WAWANCARA
Preseden Buruk dalam Penegakan Hukum...
Novel Baswedan ; Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, kembali menjadi perbincangan publik
dalam beberapa hari terakhir. Ini terjadi setelah Kejaksaan Negeri Bengkulu
melimpahkan dakwaan atas namanya ke pengadilan, Jumat (29/1). Novel dijerat
kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet saat ia menjabat Kepala Satuan
Reserse Kriminal Polres Bengkulu tahun 2004.
Dalam kasus itu, Novel
sebenarnya sudah menjalani pemeriksaan kode etik di Polda Bengkulu. Dari
hasil pemeriksaan itu, Novel dikenai sanksi berupa teguran. Setelah insiden
tersebut, Novel masih dipercaya sebagai Kasat Reskrim di Polres Bengkulu
hingga Oktober 2005.
Pada 2007, Novel lolos
dalam seleksi untuk menjadi penyidik di KPK. Di komisi anti rasuah tersebut,
Novel menjadi penyidik andal dan berhasil mengusut sejumlah kasus korupsi.
Namun, saat menangani
kasus dugaan korupsi simulator mengemudi yang melibatkan mantan Kepala Korps
Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo pada 2012, kasus yang
dialami Novel pada 2004 tiba-tiba diungkit kembali. Setelah sempat timbul
tenggelam, berkas perkara itu akhirnya dilimpahkan ke pengadilan dan menurut
rencana mulai disidangkan 16 Februari, dua hari sebelum kasus ini memasuki
kedaluwarsa pada 18 Februari.
Terkait kasus ini,
Kompas berbincang dengan Novel di Jakarta, Selasa (2/2). Berikut petikannya.
Bagaimana perasaan Anda saat mengetahui berkas kasus itu
dilimpahkan ke pengadilan?
Sejak awal saya bilang
ini kriminalisasi. Kalau kasus tentu pengungkapannya ada norma-normanya,
sesuai kaidah investigasi. Namun, ini tidak. Kedua, terkait dengan bagaimana
saya menyikapinya, saya tidak pusing dengan hidup. Ketika saya harus begini
(dikriminalisasi) tidak harus pusing atas apa pun yang terjadi dan apa pun
yang mereka lakukan.
Apakah ini terjadi karena Anda mempunyai banyak data kasus
korupsi?
Saya tidak mau bicara
itu. Tidak pas.
Apa tanggapan keluarga?
Memang dari awal saya
sudah memahami, tahun 2012, 2013, dan seterusnya itu (awal kasus Novel
diungkap kembali) adalah masa saya menyiapkan keluarga, maksud saya, anak dan
istri. Sekarang jauh lebih siap. Jauh lebih siap.
Jika nanti sampai ke persidangan?
Tidak apa-apa,
terserah. Pada dasarnya, saya tidak dalam posisi menentukan (sidang atau
tidak). Saya tidak punya kontribusi untuk ini, itu, apa. Tidak sedang
dimintai pendapat juga. Jadi, itu terserah. Cuma
logikanya, ketika sebuah kriminalisasi dibiarkan, ini adalah preseden buruk
bagi penegakan hukum. Teori akademisnya begitu. Karena apa? Kalau ini terjadi
pada penegak hukum, suatu saat bisa terjadi bagi orang lain.
Bagaimana dampak (kasus) terhadap penyidik lain?
Kita sangat
menyesalkan karena ketika ini terjadi, menjadi preseden buruk untuk penegakan
hukum dan ini tidak sekali terjadi. Berulang-ulang. Penyidik KPK pertama-tama
sempat goyang, kalau sekarang (berpikir) sak
karepmu (semaumu) jadinya. Semakin berani mestinya.
Bagaimana perbincangan dengan pimpinan KPK?
Pimpinan intinya mau
menjalin komunikasi dengan pimpinan kejaksaan dan kepolisian. Namun, saya
tidak tahu hasilnya seperti apa. Andai tetap harus disidangkan, pimpinan
menyampaikan akan membantu. Itu hal yang saya apresiasi dari pimpinan.
Misalnya persidangan berlanjut dan bagaimana jika di ujungnya
Anda dinyatakan bersalah?
Mau diapakan lagi?
Yang pasti upaya hukum digunakan. Kalau inkracht
(berkekuatan hukum tetap), ya sudah. Barangkali saya harus menjadi penasihat
para. (narapidana), pekerjaan baru. Ha-ha-ha..
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar