Senin, 08 Februari 2016

Racun: Amerta Sang Pahlawan

Racun: Amerta Sang Pahlawan

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom UDAR RASA” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 07 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bisa jadi Mas Rasyidi adalah ”wong cilik”, yang tinggal di bawah semacam tenda dari terpal, tanpa listrik dan air mandi, dan tak jauh dari proyek bangunan tempat kerjanya di pinggiran Kota Denpasar, tetapi dia mempunyai ponsel (telepon seluler) dan berlagak modern. Hanya dua hal yang menarik perhatiannya: apakah dia memang akan masuk surga? Maka, dia suka membaca majalah Sabili pinjaman guru ngajinya. Dan, dia ingin tahu pula mengapa Jessica Kumala Wongso telah meracuni temannya?

Boleh jadi pula Pak Sucipto adalah seorang bos yang tinggal di sebuah rumah berlantai marmer di sebuah real estate elite di kota Jakarta dan tidak pernah hirau kepada nasib para ”wong cilik” yang disemprot oleh mobil Mercedes-nya ketika melewati genangan air jalanan, tetapi dia mempunyai Ipad dan berlagak konservatif. Hanya dua hal yang menarik perhatiannya: apakah dia akan luput dari neraka? Maka, dia suka mendengar khotbah audio online dari pendeta kawakan. Dan, dia ingin tahu pula mengapa Wayan Mirna Salihin dengan begitu mudah sampai bisa diracuni temannya.

Jadi, berita peracunan ini ramai! Tetapi, apa artinya bagi kita. Adakah hikmah dan pelajarannya? Dan, sebagai bandingan, bagaimana peracunan Munir, 12 tahun yang lalu?

Tak ayal berita peracunan sianida yang dalam sekejap merenggut nyawa seorang wanita di sebuah café chic ibu kota mengundang keterpanaan seluruh bangsa. Imajinasi kita serta-merta dibetot. Oh, bukan lantaran peristiwa kematian itu sendiri, betapapun mengerikan, tetapi karena misteri yang meliputinya. Baik misteri ”moral” perihal motif: adakah kecemburuan lesbian atau perebutan cowok? maupun misteri sosial perihal identitas para aktor: apakah ada peran ”pacar bule” atau pengusaha (Tionghoa)? Jadi, dibantu media, kita seolah digiring untuk berkubang dalam lumpur praduga. Aneka pikiran miring yang selama ini, tanpa disadari, hadir diam-diam dibenak kita–tentang seks, etnisitas, jender, agama, dan pola hidup–tiba-tiba bermunculan di kesadaran. Kita diracuni oleh ”racun” ketidakbecusan diri kita sendiri. Begitulah manusia, kan, yang konon terbuat dari lumpur?

Lain kesan yang ditarik dari peristiwa pembunuhan Munir, 12 tahun yang lalu. Yang menggegerkan kita pada waktu itu hanyalah cara dramatik tokoh terkemuka HAM ini dihabisi: diracun di Singapura, dia meregang nyawa di tengah penerbangan Garuda ke Amsterdam. Tetapi, sama sekali tidak ada misteri. Begitu Munir diberitakan mati terbunuh, semua orang seketika tahu dari mana asal pelaku yang sebenarnya. Tidak perlu dicari-cari tafsir psikologis murahan untuk menjelaskan ini dan menyangkal itu. Semua jelas. Yang menjadi bahan spekulasi bukanlah misteri pembunuhan, tetapi rahasia-rahasia di baliknya. Bukti-bukti dikumpulkan, bahkan salah satu pelaku ditangkap dan dihukum. Namun, pada suatu saat, benang merah pembuktian tiba-tiba diputus dan tidak pernah disambung lagi hingga kini. Jadi, masalah kedua kasus peracunan ini memang lain. Apabila di dalam hal Wayan Mirna kita bergelut dengan kekeruhan jiwa manusia, di dalam halnya Munir kita berhadapan dengan kekeruhan negara. Negara adalah makhluk berdarah dingin. Jika dipimpin oleh penguasa yang kurang manusiawi, serta ditopang oleh kerangka hukum yang kurang kokoh, ia dapat begitu saja menjadi mesin pembunuh. Munir tidak hanya memahami hal ini, dia memeranginya, biarpun tahu diri bakal menjadi korbannya. Dia diracun karena ingin membebaskan negara dan bangsa dari ”racun” kekuasaan mutlak. Bagi dia, negara, berikut bangsa, harus takluk pada nilai-nilai kemanusiaan.

Maka, apabila dibandingkan, hikmah yang dapat ditarik dari kedua peristiwa amat berbeda. Peracunan Wayan Mirna membawa kita menjajaki kompleksitas jiwa manusia, dengan harapan kita mawas diri dan tidak terjebak di dalam kekisruhannya. Peracunan Munir lebih luhur ajarannya karena keluhuran itu sendiri menjadi tujuannya. Oleh karena itu, kami meyakini bahwa racun yang diteguknya telah menjadi amerta (air kehidupan) yang mengantarnya bersemayan, nun jauh di sana, sebagai pahlawan di antara pahlawan agung lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar