Racun: Amerta Sang Pahlawan
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 07
Februari 2016
Bisa jadi Mas Rasyidi
adalah ”wong cilik”, yang tinggal di bawah semacam tenda dari terpal, tanpa
listrik dan air mandi, dan tak jauh dari proyek bangunan tempat kerjanya di
pinggiran Kota Denpasar, tetapi dia mempunyai ponsel (telepon seluler) dan
berlagak modern. Hanya dua hal yang menarik perhatiannya: apakah dia memang
akan masuk surga? Maka, dia suka membaca majalah Sabili pinjaman guru
ngajinya. Dan, dia ingin tahu pula mengapa Jessica Kumala Wongso telah
meracuni temannya?
Boleh jadi pula Pak
Sucipto adalah seorang bos yang tinggal di sebuah rumah berlantai marmer di
sebuah real estate elite di kota Jakarta dan tidak pernah hirau kepada nasib
para ”wong cilik” yang disemprot oleh mobil Mercedes-nya ketika melewati
genangan air jalanan, tetapi dia mempunyai Ipad dan berlagak konservatif.
Hanya dua hal yang menarik perhatiannya: apakah dia akan luput dari neraka?
Maka, dia suka mendengar khotbah audio online dari pendeta kawakan. Dan, dia
ingin tahu pula mengapa Wayan Mirna Salihin dengan begitu mudah sampai bisa
diracuni temannya.
Jadi, berita peracunan
ini ramai! Tetapi, apa artinya bagi kita. Adakah hikmah dan pelajarannya? Dan,
sebagai bandingan, bagaimana peracunan Munir, 12 tahun yang lalu?
Tak ayal berita
peracunan sianida yang dalam sekejap merenggut nyawa seorang wanita di sebuah
café chic ibu kota mengundang
keterpanaan seluruh bangsa. Imajinasi kita serta-merta dibetot. Oh, bukan
lantaran peristiwa kematian itu sendiri, betapapun mengerikan, tetapi karena
misteri yang meliputinya. Baik misteri ”moral” perihal motif: adakah
kecemburuan lesbian atau perebutan cowok? maupun misteri sosial perihal
identitas para aktor: apakah ada peran ”pacar bule” atau pengusaha
(Tionghoa)? Jadi, dibantu media, kita seolah digiring untuk berkubang dalam
lumpur praduga. Aneka pikiran miring yang selama ini, tanpa disadari, hadir
diam-diam dibenak kita–tentang seks, etnisitas, jender, agama, dan pola
hidup–tiba-tiba bermunculan di kesadaran. Kita diracuni oleh ”racun”
ketidakbecusan diri kita sendiri. Begitulah manusia, kan, yang konon terbuat
dari lumpur?
Lain kesan yang
ditarik dari peristiwa pembunuhan Munir, 12 tahun yang lalu. Yang menggegerkan
kita pada waktu itu hanyalah cara dramatik tokoh terkemuka HAM ini dihabisi:
diracun di Singapura, dia meregang nyawa di tengah penerbangan Garuda ke
Amsterdam. Tetapi, sama sekali tidak ada misteri. Begitu Munir diberitakan
mati terbunuh, semua orang seketika tahu dari mana asal pelaku yang
sebenarnya. Tidak perlu dicari-cari tafsir psikologis murahan untuk
menjelaskan ini dan menyangkal itu. Semua jelas. Yang menjadi bahan spekulasi
bukanlah misteri pembunuhan, tetapi rahasia-rahasia di baliknya. Bukti-bukti
dikumpulkan, bahkan salah satu pelaku ditangkap dan dihukum. Namun, pada
suatu saat, benang merah pembuktian tiba-tiba diputus dan tidak pernah
disambung lagi hingga kini. Jadi, masalah kedua kasus peracunan ini memang
lain. Apabila di dalam hal Wayan Mirna kita bergelut dengan kekeruhan jiwa
manusia, di dalam halnya Munir kita berhadapan dengan kekeruhan negara.
Negara adalah makhluk berdarah dingin. Jika dipimpin oleh penguasa yang
kurang manusiawi, serta ditopang oleh kerangka hukum yang kurang kokoh, ia
dapat begitu saja menjadi mesin pembunuh. Munir tidak hanya memahami hal ini,
dia memeranginya, biarpun tahu diri bakal menjadi korbannya. Dia diracun
karena ingin membebaskan negara dan bangsa dari ”racun” kekuasaan mutlak.
Bagi dia, negara, berikut bangsa, harus takluk pada nilai-nilai kemanusiaan.
Maka, apabila
dibandingkan, hikmah yang dapat ditarik dari kedua peristiwa amat berbeda.
Peracunan Wayan Mirna membawa kita menjajaki kompleksitas jiwa manusia,
dengan harapan kita mawas diri dan tidak terjebak di dalam kekisruhannya.
Peracunan Munir lebih luhur ajarannya karena keluhuran itu sendiri menjadi
tujuannya. Oleh karena itu, kami meyakini bahwa racun yang diteguknya telah
menjadi amerta (air kehidupan) yang mengantarnya bersemayan, nun jauh di
sana, sebagai pahlawan di antara pahlawan agung lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar