Selamat Tahun Baru, (Gubernur) Jakarta!
Prathiwi W Putri ; Doctor of Engineering Science, Planning
and Development
|
INDOPROGRESS, 13
Januari 2016
APAKAH akan ada tahun
yang benar-benar baru bagi Jakarta dan warganya? Tahun 2016 akan sarat dengan
kontes gagasan menuju pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Jakarta yang
benar-benar baru, semestinya bukanlah milik elit-elit politik saja. Tahun
yang baru bagi Jakarta adalah juga perkara politik keseharian, politik
warganya! Mencari gubernur yang berpihak pada warga, dan bukan pada pemilik
modal besar serta korporasi global adalah salah satu tugas besar. Mengapa ini
hanya satu tugas besar, apa tugas besar yang lain?
Tugas besar lain
adalah mencari kepemimpinan kolektif. Dan ini bukan saja sulit dilakukan,
tapi juga rumit formulasinya. Jika ‘gubernur’ adalah salah satu bentuk dan
representasi institusi negara, representasi apakah kepemimpinan kolektif ini
dan apa wadahnya? Menurut saya, tidak ada jawaban tunggal. Secara mendasar,
ide kepemimpinan kolektif adalah syarat mutlak terbentuknya negara modern
yang sesungguhnya, dengan masyarakat sipil yang berdaya memperjuangkan
aspirasinya serta mampu mengontrol kinerja gubernurnya. Namun persoalannya
tidak sesederhana itu. Gagasan ‘masyarakat sipil’ pun sarat dengan
kontestasi. Bagi saya, gagasan kepemimpinan kolektif akan selalu
dipertarungkan, dan sejatinya perlu melampaui gagasan demokrasi modern yang
diusung pemangku kepentingan ekonomi neoliberal.
Dalam keseharian,
sejauh mana gagasan kepemimpinan kolektif ini menjadi aktual? Saat ini belum
ada tawaran gagasan dari kelompok-kelompok gerakan sosial untuk mewujudkan
kepemimpinan kolektif atau tata kelola kota alternatif. Menyambut kontes
gagasan 2016, berikut tujuh pokok pikiran yang perlu menjiwai kepemimpinan
kolektif menuju masa depan, merajut sejarah baru sembari memutusnya dari
tahun-tahun lampau pemerintahan kota Jakarta.
Pemahaman Progresif akan Sejarah Kota
Ketertindasan di kota
adalah bagian dari sejarah ketertindasan umat manusia. Kota Jakarta dalam
gerak pertumbuhannya tidak bebas dari berbagai bentuk peristiwa peminggiran
warganya. Dalam bentuk yang paling brutal adalah penggusuran paksa dan
pembiaran meningkatnya aksi-aksi kriminal dengan kekerasan senjata, termasuk
kekerasan pada perempuan di ruang publik. Kisah-kisah pahit penindasan dan
ketidakadilan tertulis sejak masa kolonial sampai detik ini.
Secara umum,
karakteristik seperti di atas juga dialami kota-kota Asia Tenggara lain yang
terbentuk dalam relasi-sosial industrialisasi/ modernisasi ekonomi yang
tumbuh dari akar-akar relasi-sosial feodal dan politik rasis pemerintahan
kolonial. Persandingan antara relasi-sosial dalam ekonomi modern dan
relasi-sosial masyarakat feodal membawa banyak kerumitan, baik pada level
abstraksi-analisis maupun pada level teknis-pembuatan kebijakan dan program
kerja pembangunan. Pada satu sisi, modernisasi banyak membebaskan
individu-individu dari bentuk penindasan zaman yang mendahuluinya. Sebutlah
pembebasan dari perhambaan zaman feodal, yang disertai dengan gagasan negara
modern menjamin kesetaraan individu dalam mendapatkan hak-hak dasar. Contoh
lain adalah emansipasi perempuan dalam ranah politik. Namun, pada sisi lain,
negara modern yang banyak mensyaratkan individualisasi juga telah
menghancurkan banyak kekuatan-kekuatan kolektif komunitas yang padanya
melekat kental relasi-sosial yang tidak dapat diakomodasi oleh negara modern
dan industrialisasi ekonomi, namun mendukung kelangsungan livelihoods
komunitas di perkotaan.
Dekonstruksi makna
modernisasi menjadi satu langkah penting untuk dapat melihat sejarah
perkembangan Jakarta dan kota-kota Indonesia lain secara kritis. Perlu
dipahami bahwa urbanisasi adalah proses penting bagi modernisasi corak
produksi, yakni kapitalisme, juga dalam modelnya yang paling anyar:
neoliberalisme. Salah satu logika urbanisasi dalam masyarakat kapitalis
adalah pengorganisasian individu-individu secara spasial baik sebagai tenaga
kerja maupun konsumen. Satu syarat bagi berlangsungnya perputaran kapital dan
akumulasi profit adalah terjaminnya daya konsumsi dan stabilitas
sosial-politik. Ide negara kesejahteraan pun menjamin ini, yang terwujud
dalam bentuk, antara lain, kebijakan dan pelayanan perumahan rakyat serta
transportasi massal untuk mempermudah hidup di kota , sekaligus menjamin
keberlangsungan industri barang dan jasa.
Ide kesejahteraan
mulai diterapkan pada zaman Politik Etis, namun dalam pelaksanaannya menjadi
pincang karena berlanjutnya politik rasisme kolonial. Sejak zaman Orde Baru,
ide kesejahteraan ini direformulasikan untuk memupuk kenyamanan kelas
menengah sementara pelayanan dasar untuk semua orang sangat minim, atau dapat
diakses dengan syarat mutlak ‘kepatuhan’ dalam negara yang militeristik.
Tentu ide kesejahteraan perlu terus digodok. Warga mana tak mau sejahtera?
Sejauh apa ide kesejahteraan warga kota dapat digagas oleh kolektif warganya
sendiri menjadi sebuah diskursus yang penting. Mencari bentuk baru ide
kesejahteraan bagi warga tak akan berhasil tanpa upaya merekonstruksi sejarah
kota yang progresif.
Budaya Kota dan Soal Kebangsaan
Apa pentingnya ‘negara
bangsa’ bagi ‘budaya kota’ dan sebaliknya? Lagi-lagi tak ada jawaban tunggal
atas pertanyaan ini. Relasi antara keduanya selalu bergeser bentuknya. Pada
era otonomi daerah, yang adalah salah satu syarat model kapitalisme era
neoliberal, makna teritorial kota menjadi semakin penting bagi fluiditas
kapital dan fleksibilitas pengambilan keputusan terkait investasi. Namun
demikian, semakin menguatnya peran teritorial kota tidak mengeliminasi
pentingnya peran institusi negara. Dalam logika kapitalisme, negara masih
dibutuhkan dalam mengatur persaingan antara kekuatan modal di berbagai kota
atau dalam mengatur migrasi dan aglomerasi penduduk. Adakah kebutuhan lain
akan relasi ‘negara’ dan ‘kota’ bagi warga negara dan warga kota? Jawaban
atas pertanyaan ini juga perlu dicari oleh sebuah kepemimpinan kolektif. Bagi
saya, agenda mendesak untuk mereformulasikan hubungan ‘negara’, ‘bangsa’ dan
‘kota’ dilandasi oleh soal ‘kerja’.
Migrasi penduduk ke
Jakarta tidak melulu karena adanya pekerjaan yang layak yang ditawarkan ibu
kota. Dalam banyak kasus migrasi, pemiskinan di area-area pedesaan dan
pengambilalihan lahan besar-besaran menjadi pendorong yang amat kuat. Maka
tugas kepemimpinan kolektif adalah juga soal menciptakan kerja dan lingkungan
kerja yang layak di kota. Pertanyaan mendasar seperti untuk apakah kita hidup
menjadi pertanyaan yang praktikal sekaligus imajinatif. Apakah arti kerja
bagi kebudayaan masyarakat sipil secara umum? Apakah menghabiskan waktu lima
jam sehari di jalanan Jakarta dari rumah ke kantor merupakan sumbangsih untuk
kemanusiaan dan kebudayaan yang lebih maju? Lingkungan hidup seperti apakah
yang kita bayangkan ideal? Bagaimanakah kita menggunakan waktu dalam
keseharian kita, untuk apa dan siapa? Bagaimanakah hidup di kota dengan pola
konsentrasi penduduknya yang berbeda dari desa dapat menjadi jalan mencapai
kualitas hidup yang lebih berbudaya serta mengembalikan kelestarian alam?
Terkait dengan pokok
pikiran pertama, membicarakan budaya kota dalam hubungannya dengan persoalan
bangsa adalah bagian dari merekonstruksi sejarah pertumbuhan kota secara
progresif. Lebih jauh dari sekedar mengenali si ‘Mercu Suar’ Jakarta sebagai
simbol pemerintahan Orde Lama atau Orde Baru serta pilar modernisasi
perekonomian dan gaya hidup, Kota Jakarta di masa depan sejatinya
mencerminkan keragaman budaya nusantara. Keragaman budaya yang saya maksud
bukanlah soal romantika kesenian tradisi, tetapi secara radikal kita perlu
mengenali ragam budaya produksi ruang (the
production of space dalam bahasa Lefebvrian). Bagaimanakah kita dapat
memahami dengan mendalam, antara lain, keberagaman sikap dan kebajikan
menghadapi perubahan sosial-politik dalam ruang kota, termasuk didalamnya
adalah perubahan ekologis? Dapatkah Jakarta tumbuh dengan mengakomodasi
keberagaman produksi ruang? Ini juga berarti sadar sepenuhnya akan konteks
negara kepulauan dengan relasi desa-kota yang kuat, lihat pokok pikiran
berikut.
Kesadaran Sosial-Ekologis: Desa-Kota dan Kepulauan
Saya pikir ciri khas
kota-kota di Indonesia secara umum dan kota Jakarta sebagai ibu kota adalah
konteksnya dalam negara kepulauan. Kota dan daratan sesungguhnya adalah
sebagian saja dari bentang maritim. Budaya produksi ruang modern kita
sayangnya belum mengeksplorasi karakteristik ini secara optimal. Termasuk di
dalamnya adalah kebutuhan untuk melihat kembali hubungan kita dengan semesta
air (siklus sosial-ekologis air dalam bentang air seperti danau, laut dan
sungai yang melintasi teritori-teritori administratif).
Corak produksi ekonomi
dan corak produksi kota-kota Indonesia beragam, namun secara umum memiliki
relasi desa-kota yang kental dalam konteks kepulauan ini. Pengetahuan kita
sesungguhnya masih minim untuk memahami relasi desa-kota yang membentuk Jakarta.
Ini bukan hanya perkara data aktual soal mobilitas penduduk, di mana mereka
bermukim dan seberapa sering pergantian tempat tinggal atau pola pemadatan
kota Jakarta sepanjang tahun. Pengetahuan yang sungguh perlu dirangkai adalah
soal seberapa jauh relasi sosial di kota dan di desa berubah seiring dengan
perkembangan kota Jakarta berikut eksploitasi alam yang mengikutinya; sejauh
apa bentang ‘baru’ perkotaan telah memaksa relasi sosial ‘baru’ di desa dan
di kota; sejauh apa konfigurasi ruang yang bernama ‘kota’ telah meminggirkan
kelompok-kelompok sosial tertentu, dan sebagainya. Memahami hal ini akan
membawa kita ke pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Sejauh apa kita
membutuhkan Jakarta? Bagaimana dengan Makasar, Banyuwangi, Denpasar,
Palembang atau Manokwari?
Melampaui sang Teknokrat: Kepentingan Publik dan Kebijakan
Publik dalam Tata Ruang
Menyambung gagasan
pada pokok-pokok pikiran sebelumnya, berikut merupakah pertanyaan penting.
Siapakah yang berhak dan memiliki kapasitas untuk menginterpretasikan makna
relasi desa-kota, makna budaya kota serta kebutuhan-kebutuhan mendesak di
kota? Secara mendasar, apakah sebuah perubahan sosial akibat konfigurasi
geografis yang bernama ‘kota’ dengan segala dinamikanya dapat dinilai
destruktif maupun konstruktif merupakan kenyataan objektif yang subjektif.
Artinya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan adalah bagian dari
kontes gagasan dan konstruksi pemahaman. Bagi rezim neoliberal yang diamini
banyak kalangan kelas menengah, misalnya, penggusuran warga kumuh di bantaran
kali adalah lumrah, sementara membangun shopping
mall dan taman kota baru di muka air dengan slogan ‘waterfront development’ adalah budaya maju perkotaan.
Diskursus-diskursus seperti ini, menurut saya, perlu ditanggapi dengan
argumentasi yang kritis, yang dibangun atas kesadaran material-historis soal
eksistensi umat manusia: kebutuhan akan air, pangan dan udara yang sehat bagi
semua orang.
Dulu Fauzi Bowo sering
berujar, serahkan pada ahlinya. Betul bahwa mengatur pemanfaatan sumber daya
alam dan mekanisme akses warga atasnya membutuhkan pengetahuan teknis. Ada
sekelompok orang dalam masyarakat yang sudah terlatih dalam bidang-bidang
keteknisan tertentu dan mereka dibayar untuk pekerjaan-pekerjaan tersebut,
jadi serahkanlah pada mereka. Namun yang mendasari pekerjaan mereka
sesungguhnya adalah kepentingan publik dan pekerjaan mereka perlu dipayungi
oleh kebijakan publik yang inklusif. Perumusan kebijakan publik yang inklusif
adalah tugas kepemimpinan kolektif. Tata ruang harus mengabdi pada kepentingan
publik ini. Alokasi lahan perlu diutamakan bagi sektor-sektor dasar seperti
perumahan rakyat, air sanitasi dan lingkungan hidup, fasilitas kesehatan dan
pendidikan.
Poros Baru Tata Ruang: Kelas Pekerja dan Sektor Informal
Jika tata ruang Batavia
dan Jakarta pada masa lalu lebih berorientasi pada kebutuhan rezim politik
untuk melindungi sirkulasi modal besar dan akumulasi profitnya, maka Jakarta
yang benar-benar baru perlu memikirkan poros tata ruang yang baru, yang
bersandar pada kebutuhan kelas pekerjanya, termasuk pekerja sektor informal
yang kebanyakan bermukim di pinggiran Jakarta. Gagasan anti-diskriminasi di
kota perlu diterjemahkan menjadi kebijakan hunian dan lingkungan inklusif
yang memberikan perhatian besar pada pasar-pasar rakyat, stasiun-stasiun
kereta api dan terminal-terminal bus kota. Secara geografis-spasial,
lingkar-lingkar terluar kota Jakarta perlu diperhatikan, keluar dari
pengutamaan koridor-koridor bisnis saat ini yang berpusat di
Thamrin-Sudirman-Kuningan dan sekitarnya.
Habitat! Bukan Infrastruktur
Saya telah menyebutkan
pasar-pasar rakyat, stasiun-stasiun kereta api dan terminal-terminal bus kota
sebagai ruang bagi publik yang perlu diutamakan. Namun ruang-ruang ini
bukanlah infrastruktur fisik belaka, melainkan sebagai habitat yang saling
terkait bagi ekonomi kerakyatan. Padanya melekat jaringan produksi-konsumsi
yang tidak sepenuhnya tunduk pada corak produksi kapitalisme. Tentu menjadi
perdebatan tersendiri apakah jaringan produksi-konsumsi yang lain ini dapat menjamin
kesetaraan dan kesejahteraan ataukah lebih banyak berpotensi mempertebal
kesenjangan sosial-ekonomi karena juga sulit untuk diregulasi secara adil.
Namun demikian, ruang-ruang publik seperti pasar, stasiun dan terminal dapat
diasumsikan mengakomodasi kebutuhan rakyat kebanyakan.
Di sekitar lokasi
ruang-ruang ini terkonsentrasi banyak kampung kota. Memperhatikan kampung
kota dengan keterkaitannya pada ruang-ruang publik tersebut di atas berarti
memberikan tempat di kota bagi komunitas dan rumah tangga sebagai aktor-aktor
yang merawat identitas kota kerakyatan. Komunitas dan rumah tangga seringkali
hanya menjadi penting menjelang pemilu, sementara pada kenyataannya memiliki
kekuatan produksi ruang yang luar biasa, ruang hidup sehari-hari. Mengorganisasikan
kekuatan politik komunitas dan rumah tangga sebagai tulang punggung
pemerintahan kolektif di kota adalah sebuah pekerjaan rumah yang besar. Tentu
ini adalah bagian dari kontestasi gagasan, sejauh apa peran komunitas perlu
dan dapat mengisi absennya peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warga
kota.
Habitat bagi pemenuhan
sandang pangan dan papan sejatinya tidak bisa dipisah-pisahkan seperti dalam
pengorganisasian ruang-ruang komoditas kapitalisme. Jakarta dibangun dengan
banyak area perkantoran dan bisnis yang terpisah dari area hunian, menyisakan
banyak bagian kota yang mati pada malam hari. Area-area yang diisi oleh kelas
pekerja dan sektor informal nyaris tak pernah mati, karena apa itu produksi
dan apa itu reproduksi terjadi secara berkesinambungan dalam dimensi spasial
dan temporal yang beragam.
Anak Muda punya Kota
Masa depan terletak di
bahu kaum muda. Kota Jakarta mesti tumbuh dengan banyak ruang untuk anak
muda. Tak ada kota yang maju jika anak mudanya tak punya waktu dan tempat
untuk beraktivitas. Musik, olahraga, teater, seni visual bukan hanya
benda-benda dekoratif penghias kota, tetapi adalah proses sekaligus hasil
dari produksi ruang hidup sehari-hari. Mampukah anak muda Jakarta menggagas
kreasi yang independen dari logika kapital dan menjadi bagian dari upaya
merajut sejarah baru kota Jakarta?
Ruang sosial politik
untuk berdebat dan berdiskusi secara terbuka kita rindukan. Jika tidak di
kampus-kampus, dimanakah arena ini dapat kita ciptakan sehingga juga
mengakomodasi kaum muda yang tidak bisa bersekolah tinggi? Jakarta punya
beberapa gelanggang remaja yang cenderung mati karena hanya diperlakukan
sebagai infrastruktur, dan bukan habitat. Sementara itu banyak pusat-pusat
hiburan yang hidup dengan kontribusi kaum muda semata-mata sebagai konsumen
komoditas hiburan.
Jika kaum muda kita
percayakan sebagai pencipta budaya kota maka akses terhadap kerja yang layak
perlu diperlebar. Dengan kerja yang layak, kaum muda punya waktu luang untuk
berperan serta dalam kerja-kerja pengorganisasian komunitas kota, menciptakan
lingkungan kota yang inklusif serta aktif berkesenian dan berolahraga.
Teknologi-teknologi baru serta inovasi-inovasi sosial dapat muncul sebagai
kreasi kaum muda, bukan sebagai kepanjangan tangan perekonomian neoliberal
tetapi berpihak pada perekonomian kerakyatan dan kelestarian habitat kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar