Liberalisme dan Konsolidasi Gerakan
Legalisasi Perkawinan Homoseksual di Indonesia
Farid Muttaqin ; Mahasiswa Doktoral di Departemen
Antropologi,
SUNY-Binghamton, New York
|
INDOPROGRESS, 13
Januari 2016
KETIKA pada Juni 2015
lalu Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat keputusan untuk melegalisasi
perkawinan homoseksual di negara tersebut, terjadi euforia di kalangan
aktivis gerakan hak-hak LGBT di Indonesia. Momen ini sempat membuat keinginan
untuk memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual di negeri kita
berkembang kuat. Namun, semangat itu perlahan meluntur. Banyak kalangan dalam
gerakan hak-hak LGBT sendiri yang menganggap terlalu dini untuk
memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual di Indonesia. Untuk sekedar
terbebas dari diskriminasi, kekerasan dan bentuk perilaku homophobia lainnya
dalam kehidupan sehari-hari sudah merupakan kesulitan mahabesar, apalagi
harus memperjuangkan hak legal untuk memformalkan perkawinan homoseksual
dalam sebuah lembaga perkawinan.
Dalam pandangan saya,
sangat penting untuk (kembali) memikirkan langkah untuk membangun gerakan
khusus ke arah legalisasi perkawinan homoseksual. Satu langkah penting adalah
memperbanyak dan memperkuat argumen bagi legalisasi perkawinan homoseksual
dalam konteks Indonesia.
Banyak yang memahami
jika ajaran agama menjadi hambatan paling sulit bagi upaya ini di Indonesia.
Kita tahu, sekedar pengakuan (acknowledgment)
terhadap LGBT sebagai identitas dan sebagai orientasi seksual sudah merupakan
kesulitan besar di kalangan komunitas agama-agama, apalagi jika harus
mengakui legalitas perkawinan homoseksual ini.
Meski sulit, banyak
upaya untuk mengatasi persoalan terkait ajaran dan penafsiran agama ini,
termasuk di kalangan Islam. Banyak ulama di Indonesia yang telah terlibat
kerja penafsiran ulang terhadap teks-teks Islam –misalnya QS. Al-A’raf:
80-84, Hud: 77-83, Asy-Syu’ara’: 160-175, dan Al-‘Ankabut: 28-35 yang
menceritakan kisah Kaum Luth– yang dinilai mengandung ajaran Islam tentang
“homoseksualitas” agar teks-teks itu lebih mendukung hak-hak komunitas LGBT.
Argumen-argumen yang dibangun dari hasil penafsiran ulang telah berhasil
diadopasi menjadi dasar untuk melawan pandangan jika LGBT adalah pendosa,
bertentangan dengan agama, perusak moral, dan layak “dibinasakan.”
Hasil kerja tafsir
agama tentang ayat-ayat yang selama ini dianggap berkaitan dengan
homoseksualitas telah berkontribusi besar pada menguatnya gerakan hak-hak
LGBT di Indonesia. Tidak hanya karena kini kita punya argumen alternatif
berbasis teks-teks keagamaan untuk hak-hak LGBT, kerja reinterpretasi ini
juga membuka aliansi lebih kuat antara kelompok agamawan dengan aktivis dan
komunitas LGBT.
Namun, saat dihadapkan
pada legalisasi perkawinan homoseksual, argumen-argumen dari sisi agama
tersebut sepertinya belum sepenuhnya bisa diadopsi sebagai dasar untuk
menguatkan gerakan ini. Ditambah pesimisme terhadap kemungkinan legalisasi
perkawinan homoskesual karena hambatan dan tantangannya yang super-kuat,
gerakan LGBT kita akhirnya seakan berhenti pada usaha membangun pengakuan
identitas seksual dan gender dan orientasi seksual tapi enggan untuk sampai
pada kerja kemungkinan menjadikan perkawinan homoseksual diterima secara
legal.
Selain itu, banyak
yang berpendapat, legalisasi perkawinan homoseksual justru akan menjadi
kerangkeng bagi kebebasan atas dasar gender dan seksualitas di kalangan LGBT.
Lembaga perkawinan dinilai akan menjadi institusi yang akan membuka
ketidakadilan relasi baru di kalangan LGBT. Nyatanya, lembaga perkawinan
formal yang diakui UU Perkawinan di Indonesia selama ini lebih merefleksikan
institusi patriarkhal. Banyak yang berpendapat, legalisasi perkawinan
homoseksual bisa menjadi blunder bagi gerakan hak seksual dan keadilan gender
LGBT yang diperuntukan melawan patriakhisme.
Surutnya eforia
setelah legalisasi perkawinan sejenis di Amerika tidak terlepas dari
munculnya kesadaran “lokal” yang menganggap formalisasi perkawinan
homoseksual tidak relevan dengan konteks budaya homoseksualitas dan politik
LGBT di Indonesia. Pasangan homoseksualitas di Amerika membutuhkan legalisasi
perkawinan karena hal ini, salah satunya, berkaitan dengan keperluan untuk
mendapatkan hak-hak atas berbagai program jaminan sosial (social security) yang disediakan
pemerintah bagi keluarga di sana. Dalam perspektif multikulturalisme, di mana
masing-masing kelompok masyarakat dipandang memiliki keragaman “budaya”
gender dan seksualitas, formalisasi perkawinan homoseksual –selain deklarasi coming out of the closet dan gay bar/gay party—dinilai sebagai
“westernisasi” atau globalisasi budaya homoseksual Barat/Amerika (Altman
1996) terhadap “budaya” homokseksualitas Indonesia. Akibatnya, bisa jadi,
akan terjadi homogenisasi budaya homoseksualitas yang “mematikan” budaya
homoseksualitas lokal. Tidak seperti dalam konteks Amerika yang menjadikan
legalisasi perkawinan –plus deklarasi coming out dan life-style ala gay bar–
sebagai indikator bahkan standar “keberdayaan” sebagai LGBT, bagaimana
komunitas homoseksual bisa membangun keluarga heteroseksual bahkan hingga
mempunyai keturunan justru merupakan “khazanah” homosekesual lokal yang khas
Indonesia atau khas Nusantara, yang selama ini menjadi tempat perlindungan
sosial-budaya yang dinilai cukup aman dan nyaman bagi individu LGBT.
Demikian beberapa
keberatan atas gerakan legalisasi perkawinan homoseksual di Indonesia yang
berkembang di kalangan gerakan hak-hak LGBT sendiri.
Bagi saya, legalisasi
perkawinan homoseksual tetap merupakan agenda penting dalam gerakan hak-hak
LGBT di Indonesia. Saya ingin menggunakan liberalisme yang memang belum
banyak dielaborosi, sebagai argumentasi utama bagi upaya legalisasi
perkawinan homoseksual ini. Dengan argumentasi liberalisme, sekedar
penegasan, tentu saja, tulisan ini bukan ditujukan bagi pembaca yang berada
pada level “mengharamkan” homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis;
tulisan ini ditujukan sebagai kontribusi dalam membangun dan memperkuat
fondasi pemikiran bagi gerakan legalisasi perkawinan homoseksual di kalangan
aktivis hak-hak LGBT. Argumentasi liberalisme ini diharapkan bisa mengurangi
keraguan atas pentingnya legalisasi perkawinan homoseksual yang juga masih
berkembang di banyak kalangan aktivis hak-hak LGBT di Indonesia.
Saya mengartikan
liberalisme dalam makna yang sederhana sebagai cara pandang dan pikir (way of thinking) yang menempatkan
kebebasan individu sebagai petimbangan utama dalam membuat pilihan. Dalam
liberalisme ini, saya memercayai setiap individu memiliki kewenangan tidak
terbatas untuk membuat pilihan dan keputusan berdasarkan pertimbangannya.
Dengan argumentasi ini, keputusan untuk membangun atau tidak membangun
lembaga perkawinan formal diserahkan sepenuhnya pada keputusan dan pilihan
individu LGBT.
Jika percaya pada
liberalisme sebagai kebebasan individual yang mutlak ini, konsekuensinya,
kita seharusnya juga aktif membuat upaya agar kebebasan individual tersebut
bisa terpenuhi. Dalam konteks perkawinan homoseksual, kita perlu mengupayakan
agar setiap indvidu terbebas dari rasa takut pada saat membuat keputusan dan
pilihannya. Dalam kepercayaan liberalisme ini, kita juga dituntut untuk
melakukan banyak upaya bagi terbangunnya pilihan alternatif yang beragam.
Artinya, bagaimana kita percaya pada liberalisme sebagai kebebasan individual
dalam membuat pilihan sementara kita tidak berkenan membuat upaya agar
indvidu-indvidu tersebut punya banyak pilihan alternatif? Pengakuan legal
perkawinan homoseksual atas dasar liberalisme ditujukan sebagai bagian dari
upaya membangun situasi sosial dan politik yang bisa menjamin individu LGBT
yang memiliki pilihan untuk memformalisasi hubungannya dalam lembaga
perkawinan terbebas dari rasa takut. Atas dasar liberalisme, legalisasi ini
juga bertujuan untuk menyediakan pilihan alternatif yang lebih beragam bagi
individu LGBT terkait relasi intimnya.
Liberalisme percaya
pada kebebasan individu untuk membuat pilihan dan keputusan; karenanya, yang
juga penting bagi mereka yang percaya liberalisme adalah pluralism, yang saya
artikan di sini sebagai pandagang atas keragaman pilihan. Liberalisme dan
pluralisme seharusnya menjadi sepasang pandangan tidak terpisahkan. Dalam
liberalisme, kita percaya adanya banyak pilihan yang bisa dibuat secara
merdeka dan karenanya perlu dihormati dan tidak justru menjadi bahan “teror.”
Liberalisme percaya pada pluralisme; artinya, kita seharusnya tidak hanya
percaya pada kebebasan invidual, namun juga sangat penting untuk membangun
upaya dan gerakan yang membuat individu-individu itu memiliki
alternatif-alternatif pilihan yang beragam. Di sinilah, liberalisme dan
pluralisme penting dielaborasi dalam gerakan legalisasi perkawinan
homoseksual, yaitu sebagai dasar bagi upaya untuk memberikan pilihan
alternatif bagi setiap individu yang memiliki keinginan untuk memilih untuk
hidup dalam institusi perkawinan “formal.” Dengan liberalisme plus pluralisme
sebagai dasar legalisasi perkawinan homoseksual, dan kepercayaan pada
individu sebagai subyek otonom dalam membuat keputusan, seharusnya kita tidak
melakukan penyeragaman makna perkawinan melulu sebagai sebuah pelembagaan
opresi gender dan seksualitas. Percaya pada kebebasan individual, namun tidak
berusaha melakukan berbagai upaya agar kebebasan individual itu bisa
“terealisasi” bisa disebut merupakan langkah “setengah hati.”
Apakah liberalisme
bisa berkembang saat individu “menyerahkan diri” pada sebuah institusi
sosial-politik, terutama ketika institusi tersebut selama ini dipandang
sebagai institusi opresif, seperti institusi perkawinan, seperti kritik
anti-lembaga perkawinan?
Antropolog Saba
Mahmood (2005) telah menunjukkan lewat etnografinya tentang kelompok
perempuan masjid (women of the mosque
movement) di Mesir, ekspresi kebebasan individual, bisa berkembang dalam
situasi di mana individu terlibat (engaged)
dalam sebuah institusi yang dikategorikan opresif, seperti gerakan
fundamentalisme agama. Mahmood memperlihatkan, bagaiman perempuan masjid
menggunakan kegiatan pengajian merupakan kesadaran dan respon kritis mereka
terhadap sekularisasi dan westernisasi, terutama yang dikampanyekan negara.
Yang lebih kontekstual dengan kondisi Indonesia adalah penelitian Rachel
Rinaldo (2010), bagaimana perempuan-perempuan di institusi dan organisasi
perempuan yang berbeda-beda: Fatayat NU, Rahima, Solidaritas Perempuan, dan
Partai Keadilan Sejahtera, mempunyai kemampuan untuk menunjukan ekspresi dan
artikulasi yang berbeda atas “kesadaran feminisme” yang mereka percaya.
Mahmood dan Rinaldo
menegaskan, liberalisme atau dalam bentuknya yang lebih praktis sebagai
kemampuan agentif untuk mengarungi pengalaman mengekspresikan “kedirian” (subjectivity) terkait identitas gender
dan seksualitas tidak selalu dan melulu bersumber pada “filsafat” liberalisme
Barat. Pandangan ini sangat penting untuk mengkritisi cara pandang
poskolonial yang menyatakan Barat sebagai satu-satunya “the land of freedom.”
Karenanya, dalam isu gender dan seksualitas, masyarakat non-Barat, seperti
Indonesia, selalu membutuhkan Barat dan segala gagasan kebebasannya untuk
menyelamatkan mereka yang teropresi secara gender dan seksualitas. Ini yang
sering menjadi legitimasi kolonialisme di masa lalu atau “perang melawan
terorisme” saat ini (Abu-Lughod 2002); perang melawan terorisme dengan segala
bentuk kekerasannya menjadi legitimate karena Barat hanya sedang menjalankan
misi mengirim “white men saving brown women from brown men” (Spivak 1994). Ketika
akhirnya kita menemukan “kesadaran lokal tentang kebebasan” di masyarakat
non-Barat, kita tetap akan mencari asosiasinya dengan gagasan dan gerakan
kebebeasan di Barat. Kita perlu memahami, ekspresi liberalisme bisa dalam
bentuk yang sangat beragam, sesuai konteks budaya dan politik. Karena cara
berpikir yang terlanjur “natural” (taken for granted) menilai liberalisme
Barat sebagai satu-satunya sumber dan model (ideal) kebebasan (freedom),
khususnya di kalangan “modernis,” kita mengabaikan kemungkinan berkembangnya
pengalaman-pengalaman yang dinamis –termasuk pengalaman yang disadari sebagai
perlawanan atas opresi—pada indvidu yang memilih hidup di lingkungan atau
lembaga yang didominasi opresi.
Kita terjebak untuk
memahami liberalisme hanya bisa diartikulasikan dalam situasi yang kita nilai
sebagai ruang kebebasan (space of freedom) atau ruang demokrasi. Bisa
dikatakan, satu sisi, pandangan ini justru berseberangan dengan filsafat
liberalisme karena di dalamnya tersirat pandangan manusia sebagai melulu obyek
yang tidak punya otonomi: otonomi manusia tergantung pada atau ditentukan
oleh situasi tertentu, yaitu situasi yang memang memberinya kebebasan.
Akibatnya, di sisi lain, kita mengalami kesulitan untuk memahami kemungkinan
liberalisme bisa juga tumbuh dalam ruang opresi atau ruang konservatif,
seperti gerakan Islam fundamentalis atau lembaga perkawinan. Dalam ungkapan
Rinaldo, kita perlu memahami, sebagaimana konsep otoritas diri atau
self-agency atau kemampuan untuk berekspresi secara merdeka tidak melulu atas
dasar pandangan progresif, self-agency dalam konteks kepatuhan beragama dan
sosial juga tidak selalu berarti “kemandekan” atau ketertundukan.
Kita perlu memahami
bagaimana liberalisme sebagai filsafat dan pandangan hidup diekspresikan
dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk yang tidak tunggal. Kita perlu
mengakui, selain suara perlawan keras di ruang publik, keputusan sadar untuk
menentukan sebuah pilihan secara bebas dan merdeka meski tanpa “suara”
merupakan suatu bentuk ekspresi liberalisme.
Dengan memahami
liberalisme dan atau bentuk praktisnya dalam self-agency tidak dalam dualisme progresif-regresif/konservatif,
kita akan dapat memahami jika pengalaman dalam lembaga perkawinan tidak
selalu berarti ketertundukan pada patriarkhi. Pelembagaan perkawinan sebagai
ekspresi identitas, seharusnya menjadi sebuah lembaga di mana setiap individu
bisa bebas dari rasa takut dan terbebas dari segala intervensi yang
membuatnya punya ketakutakutan, kekhawatiran, dan keengganan saat harus
memilih menerima atau menolak institusionalisasi relasi intimnya. Banyak
elemen gerakan hak-hak seksual yang menerapkan standar kebebasan (freedom) dan keberdayaan (empowerment) hanya pada individu atau
komunitas yang (berani) menolak pelembagaan perkawinan dan tidak memberikan
pilihan bebas pada mereka yang atas dasar kesadaran personal dan politiknya
memilih untuk menerima pelembagaan perkawinan ini.
Argumentasi ini juga
relevan untuk merespon pandangan yang menilai legalisasi perkawinan
homoseksual sekedar agenda homogenisasi budaya homoseksual dan politik LGBT.
Atas dasar liberalisme, kita percaya, setiap indvidu mempunyai kesadaran dan
kemampuan agentif untuk membuat pilihan merdeka termasuk pada sebuah situasi
yang dianggap orang lain sebagai “ketertundakan” pada budaya dominan dan
hegemonik. Dengan liberalisme, kita juga percaya pada pengalaman indvidu
sebagai pengalaman yang dinamis dan kompleks yang membuat kita tidak mudah
memaknai sebuah pengalaman manusia secara tunggal.
Ditambah, apakah kita
sama sekali tidak memiliki budaya seksualitas dalam bentuk perkawinan
homoseksual, sehingga legalisasi perkawinan melulu merupakan imitasi budaya
dan politik homoseksual ala Amerika/Barat? Dan, lalu, apakah upaya legalisasi
perkawinan homoseksual ini terlalu dini bagi LGBT di Indonesia?
Budaya merupakan
proses sejarah yang kontekstual, baik konteks tempat maupun waktu. Legalisasi
perkawinan homoseksual tidak menjadi agenda politik gerakan LGBT dan tidak
menjadi “budaya homoseksual” di Indonesia, menurut saya, salah satunya, tidak
terlepas dari penerimaan sosial terhadap individu LGBT. Di masa lalu, kita
bisa melihat bagaimana indvidu transgender, sebagai kelompok gender
non-normatif, bisa hidup aman dan nyaman di masyarakat. Kita tidak banyak
menemukan kasus serangan terhadap indvidu atau komunitas LGBT. Selain itu
juga karena kemungkinan bagi seorang gay dan lesbian untuk tetap bisa
membangun institusi perkawinan, meski perkawinan heteroseksual, membuat
individu LGBT yang memiliki keinginan atau mendapat tekanan sosial untuk menikah
punya jalan “moderat” yang membuat mereka tidak harus melakukan gerakan
politik dalam bentuk gerakan legalisasi perkawinan. Konteks saat ini jauh
berbeda. Fundamentalisme agama dan konservatisme budaya menguat; bahkan
fomalisasi syariat Islam menjadikan kriminanalisasi terhadap LGBT diakui
legitimate secara hukum, seperti kita lihat dalam kasus di Aceh. Politik
gender dan seksualitas yang dilakukan negara, termasuk lewat UU Perkawinan
1974 yang hanya mengakui perkawinan heteroseksual semakin memberi efek kuat
untuk mengontrol dan merespresi komunitas LGBT, khususnya dalam isu
perkawinan. Situasi terakhir inilah yang membuat gerakan legalisasi
perkawinan homoseksual, salah satunya, sebagai suatu langkah menuntut
perlindungan negara terhadap hak atas perkawinan legal bagi komunitas LGBT.
Kita juga punya
pengalaman, meski sedikit yang berani melakukan (secara terbuka), terkait
perkawinan homoseksual. Di tahun 1981, pasangan lesbian Jossie dan Bonnie
melangsungkan pernikahan, dihadiri lebih dari 100 orang. Dua kasus terakhir
yang disinyalir merupakan perkawinan homoseksual juga menjadi berita cukup
heboh, yaitu kasus di Ubud, Bali yang melibatkan warga Amerika Serikat dan
warga Indonesia (Kompas, 16/9/2015) dan di Boyolali, Jawa Tengah yang
melibatkan Ratu Airin dan Dumani (Kompas, 11/10/2015). Bahkan, kini sudah ada
“professional wedding planner” yang
menawarkan paket pernikahan homoseksual di Bali. Dua kasus terakhir berujung
pada cerita yang tidak begitu jelas, apakah ini merupakan prosesi perkawinan
homosekual atau kegiatan lain. Tidak begitu jelasnya dua kasus terakhir
sebagai (resepsi) perkawinan homoseksual, termasuk dibantah sendiri oleh
pihak yang melakukannya, bisa menjadi indikasi, bahkan sekedar untuk membuat
acara yang punya konotasi atau asosiasi dengan perkawinan homoseksual sudah
sangat tidak aman dari kontrol negara dan masyarakat. Sementara, penyangkalan
baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat terhadap dua kasus terakhir
menunjukkan jika pernikahan homoseksual masih dipandang sebagai aib yang
mengotori “kesucian” norma sosial-budaya, di satu sisi, dan “kekuatan
politik” yang bisa mempengaruhi atau membahayakan tatanan sosial-budaya, di
sisi lain. Para tokoh itu perlu menutupinya rapat-rapat atau merepresinya
kuat-kuat. Meski demikian, kita tetap bisa melihat perkawinan homoseksual
bukan sesuatu yang asing sama sekali dalam konteks masyarakat kita;
perkawinan homoseksual bukan melulu hasil intervensi budaya homoseksual atau
politik LGBT ala Barat.
Kita menonjolkan
situasi sulit yang masih dihadapi gerakan hak-hak LGBT sebagai alasan menilai
gerakan legalisasi perkawinan homoseksual sebagai upaya terlalu dini. Menurut
saya, penilaian ini tidak terlepas dari cara pandang dualistik: the oppressor and the oppressed, sang
penindas dan si tertindas, saat melihat situasi dan kondisi yang dihadapi
komunitas dan individu LGBT. Kita terjebak untuk menilai situasi saat
komunitas dan individu LGBT menghadapi berbagai bentuk kesulitan melulu
sebagai pihak teropresi bisu yang pasrah yang tidak memiliki kemampuan dan
tidak punya kemungkinan-kemungkinan lain yang beragam untuk mengekpresikan
kedirian (subjectivity) secara
merdeka dan dinamis. Tentu saja, pandangan kritis atas pandangan dualistik
ini juga bukan dalam rangka menutup mata atas situasi sulit terkait
homophobia dan pengabaian hak-hak LGBT.
Melihat kasus-kasus
(upaya) perkawinan homoseksual yang pernah ada, menilai legalisasi perkawinan
homoseksual sebagai gerakan yang terlalu dini merupakan pandangan underestimate.
Dalam situasi tidak memiliki pilihan bebas dan aman, kita bisa menemukan
beberapa kasus yang menunjukkan keberanian pasangan homoseksual untuk
(berusaha) meresmikan hubungannya dalam suatu lembaga perkawinan.
Atas nama liberalisme
seperti dipaparkan di atas, yaitu tentang menyediakan pilihan dan alternatif
yang beragam, konsolidasi gerakan legalisasi dibutuhkan agar mereka yang
memiliki niat untuk meresmikan hubungan homoskesualnya dalam lembaga
perkawinan benar-benar akan punya pilihan yang sah menurut hukum formal. Yang
juga penting, proses ke arah legalisasi sebagai upaya menyediakan pilihan
perlu dibarengi upaya agar negara bisa memberikan perlindungan hukum dan
politik terhadap mereka yang memutuskan untuk melakukan pelembagaan
perkawinan homoseksual.
Semoga pemikiran dalam
tulisan ini bisa benar-benar berkontribusi pada upaya penguatan gerakan
hak-hak LGBT, khususnya terkait hak atas lembaga perkawinan yang legal di
negeri kita. Setidaknya, saya berharap, kita akan kembali bersemangat, minimal,
untuk membuka lagi pembicaraan dan diskusi intensif terkait legalisasi
perkawinan homoseksual ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar