Model Penyelesaian Konflik Golkar
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional Jakarta
|
JAWA POS, 02
Februari 2016
JALAN ke arah penyelesaian konflik Partai
Golkar telah menun jukkan perkembangan yang signifikan. Pilihan penye
lenggaraan munaslub sebagaimana direkomendasikan rapimnas Partai Golkar versi
Aburizal Bakrie bergayung sambut. Tim transisi dan kubu Agung Laksono tidak
berkeberatan.
Titik klimaks terjadi ketika Menkum HAM turut
mencarikan jalan keluar. Yakni, mengeluarkan kebijakan memperpanjang waktu
kepengurusan Partai Golkar versi Munas Riau pada 2009 guna mempersiapkan
munaslub.
Rencana penyelenggaraan munaslub merupakan
resultan politik penting sebagai babak akhir konflik internal partai
berlambang pohon beringin itu sejak lebih dari setahun belakangan. Konflik
tersebut membuat Golkar terbelenggu gerak politik yang serba terbatas.
Memang, melalui kebijakan tertentu, kedua kubu
bisa menyepakati calon-calon kepala daerah dalam pilkada Desember 2015. Tetapi,
kenyataannya secara politik tetap tidak efektif. Golkar terbilang gagal dalam
pilkada tersebut.
Konflik juga membuat partai yang sudah cukup
tua itu mengalami kemandekan dalam gerak internal organisasi. Bahkan, ia
mengalami kemerosotan politik yang cukup parah. Apalagi Golkar berada dalam
situasi yang seperti sekarang ini bukan karena faktor ideologis, melainkan
elitis-pragmatis.
Ada dua tinjauan yang perlu kita garis bawahi
dalam melihat perkembangan Golkar sekarang. Pertama, perkembangan dinamika
konfliktual antarelitenya. Kedua, tekanan eksternal, terutama berupa faktor
pemerintah. Yang pertama menunjukkan bahwa corak konfliktual Golkar khas,
tidak ada elite dominan yang mampu mengelola perlawanan faksi lain.
Aburizal Bakrie memang mampu membuat dirinya
keluar sebagai calon presiden menjelang Pilpres 2014. Tetapi, pascapilpres,
skenario politiknya kandas oleh perlawanan kubu Agung Laksono.
Maka, dualisme politik terjadi. Ada Golkar
versi munas Bali, tak lain versi Aburizal. Ada pula versi munas Ancol di
bawah kendali Agung Laksono.
Nah, selanjutnya, faktor pemerintah perlu
diperhitungkan, yakni sejak Menkum HAM meng esahkan kepengurusan hasil munas
Ancol, tetapi tidak dengan munas Bali. Menjelang akhir 2015, sesungguhnya
posisi hukum kubu Aburizal di atas angin. Hal itu menyusul adanya putusan
Mahkamah Agung bahwa keabsahan kepengurusan ada di pihak mereka.
Tetapi, Menkum HAM tidak mencabut kepengurusan
munas Ancol, kecuali pada pengujung Desember 2015. Padahal, di sisi lain,
pemerintah belum mengakui kepengurusan hasil munas Bali. Situasi itulah yang
membuat Golkar ’’kosong kepengurusan’’.
Di tengah situasi semacam itu, para sesepuh
Golkar turun tangan. Di bawah payung keputusan Mahkamah Partai Golkar, yang
diklaim masih punya ’’nyawa’’ dalam hal legitimasi kepolitikannya, para
sesepuh ditunjuk sebagai mediator dalam sebuah tim transisi.
Tim itu diketuai Jusuf Kalla yang juga wakil
presiden. Mereka mendesak penyelesaian dilakukan melalui munas rekonsiliasi.
Aspirasi tersebut selaras dengan kubu Agung Laksono.
Dari sini tampak kubu Aburizal tengah
terdesak. Hingga kemudian melalui rapimnas manuver politik dilancarkan.
Aburizal setuju munaslub.
Semua itu merupakan proses yang ditandai
dinamika dan interaksi politik yang kompleks, tetapi bermuara pada jalan keluar
yang rasional-konsesual. Semua pihak, termasuk pemerintah, berkepentingan
dalam hal ini. Secara politik, pemerintah pun memperoleh dampak politik
penting di tengah keterlibatannya menengahi konflik Golkar.
Benefit itu berupa dukungan Golkar sehingga kekuatan
politik pemerintah di parlemen menjadi signifikan tanpa harus memberi jatah
kursi menteri. Jadi, sesungguhnya, model penyelesaian kasus Golkar tersebut,
sebagaimana timbulnya konflik itu sendiri, juga bersifat elitis-pragmatis.
Lalu, apa makna itu semua bagi Golkar dan
demokrasi? Bagi Golkar, prioritas utamanya tentu pulih kembali dari luka-luka
konfliktualnya. Yang penting eksis kembali dan pekerjaan rumah yang sangat
mendesak menanti: konsolidasi serempak dan cepat.
Bagi demokrasi, semoga ini bisa jadi pelajaran
penting bagi partai-partai politik lain bahwa berkonflik memang mudah.
Tetapi, dampak negatif konflik itu keji. Dan, di sisi lain, membangun
konsensus kembali itu tidak mudah selama egoisme politik para elite
ditonjolkan.
Kita perlu partai-partai politik yang
kelembagaannya kuat, tidak rentan konflik, dan fungsional. Yang dikehendaki
publik adalah keberadaan dan peran partai-partai politik yang selaras dengan
fungsi-fungsinya dalam sistem politik yang demokratis.
Partai tidak boleh dibajak para elitenya.
Tidak saja itu merugikan partai tersebut, tetapi juga berkontribusi bagi
anjloknya kualitas demokrasi.
Partai juga tidak boleh dimanipulasi untuk
kepentingan-kepentingan terbatas dan jangka pendek, bukan untuk kepentingan
bangsa yang lebih besar.
Cukuplah ini menjadi pengalaman pahit bagi
Partai Golkar. Semoga partai-partai lain bisa menjadikannya bahan pelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar