Hegemoni RRT-Jepang di Asia Tenggara?
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Belum pernah
perimbangan kekuatan kawasan Asia menjadi sangat rumit, ketika kepentingan
nasional berbagai kekuatan bersanding merebut lingkup wilayah pengaruh,
ditambah tumpang tindih klaim kedaulatan. Berbagai kekuatan kawasan dan luar
kawasan berhadapan dalam upaya mencari peluang menikmati pertumbuhan ekonomi
dan perdagangan yang tercatat paling tinggi dunia.
Kebangkitan Tiongkok
sebagai kekuatan ekonomi dan politik menghadirkan ketidakpastian besar di
kawasan. Memang, belum pernah terjadi dalam sejarah kawasan menghadirkan
eksistensi dua kekuatan besar negara secara bersamaan. Kehancuran dinasti
Qing (1644-1912) di daratan Tiongkok pada awal abad ke-20 diimbangi oleh
Restorasi Meiji di Jepang. Hal ini secara bersamaan menghadirkan kebangkitan
sebagai kekuatan besar, setidaknya dalam ekonomi, di kawasan Asia.
Konsepsi Asia Raya pra
Perang Dunia II dibayangkan sebagai kekuasaan Jepang satu-satunya yang mampu
menandingi imperialisme dan kolonialisme ketika itu. Proses pemulihan
kekuatan ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II difasilitasi payung keamanan
dalam melindungi kepentingannya di kawasan Asia, menjadikan Jepang tidak ada tandingannya.
Tiongkok sibuk sendiri
dengan urusan internal dan profil internasional yang sangat rendah,
memberikan peluang keluasan bagi Jepang mengembangkan pengaruh ekonomi dan
politiknya, terutama di Asia Tenggara. Bagaimana kawasan Asia Tenggara berhadapan
dengan negara besar Asia seperti Tiongkok, India, dan Jepang (ditambah
Amerika Serikat dan Rusia), menjadi penting bagi ASEAN, termasuk Indonesia.
Dalam konteks ini,
posisi Indonesia menjadi sangat krusial ketika interdependensi ekonomi dan
perdagangan, khususnya dengan Tiongkok dan Jepang, menjadi dilema di tengah
persaingan lingkup pengaruh yang berkepanjangan. Ada beberapa faktor yang
perlu disimak. Pertama, keinginan Tiongkok dan Jepang untuk berpengaruh di
kawasan Asia Tenggara menjadi semakin kuat, ketika Tiongkok menghadapi
ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi dan Jepang menghadapi deflasi serius
berkepanjangan menetapkan suku bunga negatif.
Kedua, permasalahan
pelemahan ekonomi dan perdagangan di Tiongkok dan Jepang menandakan
terjadinya kemacetan usaha di masing-masing negara, khususnya manufaktur. Hal
ini menyebabkan laju pertumbuhan terganggu, mengakibatkan persoalan serius
dalam menjaga peran kedua negara sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dan
ketiga di dunia. Terakhir, kelesuan ekonomi Tiongkok dan Jepang menghadirkan
persoalan baru dengan meningkatnya peran militer masing-masing negara atas
nama melindungi kedaulatan wilayah.
Bagi ASEAN, dan
Indonesia khususnya, persaingan ketat dalam ekonomi dan perdagangan sudah
tecermin ketika Tiongkok dan Jepang mulai menawarkan megaproyek
infrastruktur, khususnya kereta api cepat yang menggiurkan banyak negara Asia
Tenggara memasuki era teknologi maju abad ke-21.
Dalam kasus Indonesia,
misalnya, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung adalah cerminan bagaimana
negara berupaya memainkan kebijakan diplomasi ekonomi dalam rangka melakukan
kesetimbangan kepentingan nasional menghadapi persaingan Tiongkok-Jepang.
Kita khawatir, persaingan negara ini menghadirkan niatan hegemonis negara
besar, yang mengancam kerangka kerja yang produktif, positif, dan kooperatif.
Pilihan Asia Tenggara
sekarang ini adalah berhadapan dengan Tiongkok yang merambah berbagai
aktivitas ekonomi dan perdagangan, serta kematangan ekonomi Jepang di kawasan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan pembangunan nasional negara ASEAN. Apa pun,
keberhasilan ekonomi akan tetap menghadirkan ketidakpastian, apakah kedua
negara Asia ini menjadi kekuatan hegemoni mengancam keamanan kawasan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar