai dan didirikannya telah melahirkan banyak kader bangsa yang
membangun tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dan perilakunya
telah menginspirasi kader-kadernya dalam membangun keindonesiaan dan
keislaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar