Sabtu, 06 Februari 2016

Refleksi 69 Tahun HMI

Refleksi 69 Tahun HMI

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
                                                  REPUBLIKA, 04 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 5 Februari 2016 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati hari kelahirannya yang ke-69. Organisasi kemahasiswaan ini lahir di Yogyakarta pada 5 Februari 1947 atau 14 Rabiul Awal 1366 Hijriyah atas prakarsa Lafran Pane dan 14 mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam usianya yang hampir 70 tahun, HMI telah cukup tua untuk ukuran manusia. Apa yang menarik dari HMI kini?

Pertanyaan demikian lazim mengemuka dari kongres ke kongres dan setiap ulang tahun HMI. Dalam kongres di Pekanbaru, Riau, akhir 2015 lalu, misalnya, HMI sempat menjadi sorotan media massa. Sesungguhnya, yang disorot relatif sama dari kongres ke kongres.

Ada "kekerasan", kongres yang molor dan bertele-tele, serta tak terkendalinya penggembira. Mengapa kesannya HMI demikian "brutal"? Ada apa dengan HMI sekarang? Pertanyaan seperti ini menggelayuti kader-kader HMI dewasa ini.

Sebagai alumnus organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia, saya turut prihatin dan mencoba mencari tahu lebih dalam, apa yang menarik dari HMI sekarang. Terlepas dari potret pemberitaan negatifnya, hadirnya ribuan mahasiswa ke arena kongres, bagaimanapun mencerminkan setelah hampir 70 tahun sejak kelahirannya, 5 Februari 1947, organisasi ini masih "penuh peminat".

Nurcholish Madjid, ketua umum PB HMI periode 1966-1969 dan 1969-1971, pernah berujar, organisasi HMI itu dari segi keanggotaannya mencerminkan representasi nusantara. Ia tak hanya mencerminkan "berpusat" di Jawa, tetapi juga merata di luar Jawa.

Mengapa potret negatif di atas nyaris selalu terulang? Beragam jawaban adanya, tetapi muaranya tetap kembali ke HMI sendiri. Mau instrospeksi atau tidak? Tentu saja, secara verbal jawabnya mau.

Instrospeksi ialah keharusan bahwa memang ada yang harus diubah, mulai substansi dan mekanisme pengkaderan hingga hal teknis manajemen penyelenggaraan kongres yang antisipatif terhadap para penggembira. Maka, tak hanya soal teknis dan metodologis saja perbaikannya, juga merambah ke substansi training yang direlevansikan dengan zaman kita.

Corak keislaman HMI tercermin dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang dikompilasi oleh Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari, dan Sakib Mahmud, mengetengahkan Islam secara substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara lain, (1) Tauhid/keesaan Tuhan; (2) Universalitas Islam; (3) Islam yang inklusif; (4) Islam yang dialogis; (5) Kemanusiaan/persaudaraan/hak asasi manusia (HAM); (6) Islam sejalan dengan modernitas/progresivitas dan demokrasi; (7) Islam yang tidak ekstrem (ummatan wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah); dan (8) Islam yang toleran.

Intinya, HMI hendak membawakan wajah Islam yang modern, maju, toleran, dan tidak ekstrem. Yang dikedepankan HMI bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai substansial itu. Bukan formalisasi syariat Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai atau substansi ajaran Islam itu di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk sebagaimana diibaratkan Nurcholish Madjid sebagai sebuah taman sari.

Dalam konteks ini, NDP HMI masih sangat relevan sebagai basis pijak "revolusi mental" para kader HMI. Yang diperlukan adalah perbaikan metodologi dan pengembangannya yang selaras dengan tantangan zaman.

Ketika saya masuk HMI pada awal dekade 1990-an, saya sadar organisasi ini "terlalu otonom". Kecuali para alumni yang tersebar di mana-mana, organisasi ini independen bak "anak tanpa orang tua". Independensi merupakan pilihan organisasi ini sejak kelahirannya.

Lafran Pane, pendiri utama HMI, sengaja mengarahkan organisasinya sebagai bagian dari perjuangan nasional dan inklusif. Sejak awal HMI tidak memosisikan sebagai underbouw partai politik (Masjumi). Kendatipun demikian, perjalanan HMI tidak pernah lepas dari dimensi politik.

Pada masa formatifnya, HMI menggencarkan ikhtiar dalam mempertahankan kemerdekaan. Ini selaras dengan tujuan HMI, yakni "mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia" serta "menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam".

Para elitenya yang bersahaja itu terlibat dalam kegiatan yang selaras dengan cita-cita proklamasi. Dari sinilah cikal bakal otentik HMI tergambar bahwa antara keindonesiaan dan keislaman bak dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Dalam konteks perjalanan kehidupan bangsa, HMI turut mewarnai sejarah. Kendati pun ia independen, pada dekade 1950-an dan 1960-an, tak lepas dari hiruk-pikuk politik. Ketika Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dilancarkan Bung Karno dengan posisi politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menguat, HMI sempat menjadi sasaran tembak pembubarannya.

PKI mendesak Bung Karno untuk membubarkan HMI. Namun, fakta sejarah menunjukkan Bung Karno tidak membubarkan HMI. Sejarah mencatat, HMI turut ambil bagian mendukung Orde Baru.

Organisasi HMI terus berjalan, alumninya semakin banyak dan bergerak di berbagai bidang. Pada awal dekade 1980-an, para elite HMI terbelah pendapat dalam menyikapi kebijakan asas tunggal Pancasila. Pro kontra mengemuka dalam beberapa kongres hingga kemudian sekelompok elitenya membentuk HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).

Yang satu menerima asas Pancasila, lainnya menolak. Sayangnya, kendatipun kini HMI dan HMI MPO sudah sama-sama berasas Islam, dualisme itu masih bertahan. Inilah fakta dan proses sejarah di mana keduanya punya peran dan cerita masing-masing. Namun, di level Korps Alumni HMI (KAHMI), mereka menyatu.

Komitmen kebangsaan dan keindonesiaan HMI diwujudkan pada beragam peran nyata dalam mengisi kemerdekaan dengan ikut serta menjadi bagian intergral dari proses kebangsaan. Sejak era Reformasi, peran politik alumni HMI banyak diteliti pengamat. Mereka ada di mana-mana, termasuk dewasa ini, terdapat alumnus HMI sebagai wakil presiden, yakni Jusuf Kalla.

Dalam hal sumber daya politik, alumni HMI telah banyak mewarnai dinamika politik pada masa kini. Namun perlu dicatat orientasi politik mereka heterogen. Terlepas dari makna politik sebagai persaingan kepentingan, adanya kesamaan sebagai alumni HMI berpotensi menjadi kekuatan konsensual dalam politik Indonesia.

Organisasi HMI masih eksis dan berkembang hingga kini, di tengah-tengah banyaknya pilihan mahasiswa berorganisasi. HMI punya kelebihan. Ia punya modal sejarah dan kekuatan alumni yang heterogen.

Semoga, hari-hari ini dan ke depan, HMI mampu memperbaiki diri dari citranya yang terkesan merosot dari kongres ke kongres dan berperan strategis dalam pembangunan bidang kepemudaan, kemahasiswaan, keumatan, dan kebangsaan yang lebih luas. Dirgahayu HMI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar