Rabu, 03 Februari 2016

Model Penyelesaian Konflik Golkar

Model Penyelesaian Konflik Golkar

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
                                                   JAWA POS, 02 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

JALAN ke arah penyelesaian konflik Partai Golkar telah menun jukkan perkembangan yang signifikan. Pilihan penye lenggaraan munaslub sebagaimana direkomendasikan rapimnas Partai Golkar versi Aburizal Bakrie bergayung sambut. Tim transisi dan kubu Agung Laksono tidak berkeberatan.

Titik klimaks terjadi ketika Menkum HAM turut mencarikan jalan keluar. Yakni, mengeluarkan kebijakan memperpanjang waktu kepengurusan Partai Golkar versi Munas Riau pada 2009 guna mempersiapkan munaslub.

Rencana penyelenggaraan munaslub merupakan resultan politik penting sebagai babak akhir konflik internal partai berlambang pohon beringin itu sejak lebih dari setahun belakangan. Konflik tersebut membuat Golkar terbelenggu gerak politik yang serba terbatas.

Memang, melalui kebijakan tertentu, kedua kubu bisa menyepakati calon-calon kepala daerah dalam pilkada Desember 2015. Tetapi, kenyataannya secara politik tetap tidak efektif. Golkar terbilang gagal dalam pilkada tersebut.

Konflik juga membuat partai yang sudah cukup tua itu mengalami kemandekan dalam gerak internal organisasi. Bahkan, ia mengalami kemerosotan politik yang cukup parah. Apalagi Golkar berada dalam situasi yang seperti sekarang ini bukan karena faktor ideologis, melainkan elitis-pragmatis.

Ada dua tinjauan yang perlu kita garis bawahi dalam melihat perkembangan Golkar sekarang. Pertama, perkembangan dinamika konfliktual antarelitenya. Kedua, tekanan eksternal, terutama berupa faktor pemerintah. Yang pertama menunjukkan bahwa corak konfliktual Golkar khas, tidak ada elite dominan yang mampu mengelola perlawanan faksi lain.

Aburizal Bakrie memang mampu membuat dirinya keluar sebagai calon presiden menjelang Pilpres 2014. Tetapi, pascapilpres, skenario politiknya kandas oleh perlawanan kubu Agung Laksono.

Maka, dualisme politik terjadi. Ada Golkar versi munas Bali, tak lain versi Aburizal. Ada pula versi munas Ancol di bawah kendali Agung Laksono.
Nah, selanjutnya, faktor pemerintah perlu diperhitungkan, yakni sejak Menkum HAM meng esahkan kepengurusan hasil munas Ancol, tetapi tidak dengan munas Bali. Menjelang akhir 2015, sesungguhnya posisi hukum kubu Aburizal di atas angin. Hal itu menyusul adanya putusan Mahkamah Agung bahwa keabsahan kepengurusan ada di pihak mereka.
Tetapi, Menkum HAM tidak mencabut kepengurusan munas Ancol, kecuali pada pengujung Desember 2015. Padahal, di sisi lain, pemerintah belum mengakui kepengurusan hasil munas Bali. Situasi itulah yang membuat Golkar ’’kosong kepengurusan’’.

Di tengah situasi semacam itu, para sesepuh Golkar turun tangan. Di bawah payung keputusan Mahkamah Partai Golkar, yang diklaim masih punya ’’nyawa’’ dalam hal legitimasi kepolitikannya, para sesepuh ditunjuk sebagai mediator dalam sebuah tim transisi.

Tim itu diketuai Jusuf Kalla yang juga wakil presiden. Mereka mendesak penyelesaian dilakukan melalui munas rekonsiliasi. Aspirasi tersebut selaras dengan kubu Agung Laksono.

Dari sini tampak kubu Aburizal tengah terdesak. Hingga kemudian melalui rapimnas manuver politik dilancarkan. Aburizal setuju munaslub.
Semua itu merupakan proses yang ditandai dinamika dan interaksi politik yang kompleks, tetapi bermuara pada jalan keluar yang rasional-konsesual. Semua pihak, termasuk pemerintah, berkepentingan dalam hal ini. Secara politik, pemerintah pun memperoleh dampak politik penting di tengah keterlibatannya menengahi konflik Golkar.

Benefit itu berupa dukungan Golkar sehingga kekuatan politik pemerintah di parlemen menjadi signifikan tanpa harus memberi jatah kursi menteri. Jadi, sesungguhnya, model penyelesaian kasus Golkar tersebut, sebagaimana timbulnya konflik itu sendiri, juga bersifat elitis-pragmatis.

Lalu, apa makna itu semua bagi Golkar dan demokrasi? Bagi Golkar, prioritas utamanya tentu pulih kembali dari luka-luka konfliktualnya. Yang penting eksis kembali dan pekerjaan rumah yang sangat mendesak menanti: konsolidasi serempak dan cepat.

Bagi demokrasi, semoga ini bisa jadi pelajaran penting bagi partai-partai politik lain bahwa berkonflik memang mudah. Tetapi, dampak negatif konflik itu keji. Dan, di sisi lain, membangun konsensus kembali itu tidak mudah selama egoisme politik para elite ditonjolkan.

Kita perlu partai-partai politik yang kelembagaannya kuat, tidak rentan konflik, dan fungsional. Yang dikehendaki publik adalah keberadaan dan peran partai-partai politik yang selaras dengan fungsi-fungsinya dalam sistem politik yang demokratis.

Partai tidak boleh dibajak para elitenya. Tidak saja itu merugikan partai tersebut, tetapi juga berkontribusi bagi anjloknya kualitas demokrasi.
Partai juga tidak boleh dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan terbatas dan jangka pendek, bukan untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.

Cukuplah ini menjadi pengalaman pahit bagi Partai Golkar. Semoga partai-partai lain bisa menjadikannya bahan pelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar